Dafi mendapat pesan dari Safina. Perempuan itu sudah menunggunya di sebuah kafe di dekat kantor pria itu. “Mau ngapain mama ngajak ketemuan ya?” Dafi yang penasaran memutuskan untuk menemui sang mama di kafe tersebut.
Di kafe itu, Safina duduk sendiri menunggu Dafi. Sudah ada dua gelas minuman di hadapannya.
“Mama sendiri?” tanya Dafi sambil menoleh ke kanan dan ke kiri mencari orang yang menemani Safina.
“Iya, Mama sendirian. Duduk, Dafi! Mama pengen ngomong sama kamu.” Semarah-marahnya seorang mama, pasti tidak ada sanggup mendiamkan anaknya lama-lama.
Dafi duduk dan sudah siap menerima jika Safina marah padanya. “Mama mau ngomong apa?”
“Kamu sehat, Dafi?” Yang Safina lihat Dafi terlihat agak berantakan. Dia pikir mungkin Dafi terlalu banyak pekerjaan di kantornya.
“Aku sehat kok, Ma. Aku baik-baik aja. Mama sehat?” Dafi juga bertanya kabar sang mama. Sejak kedatangannya waktu itu, Dafi belum pernah bertemu lagi dengan sang mama.
“Mama sehat kok. Mama tahu kamu pasti sudah memikirkan dengan matang kenapa kamu menikah dengan Zahwah, tapi Mama pengen tahu aja, apa kamu merasa bahagia dengan keputusan kamu itu, Dafi? Kamu menyesal menikah dengan Zahwah?”
Dafi tidak pernah menyesali keputusannya menikah dengan Zahwah. “Enggak, Ma. Sampai saat, aku merasa bahagia kok menikah dengan Zahwah. Dan tidak sedikit pun aku menyesal karena sudah menikah dengan Zahwah. Dia adalah perempuan pilihanku yang dengan sengaja aku nikahi.” Dafi terlihat sangat yakin.
Namun, Safina berpikiran lain. “Sebelum menikah dengan Zahwah, kamu enggak tidur dengan perempuan itu, kan, Dafi? Ya siapa tahu aja sebelum ini kamu enggak sengaja tidur dengan Zahwah terus dia hamil, lalu kamu tanggung jawab dengan menikahinya. Mama rasa aneh aja gitu kamu tiba-tiba menikah.”
Dafi tersenyum mendengar ucapan Safina. Mana berani dia sembarangan tidur dengan perempuan sebelum menikah. Melakukan one night stand dengan perempuan yang baru dia kenal bukan kebiasaan Dafi. “Ya enggak mungkinlah, Ma. Mama bisa membunuh aku kalau aku berani menghamili anak orang sebelum menikah. Sampai detik ini Zahwah belum hamil kok. Apa perlu kita bawa Zahwah ke dokter supaya Mama percaya kalau dia engggak hamil?”
“Enggak perlu. Cuma Mama mau kamu jangan mempermainkan pernikahan ya, Dafi. Kamu memang tiba-tiba menikah, tapi kamu sama Zahwah bisa bahagia menjalani pernikahan itu. Mama dulu juga ketika menikah belum cinta kok sama papa kamu, tapi lama-lama perasaan cinta itu bisa hadir dengan sendirinya. Mama harap kamu bisa mencontoh pernikahan Mama dengan papa. Kalau Deva kan beda lagi. Dia sudah pacaran sama Rizki sebelum mereka menikah. Kamu juga pernah pacaran dengan Amelia kan? Pasti kamu bisa mencintai Zahwah juga.” Safina tahu setelah putus dengan Amelia, Dafi belum pernah pacaran dengan gadis mana pun sampai dia tiba-tiba menikah dengan Zahwah.
Dafi tahu Safina khawatir. Namun, dia juga tetap punya hak untuk melakukan apa pun pada pernikahannya. “Ma … aku enggak akan mengecewakan Mama kok. Tolong kasih aku kepercayaan. Aku yakin setiap keputusan yang aku pilih semua sudah aku pikirkan dengan baik.”
“Ya sudah. Yang penting Mama titip kamu jaga istri kamu dengan baik. Jangan kamu sakiti perasaannya ya. Dia itu perempuan, sekali kamu menyakiti perasaannya, kamu sudah menyakiti perasaan Mama.”
Dafi terdiam memikirkan ucapan sang mama. Ternyata Dafi lupa, jika dia menyakiti Zahwah itu sama saja dengan menyakiti perasaan sang mama. “Kalau suatu hari aku menceraikan Zahwah, apa itu artinya aku menyakiti perasaan Zahwah?” tanya Dafi pada dirinya sendiri.
Malam harinya Dafi terdiam sendirian di kamar sambil memikirkan ucapan sang mama. Kemudian, dia mencari Zahwah di kamarnya karena gadis itu tidak ada di ruang tengah atau pun di dapur.
“Za … bisa bicara sebentar?” Dafi mengetuk pintu kamar Zahwah.
Tak lama kemudian, pintu kamar Zahwah terbuka. Perempuan itu keluar dari kamarnya. “Mas Dafi mau ngomong apa?”
“Ke ruang tengah dulu, Kita bicara di sana.”
Zahwah mengikuti langkah Dafi menuju ruang tengah. Keduanya duduk di sofa bersamaan, tetapi masih ada jarak di antaranya. Dafi menanyakan sesuatu pada Zahwah,
“Sejak kita ketemu sampai hari ini, apa kamu pernah merasa disakiti oleh saya? Baik itu secara fisik ataupun perasaan kamu?”
Zahwah menggeleng. “Enggak, Mas. Saya enggak pernah merasa Mas sudah menyakiti perasaan saya.” Zahwah merasa seperti itu.
“Walaupun saya beberapa kali memaksa mencium kamu, kamu enggak marah atau merasa sakit hati?”
Pertanyaan ini jelas membuat Zahwah terdiam. Ya waktu itu dia memang marah, tetapi tidak sampai merasa sakit hati. “Kalau sakit hati sih enggak.”
“Tapi kamu marah sama saya?”
Zahwah diam.
“Saya minta maaf kalau kamu marah. Saya terpaksa melakukan itu.”
“Saya tahu, Mas, mungkin kalau saya ada di posisi Mas Dafi bisa jadi saya melakukan hal yang sama.”
“Lain kali kalau kamu merasa sakit hati karena saya, tolong beri tahu saya. Oh ya, kamu sudah ketemu kontraktor sama arsitek buat merenovasi hotel kamu, Za?”
Dafi menanyakan hal yang sedang tidak ingin Zahwah dengar saat ini karena memang dia belum menemukan kontraktor dan arsitek itu. Orang yang minim pengalaman seperti dia akan kesulitan mencari dua hal penting itu. Zahwah pun terpaksa berbohong.
“Masih diseleksi sih Mas, lagi pengen cari yang bisa dipercaya. Mas tahu kan zaman sekarang cari kontraktor itu enggak mudah. Bisa jadi kita yang ditipu sama mereka. Uang sudah keluar eh renovasinya gagal total.”
Dafi setuju dengan ucapan Zahwah. Tidak semudah itu mencari orang yang bisa mereka percaya dengan baik. “Ya … lanjutkan saja prosesnya. Kasih tahu saya kalau ada apa-apa.” Dafi belun mau ikut campur dengan urusan renovasi hotel Zahwah, tetapi jika dia lihat Zahwah mendapat kesulitan yang besar, dia pasti akan membantu. “Kamu istirahat aja, Za. Saya juga mau balik ke kamar.”
Dafi tinggalkan Zahwah yang sedang bingung sendiri memikirkan kontraktor dan arsitek yang dia butuhkan. Gadis itu kembali ke kamarnya lalu mengirim pesan pada Rena.
Zahwah : Ren, besok aku ke rumahmu ya.
Rena : Ok. Jam berapa, Za?
Zahwah : Pagi ya sekitar jam sembilan.
Rena : Aku tunggu di rumah.
Setelah mengirim pesan pada Rena, Zahwah tidak bisa tidur karena memikirkan apa yang akan terjadi jika dia tidak mendapatkan kontraktor dan arsitek dalam waktu dekat. “Mas Dafi bakalan marah enggak ya kalau tahu aku kerjanya enggak becus kayak begini?”