Bab 15. Mas Arsen

1164 Kata
Dafi mengerutkan dahi. Dia menatap Kania dan merasa heran dengan jalan pikiran perempuan itu. “Hotel? Jam segini? Tidak mungkin, kerjaan saya masih banyak. Lagian kalau saya mau ke hotel bukan dengan kamu, pasti dengan istri saya. Dia lebih berhak menghabiskan waktu bersama saya daripada sama kamu.” “Loh kenapa enggak mau sama aku, Mas? Mas Dafi belum merasakan aja service aku kayak gimana? Pokoknya kalau sudah coba sekali, pasti minta lagi dan bikin ketagihan.” Dafi menghela napas panjang. Dia tidak tertarik dengan Kania, baik tubuhnya atau sikapnya. Dia sendiri heran pada Kania yang seperti tidak punya harga diri, selalu mengobral dirinya pada Dafi dengan murah. “Kamu jam segini enggak ada kerjaan di kantor? Bisa pergi dari sini? Kerjaan saya banyak. Kemarin saya sudah libur jadi hari ini semua pekerjaan saya harus selesai.” Dafi tidak segan-segan mengusir Kania jika memang itu diperlukan. Perempuan itu hanya membuat kepalanya pusing saja. “Aku masih kangen sama Mas Dafi. Aku ikut duduk di sini sambil ngerjain pekerjaanku boleh, Mas? Nanti kalau rasa kangenku sama Mas Dafi terobati aku pergi dari sini.” Dafi tidak menjawab, dia memilih untuk meneruskan pekerjaannya daripada mengurusi Kania. Sementara itu, di apartemen Zahwah. Perempuan itu tengah bersiap untuk bertemu dengan Dika. Hari ini dia diminta untuk datang ke kantor pria itu. Ada banyak hal yang harus mereka diskusikan terkait masalah renovasi hotel milik Zahwah. Perempuan itu bersemangat sekali karena dia sangat antusias dengan pekerjaan yang menanti di depannya. Zahwah pergi ke kantor Dika dengan ojek online karena dia ingin segera tiba di sana. Setengah jam kemudian, ojek yang dia tumpangi tiba di sebuah kantor perusahaan kontraktor milik orang tua Dika. Setelah turun dari ojek, Zahwah merapikan rambut dan pakaiannya. Dia pun menghubungi Dika setelahnya. “Halo, Kak, aku sudah ada di depan nih. Kakak di mana?” “Za, kamu langsung ke lift aja ke lantai 10. Kamu cari aja ruanganku. Di depannya ada tulisan namaku ya.” “Ok, jadi enggak perlu janjian sama sekretaris lagi ya, Mas?” Dika tertawa. “Sekretaris? Enggak ada kok. Ya sudah aku tunggu di ruanganku ya.” “Baik, Kak. Aku ke sana sekarang.” Zahwah menutup panggilan telepon lalu menyimpan ponselnya ke dalam tas. Perempuan itu pun masuk gedung perusahaan itu, dia mengikuti petunjuk Dika langsung menuju lift dan menekan angka 10. Jam dia datang ke perusahaan itu sudah lewat jam masuk kantor sehingga tidak banyak karyawan yang naik turun lift. Hanya ada dua dan tiga orang saja yang bersama Zahwah. Tiba di lantai 10 Zahwah mencari ruangan Dika. Ruangan pria itu terletak di ujung. Sebelum masuk Zahwah mengetuk pintu ruangan itu dulu. “Masuk!” Zahwah pun masuk ke ruangan kerja Dika. “Duduk, Za!” Dia menunjuk kursi yang ada di depan mejanya. Mungkin itu kursi buat klien jika harus berkonsultasi dengan Dika, tetapi ada juga kursi lain di ruangan itu untuk menyambut tamu yang lebih banyak. Zahwah pun duduk di kursi di hadapan Dika. Pria itu tersenyum menyambutnya. “Gimana kabarnya, Za?” “Aku baik, Kak. Kak Dika apa kabar? Kita kayak enggak ketemu lama banget ya?” Zahwah tersenyum. “Ya cuma sekedar tanya kabar enggak apa-apa, kan? Oh ya, aku sudah baca proposal kamu nih. Semua sudah oke sih, cuma aku butuh datang ke lokasi nih untuk bikin perencanaan. Kira-kira kapan kita bisa lihat-lihat hotel kamu?” Dika membutuhkan bayangan dari hotel Zahwah itu. “Kak Dika bisanya kapan? Hari ini bisa?” Zahwah sangat bersemangat. “Hari ini aku enggak bisa, besok aja ya, Za. Aku tunggu di lokasi jam sembilan pagi, kamu bisa, kan?” “Bisa, Kak. Jadi, ketemu besok ya. Terus hari ini ada lagi yang mau kita bicarakan?” “Ini aja paling nanti kalau aku sudah melihat lokasinya, aku bisa tentukan kalau ada revisi biaya. Kemungkinan bisa tambah atau kurang. Kamu keberatan enggak kalau misalnya biayanya nambah?” “Enggak sih, kita bisa bicarakan semuanya, kan?” “Betul. Semua bisa kita bicarakan selanjutnya.” Zahwah tiba-tiba ingin bertanya tentang Arsen pada Dika karena merasa urusannya dengan Dika sudah selesai. “Kak, aku boleh tanya sesuatu enggak?” “Mau tanya apa, Za?” “Soal Mas Arsen. Kakak tahu enggak dia sekarang ada di mana?” Zahwah memang ingin tahu lebih banyak tentang pria itu. Dika terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa pada Zahwah karena sebenarnya dia tahu Arsen ada di mana, dia memang sengaja menyembunyikannya dari Zahwah. “Gimana ya? Aku tahu dia ada di mana.” “Di mana Mas Arsen, Kak?” Zahwah mendesak Dika. Dia merasa harus tahu agar bisa bertemu lagi dengannya. “Dia masih ada di kota ini. Tidak pergi ke mana-mana. Hanya saja keadaannya sudah tidak seperti dulu lagi.” Zahwah diam sambil memikirkan ucapan Dika. “Apa maksudnya keadaannya sudah tidak seperti dulu lagi? Apa mas Arsen mengalami kecelakaan?” Itu yang terbersit di pikiran Zahwah. “Hm … aku enggak bisa banyak omong tentang Arsen, Za. Aku harus tanya dulu dia mau apa enggak ketemu sama kamu.” Zahwah pun diam. Dia berpikir apa yang sudah terjadi pada mantan kekasihnya itu sampai dia tidak bisa menepati janjinya? Padahal dia ada di kota yang sama dengan Zahwah. Apa dia sudah lupa dengan janjinya dulu pada perempuan itu? “Aku boleh minta nomor HP mas Arsen, Kak?” Zahwah bertanya dengan hati-hati dan terus memperhatikan wajah Dika. “Nanti ya, Za. Aku harus tanya dulu sama orangnya langsung.” Zahwah pun protes pada Dika. “Apa yang sebenarnya terjadi sama mas Arsen, Kak? Apa dia sudah menikah dengan perempuan lain? Kenapa Kakak merahasiakan semua dari aku?” Zahwah pun merasa kesal pada Dika karena tidak mau berkata jujur dan bicara setengah-setengah. “Maaf ya, Za. Ada hal yang memang enggak bisa aku ceritakan tentang Arsen tanpa izin dari dia.” Dika merasa bersalah, tetapi tetap tidak bisa banyak bicara. “Apa mas Arsen masih tinggal di rumah orang tuanya yang dulu?” Dika menggeleng. “Dia tinggal di rumah lain? Di mana, Kak?” “Aku enggak bisa cerita.” “Tapi … dia baik-baik aja, kan?” “Iya, dia baik-baik aja kok.” Zahwah makin kesal pada Dika. “Ya sudahlah, kabari aku kalau apa pun yang dikatakan mas Arsen ya, Kak. Aku tunggu. Aku mau pulang dulu. Jangan lupa pertemuan kita besok.” Zahwah meninggalkan ruangan kerja Dika dengan langkah gontai. Perempuan itu paling tidak bisa mendengar informasi apa pun tentang Arsen. Pasti akan dia kejar. Karena dulu setelah mereka berpisah, tidak ada kata putus dan Arsen pun berjanji akan menikah dengannya. Dia masih menunggu pria itu untuk menikah dengannya suatu hari nanti. Namun, sekarang pria itu seolah tidak mau bertemu dengannya lagi. “Apa mas Arsen sudah lupa dengan janjinya?” Sambil terus berjalan meninggalkan kantor Dika, Zahwah melihat sosok pria yang sangat dia kenali. “Itu kok kayak mas Arsen? Tapi, kenapa dia pakai kursi roda? Terus kenapa dia ada di sini?” Zahwah penasaran lalu mengikuti sosok pria yang tadi dia lihat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN