Bab 13. Mengurus Dafi

1209 Kata
Raka menyerahkan sebuah buku catatan untuk Zahwah. Isinya adalah daftar keperluan Dafi di rumah. Mulai dari perlengkapan di kamar mandi sampai parfum yang dia sering gunakan. Juga daftar makanan kesukaan Dafi. Jika suatu hari Dafi minta Zahwah memasak, perempuan itu tidak kebingungan lagi. “Terima kasih buat buku catatannya ya, Mas Raka. Ini sangat membantu saya selama tinggal di sini.” Zahwah tersenyum lebar. Dia tidak akan kebingungan lagi. Kemudian, Raka kembali ke kamar Dafi untuk membawa atasannya itu menuju rumah sakit. Syukurlah Dafi tidak menolak dibawa ke rumah saku. Mungkin saja Dafi ingin segera sehat karena pekerjaannya menunggu untuk dikerjakan. Selama Raka pergi ke rumah sakit bersama Dafi, Zahwah menyibukkan diri di dapur untuk memasak. Selain membuat bubur, dia juga masak sup ayam agar Dafi segera membaik. Zahwah tidak mau Dafi sakit terlalu lama. Perempuan itu menikmati aktivitasnya di dapur. Dua masakan itu menurutnya sudah cukup untuk hari ini. Malam nanti dia tinggal memanaskan masakannya saja. Zahwah berkutat di dapur selama hampir dua jam. Begitu dia selesai masak di dapur, Dafi pulang bersama Raka dari rumah sakit. Zahwah pun penasaran dengan kondisi Dafi saat ini. “Mas Raka, Mas Dafi sakit apa?” tanya Zahwah yang penasaran. “Biasa, Bu. Kecapekan. Terlalu banyak pikiran dan pekerjaan.” Raka mengambil air segelas di dapur, dia mengurus obat Dafi untuk pagi ini. Setelahlah Dafi minum obat. Ria berikan obat-obatan itu pada Zahwah. “Untuk siang, malam dan seterusnya Ibu yang mengurus obat pak Dafi ya.” Zahwah mengangguk. Dia memeriksa obat-obatan Dafi. Hanya ada obat penurun panas dan vitamin saja. Pria itu hanya butuh istirahat full satu harian ini supaya besok bisa kembali seperti biasanya. Raka mengantar Dafi ke kamarnya. Sesuai perintah dokter, Dafi harus banyak tidur. Pria itu pun memanfaatkan satu harian ini untuk banyak istirahat. “Saya ke kantor dulu ya, Pak.” Raka pamit pada Dafi. Setelah mendapat persetujuan dari Dafi, Raka segera pergi dari apatemen Dafi dan menuju kantor. Zahwah tidak mah mengganggu istirahat Dafi pagi ini. Dia biarkan pria itu tidur di kamarnya. Dia baru akan membangunkan Dafi siang untuk makan siang. Di kamarnya, Zahwah tidak tidur, dia hanya men-scroll media sosialnya. Zahwah melihat-ligat foto lama di akunnya itu sampai dia menemukan foto Arsen. Agak lama juga Zahwah memandangi foto pria itu. Pria yang pernah berjanji akan menikahinya saat pria itu kembali. Zahwah sudah menunggu, tetapi pria itu tak kunjung datang melamar. Bahkan Zahwah tidak tahu pria itu ada di mana. Tiba-tiba saja Zahwah teringat pada sikap Dika kemarin yang seolah menutupi sesuatu. Dia yakin Dika tahu di mana keberadaan Arsen saat ini. Dia pun berjanji pada dirnya untuk mencari tahu di mana keberadaan Arsen pada Dika. Tanpa sadari waktu terus berlalu. Hari sudah siang. Zahwah pun meletakan ponselnya di kamar. Siang ini dia akan mengurus makan siang suaminya. Zahwah siapkan nampan berisi semangkuk bubur, semangkuk sup ayam dah segelas air beserta obatnya Dafi. Perempuan itu pun narik kamar Dafi lalu meletakkan nampan yang dia bawa di meja. Perempuan itu duduk di tepi ranjang lalu membangunkan Dafi dari tidurnya. “Mas, bangun! Makan dulu yuk saya sudah masak bubur dan sup ayam.” Zahwah tidak tahu apakah masakannya siang ini bisa diterima atau tidak oleh Dafi. Dafi membuka mata lalu duduk di atas kasur. Dia juga menyandarkan punggungmya di sandaran ranjang. “Tolong suapi saya,Za!” Dafi merasa lemah siang ini dan tidak bisa makan sendiri. Zahwah paham dan mengerjakan perintah Dafi. Dia pun membantu pria itu makan bubur hangat dan sayur sup hangat. “Kalau masakan saya enggak anak, kasih tahu sya ya, Ma.” Dafi mengangguk Zahwah mulai menyuapi Dafi dalam diam. Dia sedang tidak ada topik yang ingin dia bicarakan dengan Dafi saat ini. Dafi pun sama, hanya makan dalam diam. Siang itu makanan dari Zahwah masih tersisa setengah, tetapi Dafi merasa sudah cukup. “Maaf, Za, saya tidak bisa menghabiskan bubur ini.” Bukan karena rasanya tidak enak, tetapi Dafi sedang kurang sehat sehingga nafsu makannya berkurang. Bisa makan setengah dari yang ada di mangkuk itu pun dia paksakan. “Minum obat lagi ya, Mas.” Zahwah tidak marah melihat Dafi tidak menghabiskan buburnya karena pria itu sedang sakit. Dia berikan obat untuk Dafi dan air minum. “Istirahat ya, Mas. Kalau ada apa-apa, telepon atau kirim pesan aja. Saya ada di kamar sebelah.” Zahwah membawa nampan ke dapur. Dia biarkan Dafi tidur agar pria itu segera membaik. Sebelum kembali ke kamarnya, Zahwah mencuci piring dulu. Baru kemudian dia tidur di kamarnya. Perempuan itu juga merasa lelah. Fisik dan mentalnya terasa lelah dan dia ingin tidur sebentar untuk mengistirahatkan pikirannya. Tepat jam empat sore, Zahwah sudah bangun, tetapi dia berdiam diri di kamar. Pada saat itu Raka datang membawa dokumen yang harua ditanda tangani oleh Dafi. Pria itu memang menunggu sengaja menunggu dokumen untuk ditanda tangani Dafi hari ini. Kemudian, Zahwah ke dapur untuk membuat minum untuk Raka. Dia ingat tadi pagi tidak menyuguhkan apa pun untuk pria itu. Zahwah letakkan minum dan beberapa camilan di meja ruang tengah dan menunggu Raka di sana. Pada saat yang sama seorang pria paruh baya tiba-tiba masuk. Zahwah terkejut. Wajahnya terlihat sangat marah membuat nyali Zahwah menciut untuk mendekatinya. Untungnya, Raka keluar dari kamar Dafi sehingga dia bisa menyapa Indira Adiwilaga. “Pak Indra? Pak Dafi ada di kamarnya di sebelah sini.” Raka menunjukkannya arah. Sebelum masuk ke kamar Dafi, Indra melayangkan tatapan tidak suka pada Zahwah. Ya memang pria itu tidak setuju cucunya menikah dengan Zahwah. Setelah India masuk ke kamar Dafi, Raka keluar dari kamar itu menuju ruang tengah. “Mas Raka minum dulu. Maaf karena tadi pagi aku lupa ngasih air minum.” Zahwah mencoba tersenyum. “Kakeknya Mas Dafi enggak memang enggak suka sama aku." Raka duduk di sofa ruang tengah. Dia minum air yang disuguhkan oleh Zahwah karena memang merasa haus bolak-balik balik kantor dan rumah Dafi. “Sabar aja ya, Za. Pak Indah cuma butuh waktu buat nerima kamu.” Zahwah menghela napas."Yah begitulah kenyataannya.” Menurut Zahwah wajar jika pria itu tidak suka padanya karena Zahwah bukan cucu menantu yang Indra inginkan. Sementara itu, di kamar Dafi, sang kakek sedang duduk di kursi yang ada di kamar itu sambil menatap Dafi dengan perasaan kasihan. “Kenapa kamu sakit? Apa perempuan itu tidak mengurus kamu dengan baik? Sudah Kakek bilang, dia bukan istri yang baik. Kamu ceraikan saja dia dan nikahi Kania.” Indra hanya mencari cara untuk menyalahkan Zahwah. “Bukan salah dia kok, Kek. Aku aja yang memang sedang banyak pikiran dan kurang istirahat.” Dafi berkata yang sebenarnya. “Kamu ikutan mikirin urang orang tuanya juga kan? Sudahlah, ceraikan saja dia. Hanya menjadi beban buat kamu aja, Dafi.” Dafi menggeleng. “Bukan salah Zahwah, Kek. Aku hanya memikirkan pekerjaan di kantor.” “Apa kamu butuh istirahat dulu dan liburan sebentar? Kakek kasih kamu waktu istirahat tiga hari. Pergilah jalan-jalan bersama Kania.” Indra masih berharap Dafi mau menerima Kania. “Makasih untuk tawarannya, Kek. Aku baik-baik aja kok. Cuma butuh istirahat sehari aja.” Dafi belum butuh liburan. “Ya sudah. Istirahat yang baik. Kakek mau pulang dulu. Tolong pikirkan apa yang Kakek katalah tadi.” Setelah kepergian Indra dari apartemen Dafi, Zahwah terpikir untuk menjaga Dafi malam nanti di kamarnya agar dia bisa mengawasi istirahat pria itu malam nanti. .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN