“Apa?” Dafi dan Zahwah sama-sama terkejut. Permintaan Indra ini belum terpikirkan oleh mereka sejak datang ke rumah kakek Dafi itu.
“Anak dalam waktu setahun? Kek, anak itu kan rezeki dari Allah. Kita enggak ada kuasa menentukan anak itu harus hadir kapan. Manusia memang berusaha, tapi … hasil tetap Allah yang menentukan.” Dafi pikir tidak semudah itu mendapatkan anak dari pernikahannya dengan Zahwah. Pernikahan tanpa cinta yang dia lakukan hanya untuk menghindari Kania saja.
“Iya, Kakek tahu itu. Kakek cuma mau lihat kalian memandang pernikahan ini bukan sebuah permainan. Hari ini nikah, besok cerai karena harus ada anak dalam pernikahan kalian. Dengan itu ada yang mengikat supaya kalian tidak akan bercerai.”
Dafi terdiam. Permintaan itu tidak mudah baginya dan Zahwah. Dia tidak bisa semudah itu mendekati Zahwah dan menyentuhnya untuk membuat istrinya hamil tanpa perasaan cinta.
“Kalau kalian tidak bisa memberikan anak, ya sudah silakan bercerai saat ini juga. Kakek akan minta Dafi menikah dengan Kania sesuai dengan keinginan Kakek.”
Mendengar nama Kania, Dafi langsung protes keras. Dia tidak mau menikah dengan perempuan itu. Lebih baik dia tetap mempertahankan pernikahan dan mulai berpikir tentang anak.
“Oke, kalau begitu aku sama Zahwah akan memikirkan untuk memiliki seorang anak. Kakek tunggu saja, cepat atau lambat Zahwah akan melahirkan seorang cucu untuk Kakek.” Dafi terpaksa tersenyum. Dia harus mempertahankan pernikahannya agar tidak ada gangguan dari Kania.
“Bagus. kalau begitu Kakek tunggu kabar baik dari kalian.” Indra tersenyum lebar. dia harap rencananya kali ini akan berhasil.
Malam itu Dafi dan Zahwah kembali ke apartemen mereka. Keduanya duduk di sofa ruang tengah dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Zahwah sebenarnya tidak setuju dengan keinginan Indra, tetapi Dafi yang lebih berhak memutuskan di depan kakeknya.
sementara Dafi juga sebenarnya punya pemikiran yang sama. belum ada pikiran untuk memiliki anak dengan Zahwah.
“Besok kita ke dokter buat periksa kesuburan. Saya harus tahu kondisi kesuburan kamu. Karena akan menentukan apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Kalau kamu subur, saya bisa tidur dengan kamu sampai kamu hamil, kalau kamu tidak subur, kita bisa program bayi tabung. Dafi pikir pilihan kedua adalah cara paling mudah memiliki anak tanpa harus berhubungan intim dengan Zahwah, tetapi akan aneh jika keduanya sama-sama subur.
“Iya, Mas.” Zahwah menunduk karena masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Misalnya nih ya, Za. Dokter bilang kamu subur, kamu mau kita langsung berhubungan?” Dafi harap Zahwah menjawab tidak.
Zahwah menggeleng.
Dafi pun merasa lega karena apa yang dia pikirkan sama dengan yang Zahwah pikirkan. “Lalu … kamu ada saran apa?”
“Gimana kalau kita coba buat pendekatan di antara kita. Mungkin bisa kita awali dengan sering makan bersama, terus kita juga bisa jalan-jalan berdua dan sesekali nonton film berdua. Kita coba buat kencan dulu supaya kita bisa jadi dekat.” Hanya itu yang Zahwah pikirkan. Akan lebih mudah melakukan hubungan intim jika mereka sudah saling dekat dan memiliki perasaan suka.
Dafi tersenyum karena dia setuju dengan ide dari Zahwah. Namun, pendekatan itu harus dipercepat agar mereka bisa segera memiliki anak.
Besoknya, Dafi mengambil cuti satu hari untuk melakukan pemeriksaan kesuburan di rumah sakit. Raka sudah mendaftarkan tes keduanya di rumah sakit langganan keluarga Dafi. Mereka tinggal datang dan melakukan pemeriksaan saja.
Zahwah dan Dafi diperiksa di ruangan yang berbeda dengan prosedur yang berbeda juga. Pemeriksaan itu dilakukan secara bersamaan.
Selesai melalui semua prosedur pemeriksaan mereka menunggu hasilnya di apartemen. Dafi minta Raka yang mengambil hasil pemeriksaan mereka nanti.
Dafi ingin lebih banyak mengobrol dengan Zahwah hari ini. Dia ingin menyamakan dengan perempuan itu apa jadwal yang akan mereka susun untuk melakukan pendekatan.
“Kita mulai dengan sarapan pagi bersama, Mas. Gimana?” Zahwah memberikan usulan pertama.
“Boleh. Mau masak apa beli?”
“Senin sampai Jumat kita masak. Bisa saya atau Mas yang masak. Terus weekend kita cari sarapan di luar sambil jalan-jalan.”
“Ok. Usul pertama saya setuju, selanjutnya apa lagi?”
“Kita mau tidur sekamar apa pisah kamar?”
Dafi berpikir dulu mana yang lebih cepat membuat kedekatan di antara mereka. “Tidur di kamar saya.”
“Ok. kalau gitu, sebelum tidur, kita harus saling cerita kegiatan kita sehari-hari. Kecuali waktu kita bersama di kantor Mas Dafi. Saya cerita kegiatan di hotel, Mas Dafi cerita kegiatan di kantor.”
“Apa enggak bosen dengerin soal kerjaan saya, Za? Kerjaan saya kan cuma gitu aja tiap hari.”
“Enggak masalah, Mas. Yang penting bisa kita jadi dekat karena mau mendengarkan cerita dari pasangannya.”
“Ok, setuju. Ada lagi?”
Ternyata berdiskusi dengan Zahwah tentang kegiatan mereka cukup menyenangkan menurut Dafi. Dia pun mulai berbiasa untuk mengobrol santai dengan perempuan itu.
“Weekend kita banyakin kegiatan di luar. Jalan, makan dan nonton di luar. Mas setuju?”
“Ok. Terus kontak fisik gimana?”
“Sebisa mungkin banyakin kontak fisik ya, Mas. Mas pegang tangan saya. Saya juga begitu.”
Dafi setuju.
Tak lama kemudian, Raka datang membawa hasil pemeriksaan kesuburan. Dafi membuka hasil pemeriksaannya lebih dulu baru kemudian memeriksa hasil pemeriksaan Zahwah. Dua-duanya menyatakan mereka subur. Rencana yang sudah dia buat dengan Zahwah harus segera dilakukan.
Malam itu, Dafi ingin memulai semuanya. Dia ajak Zahwah makan di luar, tetapi Zahwah yang memilih restoran mana yang dia mau datangi.
“Makan masakan Jepang ya, Mas. Udah lama banget saya enggak makan itu.” Sejak pulang ke Jakarta, jadwal makan Zahwah berantakan, baru setelah menikah dengan Dafi dia mulai makan dengan baik dan teratur.
“Ok. Za, kita ganti panggilan ya. Saya panggil diri saya Mas, dan kamu pakai aku aja. Bisa?” Dengan begitu Dafi harap mereka bisa lebih dekat lagi.
“Boleh. Malam ini Mas Dafi aja yang pilih restorannya ya.”
Dafi mengangguk. Pria itu membelokkan mobilnya ke sebuah restoran masakan Jepang. Malam itu Zahwah makan dengan lahap sampai puas.
“Terima kasih, Mas Dafi buat makan malam ini, aku seneng banget. Sudah lama enggak makan di sini.” Zahwah merasa bahagia bisa makan dia sana.
Dafi pun senang bisa membuat Zahwah bahagia dengan cara yang sederhana. Dia harap hubungan mereka bisa terus ada kemajuan setiap harinya.
Tiba di rumah, keduanya mengganti pakaian dengan piyama tidur. Malam ini juga akan menjadi malam pertama Zahwah tidur di kamar Dafi. Perasaanya campur aduk antara canggung, gugup dan bingung.
Perempuan itu naik ke atas ranjang dan bersiap untuk tidur. Dia langsung berbaring dan memejamkan matanya. Namun, ucapan Dafi membuat matanya terbuka kembali.
“Kamu bilang kita harus cerita kegiatan masing-masing dulu sebelum tidur, terus kenapa sekarang kamu malah tidur duluan, Za?”