Bab 16. Makan Siang Bareng

1240 Kata
Sosok Arsen yang dilihat Zahwah tadi sudah menghilang di balik dinding saat dia berbelok. Zahwah masih tidak percaya pria itu bisa hilang secepat itu. “Enggak mungkin! Mas Arsen itu kan pakai kursi roda, masa dia bisa ngilang gitu aja?” Zahwah meremas rambutnya karena frustasi. “Aku harus cari dia ke mana lagi?” Perempuan itu pun lanjut berjalan mencari Arsen, tetapi tidak tahu harus mencarinya ke mana. Pada saat itu, sosok Arsen berada di sebuah ruangan bersama Dika, mulut pria itu sedang ditutup oleh temannya. Jantung Arsen berdebar cepat karena dia juga takut ketahuan jika berada di kantor Dika. Setelah Dika merasa Zahwah sudah pergi, baru dia menarik tangannya yang menutup mulut Arsen. “Hampir aja ketahuan. Untung aku ingat kalau Zahwah nyariin kamu.” Dika merasa lega. “Lagian kamu kenapa nyuruh Zahwah ke sini sih?” protes Arsen pada Dika. “Maaf … aku lupa. Beneran lupa.” Dika pun merasa bersalah pada Arsen karena sudah membawa Zahwah ke kantornya. “Sekarang dia sudah tahu aku ada di sini. Terus kita harus gimana?” “Selanjutnya … aku enggak akan minta dia datang ke kantor lagi. Aku akan ketemu dia di luar.” “Tapi … bisa saja kan dia datang lagi ke sini buat nyariin aku?” Dika pun diam sambil berpikir. Apa yang bisa dia lakukan agar Zahwah tidak bisa menemukan Arsen lagi ke depannya. “Kamu WFH aja gimana? Kerjaanmu aku kirim via email, terus kamu kerjakan di rumah.” Dika memberikan idenya. “Sampai kapan?” “Sampai situasinya aman dan Zahwah enggak nyariin kamu lagi.” “Ok. Sepertinya begitu lebih baik.” Arsen setuju dengan usulan Dika. “Kalau gitu aku siap-siap pulang ke rumah dulu.” Bukan maunya Arsen melupakan Zahwah. Sebelum kecelakaan itu menimpanya dia masih berharap bisa menikahi Zahwah. Setelah lulus kuliah dan bekerja di perusahaan orang tua Dika, Arsen sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk melamar kekasihnya itu. Namun, naasnya dia mengalami kecelakaan. Arsen menabrak seorang gadis dan mereka sama-sama lumpuh. Tidak sampai di situ dia juga dipaksa menikah dengan gadis itu. Sebagai bentuk tanggung jawab, dia terpaksa menikah dengan gadis itu dan menggunakan semua yang sudah dia siapkan untuk melamar Zahwah untuk dia berikan pada gadis itu. Pernikahan Arsen sudah berjalan selama tiga tahun. Dika menahan kursi roda Arsen. “Jangan dulu, kayaknya Zahwah masih ada di sini. Lagian kenapa kamu enggak bilang jujur aja sama dia sih? Dia tuh masih ngarepin kamu. Kamu hilang tanpa kabar dan dia masih nungguin kamu.” Dika merasa kasihan pada Zahwah, tetapi tidak bisa menolongnya. “Aku pengennya begitu, tapi … aku belum siap. Aku tahu ini pasti akan menyakitkan buat dia. Bukankan lebih baik dia enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama aku?” “Kamu salah, Sen. Kalau kamu mau ngomong jujur sama Zahwah, dia bisa menjalani masa depannya dengan baik. Yang terjadi sekarang apa? Masa lalunya belum selesai dengan kamu. Kasian suaminya karena dia masih nungguin kamu. Dia enggak akan bisa mencintai suaminya karena masih berharap sama kamu.” Arsen terdiam. Dia memang salah jika terus bersembunyi begitu. Namun, dia sendiri tidak siap melihat Zahwah sedih melihat keadaannya sekarang. Dia tahu Zahwah pasti sedih karena dia tidak bisa menepati janjinya pada perempuan itu. Dika pun menepuk pundak sahabatnya itu. “Cobalah untuk jujur. Temui dia, ceritakan semua yang sudah terjadi sama kamu. Minta maaf untuk semua kesalahan kamu sama dia. Dia enggak bisa terus-terusan nungguin kamu.” Dika memberikan saran untuk Arsen. “Akan aku coba, tapi belum sekarang waktunya.” Arsen masih mengulur waktu karena yang belum siap itu adalah dia sendiri. “Lebih cepat … lebih baik. Jangan kau gantung anak orang terus-terusan begitu.” Sementara itu, Zahwah masih berada di depan kantor Dika. Perempuan itu bimbang. Haruskah dia terus mencari Arsen atau pulang ke apartemen. Pada saat itu, panggilan telepon dari Dafi pun masuk. Perempuan itu segera menerimanya. “Halo, Mas. Ada apa?” “Kamu di mana, Za?” “Di depan kantor teman. Tadi habis bahas soal renovasi hotel. Kenapa, Mas?” “Sudah selesai atau belum bahas urusan renovasi hotelnya? Kamu bisa ke sini, Za? Saya mau makan siang bareng kamu.” “Baru saja selesai, Mas. Mas mau makan siang bareng? Ok, saya ke kantor Mas sekarang.” Zahwah menutup panggilan telepon lalu memesan ojek online. Lima menit kemudian, ojek pesanan Zahwah tiba dan dia pun menuju kantor Dafi dengan menumpang ojek itu. Sepanjang perjalanan ke kantor Dafi, Zahwah teringat pada sosok Arsen yang dia lihat tadi. Kali ini tiba-tiba saja dia merasa ragu jika pria yang dia lihat tadi adalah mantan kekasihnya. “Kalau memang dia mas Arsen, dia pasti enggak akan menghindar kayak tadi deh. Kan, dia sudah janji mau nikah sama aku. Kayaknya, aku salah orang deh.” Namun, Zahwah berpikir lagi. “Tapi, kalau dilihat dari perawakannya dia benar mas Arsen. Dari punggungnya saja sudah terlihat kalau dia itu mas Arsen. Aduh … aku bingung, sebenarnya dia mas Arsen apa bukan sih? Apa aku tanya kak Dika aja ya?” Zahwah benar-benar bingung. Di tengah kebingungannya, ojek yang dia tumpangi berhenti di depan kantor Dafi. “Mbak, sudah sampai di tempat tujuan ya.” Driver ojek itu mengingatkan Zahwah. Perempuan itu baru tersadar jika dia sudah tiba di depan kantor Dafi. Dia pun turun dari ojek lalu menghubungi Dafi. “Mas, saya sudah di depan.” “Di depan kantor, kan? Tunggu di sana aja, Za. Biar saya ke sana. Dari situ sudah dekat kok ke restoran tempat kita makan siang.” “Ok, Mas, saya tunggu.” Zahwah menutup panggilan telepon. Sambil menunggu Dafi, dia teringat pada sahabatnya lalu menghubunginya. “Halo, Rena.” “Halo, Za. Ada apa nih telepon siang-siang.” “Ada berita mengejutkan dan bakalan bikin kamu terheran-heran.” “Berita apaan? Berita paling mengejutkan itu adalah kamu ketemu sama mas Arsen. Lainnya enggak ada yang mengejutkan.” “Tebakan kamu benar. Tadi aku lihat mas Arsen di kantornya kak Dika.” “Apa? Enggak mungkin, Za. Kalau mas Arsen ada di kantor kak Dika, harusnya dia temui kamu.” “Iya sih. Jadi, tadi tuh aku ketemu orang yang mirip banget sama mas Arsen. Aku ikuti dia, tapi dia ilang. Itu beneran mas Arsen apa bukan sih?” “Kata aku itu bukan mas Arsen, cuma mirip aja. Kamu enggak lihat mukanya, kan?” “Iya. Cuma lihat sekilas aja dari belakang … eh, tapi kayaknya dari samping deh. Karena sudah lama enggak ketemu jangan-jangan mukanya berubah?” “Ya kalau enggak operasi plastik enggak akan berubah jauh kok.” “Jadi, yang aku lihat tadi mas Arsen apa bukan, Ren?” “Bukan. Aku tahu banget mas Arsen itu cinta banget sama kamu, Za. Jadi, yang tadi bukan mas Arsen deh.” “Ya udahlah. Artinya bukan dia ya. Kalau gitu aku enggak usah penasaran lagi.” “Paling cuma mirip aja, Za.” “Kayaknya gitu. Ya udah, Ren, aku mau makan siang dulu sama mas Dafi ya.” “Jadi … sudah move on ke mas Dafi?” “Apa sih, Rena? Aku tuh diajak, jadi mau aja. Ya masa iya aku nolak, kan?” Dafi yang baru sampai di depan kantor pun nyeletuk. “Siapa yang ditolak, Za?” “Ren, nanti aku telepon lagi ya.” Zahwah menutup panggilan telepon. Lalu berbalik menghadap Dafi. “Bukan apa-apa kok, Mas.” Zahwah tersenyum. “Ikut saya, Za! Ada yang mau saya bicarakan sama kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN