Bab 17. Melahirkan Cucu dalam Waktu Setahun

1104 Kata
Dafi dan Zahwah tiba di restoran lalu duduk di kursi yang kosong. Dafi memesan makan siang kali ini. Untuk Zahwah pun dia yang memilihkan. Mereka tinggal menunggu makanan pesanan mereka diantar. “Za … kamu habis dari sini mau ke mana?” tanya Dafi dengan wajah serius. “Pulang, Mas. Besok rencananya mau lihat bangunan hotel sama kak Dika.” Kening Dafi berkerut, dia belum pernah mendengar Zahwah menyebutkan nama Dika. Siapa pria itu? “Dika?” “Iya, dia itu konsultan sekaligus arsitek buat renovasi hotel.” “Oh … namanya Dika? Siang ini kamu ikut saya ke kantor. Oh ya, kalau kamu lagi enggak ada keperluan di luar, kamu temani saya di kantor bisa? Kamu tahu kan Kania suka tiba-tiba datang ke kantor dan masuk ke ruangan saya. Kalau ada kamu, lebih mudah mengusirnya dari ruangan saya.” “Gitu ya, Mas? Baiklah, saya bisa.” “Tadi pagi dia sudah datang ke kantor karena tahu saya sakit, kayaknya dia tahu dari kakek deh.” Dafi cerita sendiri tanpa ditanya. “Oh ya? Dia mau ngapain, Mas?” “Dia masuk terus mijat bahu saya. Saya larang dia malah ngajak ke hotel. b******k memang Kania itu!” Dafi masih kesal pada Kania. “Apa? Apa yang ada di pikirannya sampai bisa ngajak Mas Dafi ke hotel. Terus … gimana dia bisa pergi dari ruangan Mas Dafi?” “Saya saya bilang aja lagi banyak kerjaan. Lama-lama dia pergi sendiri.” “Bagus deh. Mulai sekarang saya akan sering datang ke kantor supaya dia enggak gangguin Mas Dafi lagi.” “Saya minta tolong bangat ya, Za.” “Baik, Mas. Terus saya harus ngapain di ruangan Mas Dafi?” Zahwah mendadak bingung jika harus menemani suaminya di ruangan. Apalagi jika harus berada di sana selama seharian. “Terserah kamu. Mau tidur-tiduran, mau makan-makan atau ngerjain pekerjaan kamu.” Zahwah memiringkan kepalanya. “Memang boleh tidur-tiduran di ruangan kerja Mas Dafi? Di kursi itu?” Zahwah bingung. “Enggak di situ sih, tapi di ruangan saya itu ada kamarnya. Kamu bisa tidur-tiduran di sana sesuka kamu.” Zahwah baru tahu soal kamar di ruangan Dafi. “Oh gitu. Ok, Mas. Paling saya keluar untuk urusan renovasi aja, selebihnya saya bisa temani Mas Dafi di kantor sambil ngerjain apa aja yang bisa saya kerjakan.” Dafi tersenyum karena Zahwah mau memenuhi permintaannya. Setelah makan siang, keduanya pun menuju ruangan kerja Dafi. Saat ini memang Zahwah belum disibukkan dengan urusan renovasi hotel sehingga dia bisa menuruti permintaan Dafi. Tiba di ruangan Dafi, Zahwah minta izin ke kamar yang ada di ruangan Dafi. Di kamar itu, Zahwah merebahkan tubuhnya. Pikirannya berkenala, kembali memikirkan sosok pria yang dia lihat sangat mirip dengan Arsen. Dalam hati kecilnya dia sangat berharap jika pria itu memang benar Arsen. Dia tidak akan marah, hanya minta penjelasan ke mana saja dia selama ini dan mengapa tidak mencarinya. Lama-kelamaan Zahwah pun tertidur di ruangan itu. Pada jam empat sore, Dafi masuk kamar itu lalu membangunkan Zahwah. “Za … bangun. Kakek ngajak makan di rumahnya malam ini. Kita siap-siap dari sekarang.” Zahwah langsung duduk di atas kasur karena terkejut mendengar ucapan Dafi. Dia belum siap jika harus bertemu dengan sang kakek. “Apa? Harus malam ini, Mas? Enggak bisa besok-besok lagi? Saya belum siap.” Zahwah menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dafi duduk di tepi ranjang. Dia sentuh bahu Zahwah dengan lembut. “Enggak apa-apa ketemu malam ini karena mau ketemu malam besok atau malam-malam lainnya akan sama aja. Lebih cepat lebih baik. Kamu juga kan belum pernah ketemu sama kakek saya.” Dafi menenangkan Zahwah. “Tapi, Mas, kita pulang dulu apa langsung ke sana? Ini baju aku berantakan karena tidur di sini.” Zahwah menunduk. Dia malu datang ke rumah kakek Dafi dengan penampilan berantakan seperti itu. “Kita jalan sekarang aja. Beli baju dulu buat kamu. Terus langsung ke rumah kakek.” “Tapi, Mas ….” “Apa lagi?” “Saya takut kakeknya Mas Dafi marah sama saya. Bukannya kakek enggak setuju dengan pernikahan kita? Kalau dia marah-marah gimana?” “Enggak. Kakek enggak akan marah. Kalau kakek marah-marah kita langsung pulang. Gimana?” “Ya sudah, saya cuci muka dulu ya, Mas.” Dafi mengangguk. “Saya tunggu di ruangan.” Zahwah segera turun dari ranjang menuju toilet. Di sana dia mencuci wajahnya, merapikan rambutnya juga pakaiannya. Dia menyesal karena tertidur di kamar itu. Kalau saja dia yang kakeknya Dafi mengundang mereka, Zahwah tidak akan tertidur di sana. Setelah merapikan penampilannya, Zahwah keluar dari toilet menemui Dafi di ruangan kerjanya. Pria itu menatap Zahwah yang berjalan mendekatinya. “Jalan sekarang?” Keduanya menuju parkiran. Mereka masuk mobil Dafi. Hari ini Dafi pergi tanpa Raka dan hanya berdua saja dengan Zahwah. Sebelum menuju ke rumah sang kakek. Mobil Dafi berenti di sebuah butik. Di sana Zahwah memiliki satu dress yang akan dia pakai ke rumah Indra. Perempuan itu memilih gaunnya sendiri yang nyaman dipakai. Untuk pertemuan yang tidak nyaman dia harus memakai pakaian yang tidak merepotkan dan bisa merusak mood. Dess pilihan Zahwah adalah dress selutut yang sederhana tanpa banyak aksesoris. Dengan bahan yang lembut. Namun, harganya mahal. Jika saja Dafi tidak melihat wajah muram Zahwah, mungkin perempuan itu tidak akan mengambil dress itu. “Ambil aja kalau kamu suka. Saya yang bayar.” “Tapi, harga ….” “Ambil. Yang penting kamu nyaman pakai itu.” Dafi mengambil dress itu lalu membayar di kasir lalu berikan pada Zahwah setelah dibayar. “Mau ganti di mana?” “Di sini aja, Mas. Saya ke toilet dulu.” Zahwah pamit ke toilet untuk mengganti pakaian. Dia merapikan rambutnya lagi. Agar tidak terlalu berantakan. Selesai ganti pakaian, Zahwah keluar bersama Dafi menuju mobil. Di perjalanan menuju rumah Indra, Zahwah terlihat gugup. Tangan dan kakinya tidak berhenti bergerak. Dafi memperhatikannya dan menahan senyum. “Tenang aja, Za. Kakek saya enggak gigit kok.” Zahwah hanya bisa tersenyum, tetapi tidak bisa menyamarkan rasa gugupnya. Tiba di rumah Indra. Zahwah turun dari mobil bersama dengan Dafi. Pria itu mendekati Zahwah lalu meraih tangannya. Dia genggam tangan perempuan itu dengan mantap melangkah masuk ke rumah Indra. Di dalam, Zahwah dan Dafi disambut dengan hangat. Mereka mengobrol sambil makan malam. Indra dan Ika sangat ramah dan sopan pada Zahwah. Perempuan itu sampai kaget mengapa kakek dan nenek Dafi sebaik itu menyambutnya. Selesai makan malam, mereka pindah ke ruang keluarga. Kali ini wajah Indra tampak serius. Dia pun siap menyampaikan sesuatu. “Dafi, Zahwah, Kakek tidak mau kalian mempermainkan pernikahan ini karena itu Kakek harap kalian memikirkan soal anak. Kakek minta Zahwah melahirkan seorang anak dalam waktu satu tahun ke depan. Bisa, kan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN