Bab 10. Teman SMA

1165 Kata
Tadi malam Zahwah hanya tidur sebentar karena sibuk memikirkan apa yang akan Dafi lakukan padanya jika dia tidak berhasil mendapatkan kontraktor dan arsitek itu. Namun, pagi Ini dia harus siap-siap untuk pergi ke rumah Rena. Dia butuh bantuan dari sahabatnya itu untuk menyelesaikan masalahnya saat ini. Di rumah Rena, Zahwah sedang terlihat sangat bingung. Rena pun penasaran dengan apa yang dirasakan sahabatnya itu. “Kamu kenapa, Za? Lagi ada masalah?” Zahwah mengangguk. Tebakan sahabatnya benar. Dia memang sedang berada dalam masalah besar. “Aku bingung soal renovasi hotel nih." “Kan kamu sudah bikin perencanaan renovasi lengkap sampai pembukaan hotel kembali? Ya sudah kamu lakukan aja. Kenapa harus bingung?” “Ya … gimana enggak bingung coba. Aku cuma bisa bikin perencanaannya aja, tapi realisasinya enggak bisa. Tolong aku dong, Ren.” Zahwah memohon bantuan dari Rena. Rena pun ikut memikirkan rencana buat Zahwah. “Ya kamu cari aja orang yang bisa bantu kamu buat renovasi hotel itu.” Zahwah menghela napas. Sahabatnya itu terlihat tidak membantu sama sekali. “Yah, Ren, kalau itu aku tahu, tapi siapa yang bisa bantuin aku?” Zahwah mengusap wajahnya dengan kasar. Dia tidak ada ide sama sekali karena sudah enam tahun berada di luar negeri dan tidak ada kenalan yang bisa membantunya saat ini. “Teman sekolah kita dulu ada yang bisa bantu enggak sih?” Zahwah bisa frustasi jika tidak ada yang membantunya. Dia khawatir Dafi akan menuntutnya ke pengadilan jika dia hanya berdiam diri. “Teman sekolah? Nanti aku cariin deh ya. Aku tanya ke temen-temen yang lain. Terus Mas Dafi gimana? Ada kemajuan apa hubungan kamu sama mas Dafi?" Rena sangat penasaran. Zahwah menggeleng. "Enggak ada kemajuan apa-apa, Rena. Aku sama mas Dafi cuma melakukan suatu kerja sama, bukan lagi pendekatan." Zahwah merahasiakan ciumannya dengan Dafi dari Rena. "Kamu belum move on sih, Za. Jadi enggak pernah bisa melihat mas Dafi yang ada di samping kamu. Dia itu orang baik, Za. Jangan dilepaskan atau nanti kamu nyesel." "Kamu tuh kenapa sih terus aja maksa aku supaya bikin mas Dafi jatuh cinta?" Zahwah penasaran. "Karena mas Dafi itu terlalu sayang untuk dibiarkan begitu aja. Kamu enggak akan pernah menemukan orang sebaik dia, Za." "Kamu ya kayak orang yang paling kenal aja sama mas Dafi? Memangnya kamu pernah pacaran sma mas Dafi?" Zahwah heran karena Rena selalu memaksanya. "Aku enggak pernah pacaran kok sama mas Dafi cuma sering denger cerita papa aja kalau mas Dafi itu baik, tanggung jawab, pokoknya semua sifat yang baik-baik itu ada pada dia." "Terus kenapa enggak kamu aja yang deketin mas Dafi?" "Karena aku enggak ada kesempatan buat deketin mas Dafi. Kami enggak ada urusan apa yang bisa membuat kami menjadi dekat." "Iya terus kamu korbankan aku ke mas Dafi. Kamu harus tanggung jawab, Rena." "Mas Dafi sudah tanggung jawab sama kamu itu sudah cukup kok, Za. Pokoknya jangan pernah kamu lepasin mas Dafi begitu aja. Kamu harus mempertahankan dia di samping kamu." "Ngapain aku harus capek-capek melakukan itu kalau dia aja enggak pernah cinta sama aku." "Belum, Za. Aku yakin dia pasti jatuh cinta sama kamu. Percaya deh sama aku." *** Tiga hari kemudian, Zahwah masih santai di kamarnya. Masih jam sembilan pagi. Dafi sudah pergi ke kantor. Sejak pertemuannya dengan Kania, perempuan itu tidak datang lagi ke kantor Dafi dan sikap Dafi setelah pulang kantor menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Zahwah sempat merasa bersalah, tetapi dia berusaha membuang jauh-jauh perasaan bersalahnya itu dan menjalani harinya seperti biasa. Ketika Zahwah sedang mencari arsitek dan desain interior untuk renovasi hotelnya, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Rena yang menelepon Zahwah. Dia pun tersenyum dan segera menerima panggilan itu. “Halo, Ren, ada kabar baik apa?” Zahwah sangat tidak sabar. “Kamu udah kayak cenayang aja ya, Za? Bisa nebak aku bawa berita bagus?” “Nah, bener kan tebakan aku, jadi ada kabar bagus apa nih?” “Aku tuh udah tiga harian ini cari temen yang bisa bantuin kamu dan aku dapet dong. Dia kakak kelas kita pas SMA, tapi aku enggak tahu kamu mau kerja sama sama dia apa enggak.” “Loh, kenapa? Apa yang salah dengan dia?” “Dia ini cowok dan dia adalah temen dekatnya mas Arsen. Gimana, Za?” Zahwah terdiam. Yang dia tahu temannya Arsen sewaktu SMA adalah Dika. Jika Arsen punya teman dekat lainnya dia tidak tahu karena yang sering dia lihat adalah Dika. “Itu kak Dika bukan?” “Bener banget, Za, ternyata kamu masih inget. Segitu cintanya ya kamu sama mas Arsen.” “Iya deh iya. Kalau harus kerja sama dengan kak Dika itu boleh aja, aku enggak pernah ada masalah kok sama dia. Terus teknisnya gimana ini? Kamu yang hubungi dia apa aku yang kontak kak Dika duluan?” “Aku sudah mengatur pertemuan kita siang ini di restoran. Kamu tinggal datang aja, kita janjian ketemuan di sana kok.” Zahwah terkejut. Ternyata Rena tidak hanya memberitahu informasi penting buatnya, tetapi juga sudah membuat janji temu. “Keren banget kamu, Rena, makasih banget ya. Jadi makin cinta deh aku sama kamu. Mau dicipok enggak?” “Eits … aku enggak terima cipok dari kamu, Za. Haram … eh najis tau enggak sih, tapi … kok aku jadi curiga sama kamu, jangan-jangan kamu sudah dicium mas Dafi ya?” Wajah Zahwah memerah, dan dia langsung mengelak. “Enggak ih, siapa yang dicium mas Dafi? Ngaco kamu ya.” Zahwah tidak mau ketahuan Rena. “Alah udah nikah ini. Apa salahnya ciuman? Mau bobo bareng juga boleh kok. Apalagi kalau suami yang minta duluan. Jangan ditolak, bisa dosa kamu, Za.” Zahwah makin sewot pada Rena. “Apaan sih ngomongin itu? Udah ya aku mau siap-siap buat ketemuan sama kak Dika.” Zahwah langsung menutup panggilan telepon karena merasa malu pada Rena. Jam pertemuan masih lama, tetapi Zahwah sudah mulai siap-siap dan ternyata dia belum mandi. Zahwah melempar ponselnya ke atas kasur lalu bergegas ke kamar mandi. Hampir satu jam dia berada di kamar mandi buat membersihkan daki-daki yang menempel sebelum bertemu dengan Dika. Zahwah memilih kemeja dan celana bahan untuk pertemuan kali ini. Dia tidak mau sampai salah kostum dan memalukan dirinya sendiri. Sebelum pergi, Zahwah tidak lupa membawa proposal yang dia ajukan pada Dafi waktu itu dan mungkin nanti akan dia tunjukkan pada Dika. Perempuan itu menuju restoran tempat mereka akan bertemu dengan taksi. Zahwah tidak mau penampilannya terlihat aneh dan berantakan jika naik ojek. Sampai di restoran, baru ada Rena. Dia pun segera menghampiri meja tempat Rena menunggu dan duduk di dekatnya. “Kak Dika sudah sampai mana katanya?” Zahwah takut Dika membatalkan pertemuan mereka siang ini. “Udah di depan katanya. Bentar lagi masuk.” Rena dan Zahwah sama-sama deg-degan menunggu Dika masuk. Tiba-tiba Rena merasa bahunya terasa sakit karena mendapat pukulan keras dari Rena. Sahabatnya itu terlihat sangat girang. “Za, kak Dika cakep banget. Aku mau deh sama dia. Kamu kan sudah punya suami, jadi jangan coba-coba rebut kak Dika dari aku ya!” Zahwah hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Rena.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN