Perempuan itu bergegas ke ruang tengah untuk mencari kotak P3K. Dia mencari obat penurun panas di sana. Zahwah ambil obat itu lalu mengambil air minum di dapur. Dia bawa ke kamar Dafi dan diletakkan di atas nakas. Zahwah pun membangunkan Dafi. “Mas … bangun dulu minum obat penurun panas dulu.”
Dafi masih tertidur, tetapi tidak sampai nyenyak karena demam itu sehingga dia masih mudah dibangunkan. Pria itu bangun lalu duduk di atas kasur. Zahwah memberikan obat dan air minum pada Dafi. Perempuan itu baru ingat jika di meja makan ada roti tawar. Dia pun mengambil selembar roti tanpa selai dan dia berikan pada Dafi.
“Maaf ya, Mas, saya lupa ngasih makanan dulu sebelum Mas minum obat.” Zahwah berharap demam Dafi segera turun.
“Makasih ya, Za. Enggak apa-apa kok. Obat itu bisa diminum sebelum makan.” Dafi memotong roti itu menjadi dua dan dia hanya makan setengahnya. Nafsu makannya berkurang ketika kondisi tubuhnya sedang tidak sehat begini.
“Mas istirahat dulu ya. Saya mau telepon mas Raka supaya datang ke sini.”
Dafi mengangguk lalu berbaring lagi di atas kasurnya. Sementara itu, Zahwah membawa gelas ke dapur kemudian dia masuk kamar untuk menghubungi asisten Dafi itu.
“Halo, Mas Raka.”
“Halo, Za, ada apa pagi-pagi begini sudah telepon?”
“Mas, saya mau ngabarin. Mas Dafi demam. Mas Raka bisa ke sini enggak buat antar mas Dafi ke rumah sakit. Sekalian tolong bawain bubur buat mas Dafi ya. Dia belum sarapan.”
“Pak Dafi sakit? Saya berangkat ke sana sekarang.”
“Iya, makasih ya, Mas.” Zahwah pun menutup panggilan telepon.
Perempuan itu pun menuju dapur. Dia melihat bahan masakan yang ada di sana. “Enggak ada beras. Yah … engggak bisa bikin bubur buat mas Dafi makan siang sama malam. Apa aku minta uang aja ya sama mas Dafi? Tapi, jangan sekarang deh, takut ganggu mas Dafi yang masih tidur. Nanti aja aku pinjem uang sama mas Raka buat beli bahan masakan.” Zahwah pun kembali ke kamar sambil menungggu kedatangan Raka.
Setengah jam kemudian, Raka datang membawa bubur dan makanan lain. Zahwah menerimanya ketika pria itu masuk dan membawanya ke meja makan. Raka langsung masuk ke kamar Dafi untuk memeriksa keadaannya.
Zahwah yang berada di meja makan mencari bubur lalu dia bawa ke kamar Dafi. Perempuan itu masuk kamar setelah mengetuk pintu kamar.
“Mas Dafi, sarapan bubur dulu ya.” Zahwah pun meletakkan bubur di atas nakas.
Tubuh Dafi lemas sehingga dia tidak bisa makan sendiri.
“Pak, mau saya suapi makan buburnya?” Raka menawarkan bantuan.
“Biar Zahwah saja yang membantu saya makan. Kamu tolong urus pekerjaan saya hari ini!”
“Baik, Pak.” Raka pun bangkit dari tepi ranjang menuju kursi yang ada di ruangan itu. Dia segera segera mengurus pekerjaan Dafi melalui tablet dan ponselnya.
Sementara itu, Zahwah duduk di tepi ranjang lalu mengambil bubur di atas nakas dan mulai menyuapi Dafi.
Karena sakit, Dafi tidak bisa merasakan rasa bubur itu seenak biasanya, dia hanya makan setengahnya saja. Itu pun sudah dipaksa oleh Zahwah, tetapi Dafi tetap menolaknya.
“Ya sudah, sisanya saya bawa ke belakang aja ya, Mas.” Zahwah pun keluar dari kamar Dafi menuju dapur.
Sambil mengurus pekerjaan Dafi, Raka juga mendaftarkan pria itu untuk melakukan pemeriksaan di rumah sakit. “Pak, jam delapan kita jalan ke rumah sakit ya. Saya sudah dapat nomor antriannya.”
“Makasih ya, Raka.”
“Bapak mau mandi dulu atau diseka?” Raka akan menyiapkan air hangat tergantung keinginan Dafi.
“Kayaknya jangan mandi deh. Saya mau seka aja pakai air hangat.”
“Baik, Pak.”
Raka mencari handuk kecil di lemari untuk Dafi pakai menyeka tubuhnya di kamar mandi. Dia pun menuju kamar mandi lalu membersihkan dirinya. Selesai dari kamar mandi, Dafi memakai pakaian rumah saja karena pria itu tidak akan berangkat ke kantor hari ini.
Selama Dafi berada di kamar mandi tadi, Raka keluar dari kamar itu. Pria itu duduk di sofa sambil melanjutkan pekerjaannya.
Zahwah dengan perasaan bingung pun mendekati Raka, tetapi dia bingung harus bicara mulai dari mana.
“Kenapa, Bu?” Seolah memahami Zahwah, Raka pun berinisiatif bertanya lebih dulu.
Zahwah meremas jari-jari tangannya lalu memberanikan diri untuk bicara. “Gini, Mas Raka. Saya pengen masak bubur, tapi saya enggak ada uang. Soalnya mau beli bahan masakan yang lain juga. Jadi … boleh enggak saya pinjam uang dari Mas Raka?”
Raka kemudian berpikir jika Zahwah belum mendapat uang dari Dafi untuk kebutuhan rumah tangga. “Boleh, Ibu butuh berapa? Eh … gini aja, saya kasih lima ratus ribu ya?” Raka mengeluarkan dompetnya lalu mengeluarkan uang sebanyak lima ratus ribu dan dia berikan pada Zahwah.
Zahwah menerima uang itu lalu menatapnya dengan perasaan sedih. “Mas, ini tuh kebanyakan, tapi nanti saya kembalikan kalau saya sudah dapat uang ya. Makasih, Mas Raka.”
“Uang itu tidak perlu Ibu kembalikan ke saya. Saya akan mengingatkan pak Dafi untuk memberikan uang pada Ibu untuk kebutuhan rumah ini.”
Zahwah terkesiap. Dia pikir dia tidak akan mendapat uang dari Dafi kecuali uang renovasi hotel nanti yang akan dia lakukan. Zahwah merasa bersyukur ternyata dia masih menerima uang dari Dafi. “Sekali lagi makasih ya, Mas Raka, kalau gitu saya mau belanja dulu.” Setelah pamit pada Raka, Zahwah mengganti pakaian di kamar lalu dia pergi ke warung yang ada di sekitar wilayah apartemen Dafi. Walaupun jaraknya agak jauh dari apartemen Dafi, Zahwah tetap pergi dengan berjalan kaki.
Sampai di warung itu, dia membeli beras, sayur dan bahan makanan lainnya yang dia butuhkan untuk membuat bubur dan masakan lainnya.
Sementara itu, di apartemen Dafi, Raka sudah berada di kamarnya untuk memberikan laporan.
“Meeting hari ini sudah saya reschedule semua, Pak. Terus ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangani, nanti saya ambil di kantor dan saya bawa ke sini supaya bisa segara ditanda tangani. Terus satu lagi, bu Zahwah belum diberi uang untuk kebutuhan sehari-hari ya, Pak?”
“Astaga. Saya lupa itu. Tolong kamu urus ya! Nominalnya seusai dengan yang sudah saya hitung. Tolong kasih tahu juga keperluan yang harus dibeli seperti sabun, dan kebutuhan lainnya.”
“Baik, Pak. Akan saya urus semuanya. Bapak istirahat saja lagi, nanti akan saya bangukan kalau sudah waktunya berangkat ke rumah sakit.”
“Ok. Makasih ya, Raka.”
Raka keluar lagi dari kamar Dafi. Pada saat itu, Zahwah sudah ke apartemen setelah belanja. Raka pun menemui Zahwah di dapur.
“Ibu, saya boleh minta nomor rekening? Ada uang belanja dari pak Dafi untuk biaya bulanan.”
Zahwah pun memberikan nomor rekeningnya pada Raka. Tak lama kemudian, bunyi notifikasi transferan terdengar dari ponsel Zahwah. Perempuan itu terkejut melihat nominal transfer dari Raka. “Kok banyak banget, Mas?”
“Iya, sekalian uang belanja bulanan, Bu. Ibu akan mengurus pembelian keperluan pribadi pak Dafi mulai sekarang.”