Zahwah meringis. Dia memegang bahunya yang terasa sakit. “Duh, kamu tuh kalau mukul orang kira-kira dong, Ren. Sakit banget.”
Rena tidak peduli dengan keluhan Zahwah. “Ya, gimana dong, abis aku gemes banget sama kak Dika.” Rena terus menatap Dika yang berjalan mendekati meja mereka. “Kok bisa sih kak Dika ganteng banget.”
“Ya bisalah karena yang nyiptain dia kan Allah, coba kalau kamu yang nyiptain paling cuma jadi batu.”
“Dih, apaan sih, Za. Udah diem yuk bentar lagi kak Dika sampe ke meja kita.”
Dika tersenyum pada Zahwah dan Rena. Dia masih mengenali wajah Zahwah, tetapi tidak begitu mengenal Rena. “Zahwah kan? Kamu pacarnya Arsen kan?”
Zahwah mengangguk. “Iya, tapi itu dulu. Sekarang mas Arsen enggak tahu ada di mana.”
“Kamu enggak dapet kabar sama sekali dari Arsen, Za?” Lalu Dika memilih tempat duduk di hadapan Zahwah.
Rena merasa diabaikan pada saat itu. Seperti nyamuk yang menemani orang pacaran.
Zahwah menggeleng. “Enggak ada kabar sama sekali, Kak.”
Dika terdiam. Pria itu tampak menyembunyikan sesuatu dari Zahwah. “Oh gitu.”
“Emang Kak Dika masih kontak sama mas Arsen?” Zahwah penasaran.
“Jarang sih. Udah lama malah enggak ada kontak sama sekali.” Namun, wajahnya Dika seperti tidak mendukung ucapannya.
“Ya sudahlah. Mungkin dia sudah lupa sama aku.” Wajah Zahwah menjadi murung.
Dika merasa kasihan pada Zahwah, tetapi dia tidak bisa menceritakan apa pun pada perempuan itu untuk saat ini.
“Helow … kalian enggak lupa kan kalau aku ada di sini?” Rena mulai menyela. “Kak Dika, kenalin aku Rena yang menghubungi Kakak kemarin. Terus kita pesen makan dulu yuk, biar bisa konsen pas ngomongin yang serius.”
“Ok, Rena. Makasih ya, Ren sudah inisiatif buat ketemuan hari ini. Ya sudah kita pesen makan dulu.”
Ketiganya memesan makanan sesuai selera masing-masing. Zahwah minta Rena yang membayar makanannya kali ini. Selesai memesan makanan, mereka melanjutkan obrolan.
“Kak Dika ini kerjanya apa ya?” tanya Zahwah penasaran.
“Papaku kontraktor, aku arsitek sekaligus desain interior. Bisa semua sih, kamu butuhnya apa, Za?”
Zahwah takjub pada pria di hadapannya itu. “Kuliahnya gimana itu, Kak? Bukannya susah ya dua-duanya?”
“Sulit sih, tapi masih ada hubungannya, jadi bisa dibarengin gitu kuliahnya?”
“Emangnya enggak pusing ya, Kak? Aku aja yang ambil satu jurusan sudah pusing, Kak.”
“Ya dibawa santai aja, Za. Jangan terlalu dipikirkan. Dijalani aja.”
“Tapi, Kakak emang keren sih. Dari dulu selalu juara umum gantian sama mas Arsen.” Mengingat nama Arsen, Zahwah terdiam lagi.
Rena yang mengambil alih obrolan. “Jadi, sesuai yang aku kasih tahu ke Kak Dika, kan, Zahwah mau renovasi hotel. Kakak lihat aja deh nanti. Dia pasti butuh semuanya. Kalau sama teman biayanya bisa dikurangi kan, Kak?”
Dika tertawa mendengar ucapan Rena. “Soal biaya tuh gampang lah. Nanti aku lihat deh hotelnya yang mana.” Dika tersenyum. Memang sudah pekerjaannya untuk urusan renovasi itu.
“Ngomong-ngomong nih ya, Kak Dika ini sudah nikah, punya pacar apa masih jomlo? Kalau masih jomlo, boleh dong.” Rena mencolek Zahwah.
Dika pun tersenyum manis. “Belum nikah dan belum punya pacar.”
Rena tidak begitu saja percaya dengan ucapan Dika, tetapi dia juga berharap. “Enggak mungkinlah cowok seganteng Kak Dika enggak punya pacar?”
“Tapi, kenyataannya gitu. Maklum aja, Ren, aku gaulnya sama kertas dan desain. Mana sempet cari pacar.”
“Ah, enggak mungkin, kan ada teman SMA dulu atau klien barang kali?” Rena masih penasaran.
“Ya … gimana ya, tiap dapet klien selalu dikasih papa yang bapak-bapak tua, mana ada cewek yang muda-muda. Mungkin papa belum pengen anaknya nikah sekarang kali ya? Kalau Rena sudah punya pacar? Terus … Zahwah sudah ada penggantinya Arsen?”
Zahwah menggeleng.
“Rena belum punya pacar, Kak Dika.” Rena tersenyum. “Kalau Zahwah sudah nikah, Kak, tapi baru sih. Belum ada satu bulan.”
“Oh ….”
Makanan pesanan mereka pun diantar. Namun, Dika malah penasaran dengan suami Zahwah.
“Za, kamu nikah sama siapa? Sama teman sekolah kita dulu?”
Zahwah menggeleng. “Ceritanya panjang, Kak. Kapan-kapan deh aku cerita.”
“Iya, Kak. Kita makan dulu aja.”
Ketiganya mulai menikmati makan siang mereka sambil membahas soal renovasi hotel milik Zahwah.
Selesai makan bersama, Zahwah memberikan propsalnya pada Dika.
“Aku pernah buat ini, Kak. Kakak baca aja, siapa tahu bisa jadi referensi.”
“Ok, makasih ya, Za. Aku pelajari dulu. Nanti aku hubungi kamu beberapa hari lagi buat bahas soal renovasi ini ya.”
Siang itu, Zahwah pulang ke apartemen dengan perasaan senang. Rencana renovasinya sudah ada yang akan membantu. Dia pun sudah tidak sabar untuk mengabari Dafi secepatnya.
Pada malam harinya, Dafi pulang pada jam 19.00, Zahwah memperhatikan keadaan Dafi, apa dia sudah bisa bicara pada pria itu.
“Mas, boleh ngomong sesuatu enggak?” tanya Zahwah dengan hati-hati.
“Boleh. Tunggu ya, saya mau mandi dulu.” Dafi pun bergegas menuju kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Dia merasa tidak nyaman dengan pakaian yang seharian sudah dia pakai.
Selesai mandi, Dafi keluar dari kamarnya. Dia menuju ruang tengah di mana Zahwah sudah menunggunya di sana. Pria itu duduk di sofa dengan wajah lelahnya, Dafi bertanya pada Zahwah.
“Kamu mau ngomong apa, Za?” pria itu bertanya dengan nada datar.
“Saya mau ngomong soal renovasi hotel.”
“Ya, gimana?”
“Saya sudah dapet arsitek yang bisa diajak kerja sama. Ini kartu namanya.” Zahwah memberikan kartu nama Dika yang dia dapatkan tadi pada saat makan siang.
Dafi membaca nama di kartu itu lalu mengangguk. “Ok, arsitek ini bagus. Kamu hitung biayanya lagi, nanti serahkan ke saya perhitungannya.”
Zahwah tersenyum karena Dafi sudah setuju dengan pilihannya. Namun, dia penasaran dengan Dafi. “Mas, tadi Kania datang ke kantor Mas Dafi?”
Pria itu menggeleng. “Enggak. Kenapa?”
“Enggak apa-apa, cuma penasaran aja sama Mas Dafi, keliatan capek.”
“Saya lagi banyak kerjaan di kantor. Pikiran saya lagi terbagi ke sana sini.”
“Oh ….” Zahwah pun merasa lega karen Dafi berubah karena pekerjaan. “Semoga kerjaannya lancar ya, Mas. Secepatnya saya akan kasih rencana biayanya ke Mas Dafi.”
Pria itu pun mengangguk lalu kembali kamarnya.
Besoknya, Zahwah bangun pada jam biasanya. Pada jam itu biasanya Dafi sudah berkeliaran di luar kamar, tetapi pagi ini sosok pria itu tidak terlihat. Zahwah pun merasa penasaran lalu mengetuk pintu kamar Dafi.
“Mas … Mas Dafi masih ada di kamar? Mas enggak ngantor?”
Tidak ada jawaban dari dalam kamar Dafi. Dia coba memutar gagang pintu untuk memeriksa keadaan Dafi. “Mas, saya masuk ke kamar Mas Dafi ya.”
Ketika Zahwah masuk kamar dia lihat Dafi masih tertidur di ranjangnya. “Mas Dafi baik-baik aja, kan?”
Tidak ada jawaban.
Zahwah pun mendekati Dafi lalu menempelkan tangannya di kening pria itu. Zahwah menjadi panik seketika. “Mas Dafi demam?"