Bab 14. Tak Tahu Malu

1093 Kata
Malam harinya, Dafi masih demam, tetapi sudah tidak sepanas pagi harinya. Zahwah pun berinisiatif menunggui Dafi di kamarnya untu memastikan pada malam ini demamnya Dafi akan turun dan suhu badannya kembali normal. Perempuan itu duduk di kursi yang ada di kamar Dafi. “Mas, saya di sini dulu sampai demamnya Mas Dafi turun ya. Nanti saya balik ke kamar. Mas tidur aja dulu.” Zahwah sudah menyiapkan kompres untuk Dafi. Dafi memperhatikan Zahwah yang terlihat khawatir padanya. Baru kali ini mereka berada di kamar yang sama, tetapi tidak berada di satu ranjang. Dafi biarkan Zahwah melakukan apa pun yang dia mau di kamar itu. Bagaimanapun kondisi Dafi besok hari, dia tetap akan berangkat ke kantor. “Iya. Kalau kamu capek, balik aja ke kamar. Saya enggak maksa kamu buat nungguin saya di sini sampai demam saya turun.” Pria itu tidak mau merepotkan Zahwah. Jangan sampai perempuan itu ikut sakit karena sudah merawatnya. “Iya, Mas.” Zahwah membawa ponsel ke kamar Dafi. Pada saat dia menunggu Dafi tertidur, Zahwah bisa menghubungi temannya. Setengah jam kemudian, Dafi pun tertidur. Zahwah menyiapkan air hangat untuk mengompres Dafi. Pria itu tidak boleh sakit terlalu lama. Zahwah terus mengompres Dafi tanpa merasa lelah sampai tengah malam. Dia baru berhenti ketika memeriksa suhu tubuh Dafi 36 derajat. Niatnya Zahwah ingin istirahat sebentar dengan merebahkan tubuhnya di lantai kamar Dafi, tetapi kenyataannya dia tetidur di kamar itu sampai pagi. Pagi itu Zahwah terbangun sendirian di atas ranjang Dafi. Zahwah terkejut. Perempuan itu langsung duduk dan melempar selimut yang menutupi tubuhnya. “Siapa yang mindahin aku ke sini? Mas Dafikah? Sekarang mas Dafi di mana?” Pandangan Zahwah memeriksa seluruh bagian kamar Dafi, tetapi dia tidak menemukan sosok Dafi sampai pria itu keluar dari kamar mandi. Dafi keluar dari kamar mandi dengan mengenakan Handuk saja yang menutupi perut dan bagian bawahnya saja. Mungkin dia bepikir tidak apa-apa jika begitu di kamarnya sendiri. Apa dia lupa kalau Zahwah masih ada di kamarnya? Melihat Dafi yang hanya mengenakan handuk saja, Zahwah otomatis menutup matanya. Sementara Dafi dengan santainya berjalan menuju lemari dan membukanya. Pria itu mengenakan pakaiannya satu persatu. Kini, dia sudah memakai kemeja dan celana panjang. “Mas, sudah selesai belum pakai bajunya?” Tanya Zahwah masih menutup matanya. Dafi pun terpikir untuk mengerjai perempuan itu. “Belum, kenapa? Kamu mau lihat saya pakai baju? Buka aja mata kamu kalau pengen lihat.” Ucapan Dafi yang barusan membuat Zahwah merasa kesal padanya. Jika Dafi belum selesai memakai pakaian, dia tidak bisa keluar dari kamar itu. “Masih lama enggak?” “Kenapa, Za?” “Saya mau balik ke kamar, Mas.” Zahwah ingin segera kembali ke kamarnya. “Oh, tunggu dulu ya.” Kemudian Dafi duduk di tepi ranjang. Zahwah merasakan pria itu duduk di dekatnya. “Mas, jangan bercanda loh. Kenapa jadi duduk di sini?” Zahwah menjadi bingung dengan tingkah Dafi pagi ini. “Saya enggak bercanda, Za, tapi lagi duduk di dekat kamu.” “Tapi … katanya Mas belum selesai pakai baju? Kenapa malah duduk?” “Ya saya sambil pakai baju, kamu jangan buka mata dulu ya.” Zahwah hanya bisa pasrah. “Mas yang mindahin saya ke ranjang ya? Sejak kapan?” Perempuan itu sangat penasaran. “Sejak tadi malam.” Dafi tersenyum lebar. Nyatanya dia memindahkan Zahwah baru pagi ini. “Apa?” Zahwah terkejut. Dia pun berkata dalam hati, “Jadi, tadi malam aku tidur sama Mas Dafi? Gawat nih.” “Iya. Tadi malam kaki kamu nendang saya terus. Saya enggak bisa tidur karena kamu. Jadinya, pagi ini saya kurang tidur. Kamu harus ganti rugi karena badan saya sakit semua karena kamu.” Senyuman Dafi makin lebar. “Ganti rugi? Mas mau minta saya ganti rugi apa?” Zahwah masih tidak yakin Dafi memindahkannya ke kasur sejak tadi malam karena dia saja baru tertidur tengah malam. Lantas kapan Dafi memindahkannya? “Buatkan saya sarapan. Hari ini saya mau berangakat ke kantor.” Dafi ketagihan masakan Zahwah? Setelah kemarin dibuatkan bubur dan makan disuapi? “Ok. Asal Mas Dafi sudah pakai baju, saya buatkan sarapan sekarang.” Zahwah tidak bisa keluar dari kamar itu jika matanya masih tertutup. “Buka mata kamu terus lihat saya!” Zahwah belum berani membuka mata karena dia khawatir Dafi belum memakai baju, tetapi, kemudian dia beranikan mengintip. Dia lihat pria itu sudah memakai kemeja dan celana panjang. Zahwah pun bernapas lega. Perempuan itu turun dari ranjang lalu keluar dari kamar Dafi dan menuju dapur. Dafi mengikuti Zahwah sampai ke dapur. Pria itu bukan tidak bisa memasak, hanya saja dia sedang malas untuk masak pagi-pagi. “Mas mau sarapan apa? Nasi goreng apa omelet?” “Saya mau semuanya. Nasi goreng dengan omelet, bisa?” Zahwah mengangguk. Lima belas menit berkutat di dapur, perempuan itu selesai masak nasi goreng dan omelet. Dia tata masakannya di piring lalu dia sajikan di meja, “silakan dimakan, Mas.” Dafi mengambil sendok dan garpu lalu menikmati sarapan pagi dari Zahwah. Pagi ini dia tidak akan berangkat ke kantor dalam keadaan lapar. “Masakan kamu enak. Makasih buat sarapannya. Saya mau siap-siap ke kantor dulu.” Dafi kembali ke kamar untuk memakai dasi dan jas. Dia juga membawa tas kerjanya. Setelah itu Dafi mengambil sepatu dan memakainya. Selesai memakai sepatu, Dafi mendapat telepon dari Raka yang sudah menunggunya di parkiran. Pagi itu Dafi pamit pada Zahwah sebelum meninggalkan apartemen. Tiba di kantor, Dafi memfokuskan diri untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda dan pekerjaannya hari ini. Baru saja sepuluh menit dia mulai bekerja, Kania datang lalu mendekati meja kerja Dafi. Wajah perempuan itu terlihat sangat khawatir pada Dafi. “Kakek bilang Mas Dafi sakit. Aku langsung ke sini karena katanya Mas hari ini sudah masuk kantor. Mas sakit apa sih? Aku khawatir banget. Tadi malam pengen ke sana, tapi aku ingat ada istri Mas Dafi di rumah.” Kemudian, Kania memijat punggung Dafi. Dafi berusaha menghindar dari pijatan Kania. Dia tidak mau perempuan itu menyentuh punggungnya. “Kania … kamu duduk aja di kursi situ, kalau kamu mijat saya kayak gitu enggak enak dilihat karyawan lain, nanti mereka mikir macem-macem.” Dafi tidak mau dijadikan bahan gunjingan oleh karyawannya. Bibir Kania mengerucut. Dia tidak bisa terima Dafi menolak pijatannya. “Mas Dafi kenapa sih? Kok menghindar terus dari aku?” Kania makin kesal pada Dafi karena selalu ditolak. Lah Kania enggak punya malu sudah ditolak berkali-kali, tetapi tidak paham juga. “Kita ini lagi di kantor, Kania, kantor itu sama aja dengan di tempat umum.” “Ya sudah kalau gitu, kita pindah ke hotel aja gimana, Mas? Supaya bisa mesra-mesraan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN