Bab 8. Kedatangan Deva

1082 Kata
Kania mengerutkan dahi. “Pagi-pagi begini mana ada hotel yang buka?” Kania merasa heran lalu dia pikir harus membuntuti Dafi dan Zahwah. Ke mana mereka akan pergi pagi ini? Dafi dan Zahwah sudah berada di mobil Dafi. Gadia itu baru sadar jika pagi-pagi begini tidak bisa check in di hotel. Dia pun mengingatkan Dafi. “Ya sudah, kita pulang ke apartemen. Supaya Kania mikir kalau kita mau melakukan itu di sana.” Dafi tancap gas menuju apartemen. Kania harus percaya jika hubungan Dafi dan Zahwah memang sudah seintim itu. Dafi pun tahu jika Kania sudah pasti akan mengikuti mereka. Kania mengikuti mobil Dafi dengan mobilnya. Dia mengambil jarak aman agar tidak ada yang tahu jika dia sedang mengikuti Dafi. “Kok mereka enggak belok ke hotel?” Kania penasaran melihat mobil Dafi terus melaju. Ke mana pun mobil Dafi melaju, Kania terus mengikutinya. Mobil Dafi berbelok di sebuah komplek apartemen. Kania menghentikan mobilnya sebelum belokan masuk ke apartemen Dafi. “Oh … pulang ke apartemen? Ya sudah biarkan mereka melakukan apa pun sesuka hatinya, tapi aku jadi penasaran … apa ya rasanya tidur sama mas Dafi? Haruskan aku coba buat tidur dengannya?” Kania melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu. Dia percaya pasti Dafi akan menghabiskan paginya bersama dengan Zahwah di apartemen itu. Kania melajukan mobil ke kantornya. Papanya sudah menunggu kedatangannya pagi ini di kantor. Kania menambah kecepatan mobilnya agar lebih cepat tiba di kantor. Tiba di kantor, Kania langsung menuju ruangan kerja sang papa. Dia sudah tahu pasti papanya akan bertanya tentang hubungannya dengan Dafi. “Sejauh mana hubungan kamu dengan Dafi? Apa kalian sudah sama-sama siap untuk menikah?” Tebakan Kania benar. Dia pun mulai mengarang cerita agar sang papa tidak marah padanya. “Mas Dafi belum mau nikah, Pa. Dia masih banyak kerjaan. Jadi, hubungan aku sama dia enggak maju-maju sih.” “Kamu bujuk dong dia buat nikahin kamu. Kalau perlu kamu paksa dia. Kalau mau lebih cepat lagi, kamu jebak dia supaya hamil anak kamu. Bisa kan, Kania? Papa enggak mau kalau proyek ini sampai gagal.” Ini papa sama anak sama saja isi pikirannya. Enggak ada yang waras. Ya namanya juga papa dan anak kandung karena buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. “Memang Papa enggak marah kalau aku hamil duluan?” Kania penasaran dengan reaksi papanya. “Kalau kehamilan itu bisa mempercepat pernikahan kalian, Papa pikir tidak masalah. Supaya kamu cepet nikah juga kan sama dia.” Papanya Kania tidak mau proyeknya sampai gagal, apa pun akan dia lakukan demi proyek itu. Kania tersenyum sambil berpikir. Haruskah dia benar-benar tidur dengan Dafi sampai hamil anak dari pria itu? Sepertinya ide yang bagus menurut Kania, tetapi dia masih belum ingin melakukan itu. Walaupun dia juga penasaran bagaimana rasanya tidur dengan Dafi. Sementara itu, di apartemen Dafi, pria itu baru berangkat kembali ke kantor. Tadi dia sempat berdiam diri dulu sebentar di apartemen sambil memeriksa pekerjaan. Dafi tetap harus fokus pada pekerjaannya. Setengah jam kemudian, Deva datang ke apartemen Dafi bersama anak kembarnya. Perempuan itu sengaja datang menemui Zahwah untuk membicarakan sesuatu. “Saya Deva. Ini anak-anak saya. Saya sama Dafi itu saudara kembar. Kami kembar tiga, satu lagi namanya Dafa. Dia kerja di sebuah perusahaan konstruksi.” Deva duduk bersama Zahwah di ruang tengah. Perempuan itu membawa makanan untuk mereka. “Saya panggil Mbak dong ya. Mbak Deva saya Zahwah, istrinya mas Dafi. Saya baru tahu kalau mas Dafi itu kembar tiga. Wajah kalian memang mirip ya. Ada apa Mbak datang ke sini ya?” Zahwah penasaran dengan kedatangan Deva ke apartemen Dafi. “Saya datang ke sini memang pengen kenalan sama kamu. Kamu pasti sudah ketemu dengan kakek, nenek, mama dan papa kami kan?” Deva tahu orang tuanya sudah datang menemui Dafi. “Iya, Mbak. Waktu itu mereka datang pagi-pagi sebelum mas Dafi datang ke kantor.” Zahwah tersenyum. Dia harap Deva akan bersikap baik padanya dan tidak menjadikannya musuh. “Saya boleh tanya sesuatu sama kamu? Tapi, kamu jawab yang jujur ya?” Zahwah menyiapkan diri jika nanti ada pertanyaan yang akan menyinggung perasaannya. “Boleh, Mbak mau tanya apa?” “Sejak kamu menikah dengan Dafi, kalian tidur satu kamar atau terpisah. Jawab aja, Za. Saya mau jawaban jujur dari kamu.” Deva harap Zahwah bisa dia ajak kerja sama. “Sejak malam itu, kami tidur terpisah, Mbak.” Wajah Zahwah terlihat murung. “Jadi … sampai hari ini kalian belum pernah tidur bersama?” Zahwah menggeleng. “Bener-bener Dafi itu ya. Terus apa Dafi pernah bilang kalau dia akan menceraikan kamu?” Zahwah mengangguk. “Iya, Mbak.” Deva tidak perlu alasan mengapa Dafi ingin menceraikan Zahwah. Yang dia mau saudaranya itu menjalani pernikahan dengan baik. Tidak asal menceraikan Zahwah semaunya. “Saya bawa makanan, kita makan bareng ya. Saya memang sengaja datang ke sini karena kesepian di rumah. Suami saya dosen, tapi waktunya lebih banyak di kampus. saya juga sering main ke sini kalau lagi kesepian. Biasanya saya ngajak Dafa untuk menemai saya di sini. Kamar yang kamu pakai itu di ujung, kan? Nah, kamar itu biasanya dipakai Dafa untuk istirahat di sini. Kamu tenang aja, di sana enggak ada barang-barang Dafa. Kamar yang tengah ini, saya yang pakai, di sana banyak mainan. Makanya, Dafi enggak ngasih kamu kamar itu.” Zahwah mengangguk. Dia baru mengenal saudara Dafi hari ini. Apa dia harus mengenal mereka lebih jauh? Bukankah itu nanti akan membuatnya makin berat untuk berpisah dengan Dafi? Harusnya dia mengenal saudara Dafi sekedarnya. Hanya saling sapa dan tidak terlibat obrolan yang melibatkan perasaan. Seperti saat ini, Zahwah pasti merasa senang bisa berkenalan dengan Deva. Zahwah menyiapkan makanan yang dibawa oleh Deva. Mereka pun makan bersama sambil mengobrol. Selesai makan obrolan berlanjut dengan membicarakan Kania. “Kania itu paling enggak tahu malu. Dia terus-terusan ngejar Dafi padahal sudah ditolak berkali-kali bahkan dengan cara yang kasar, tapi dia enggak ngerti juga.” Deva merasa heran dengan Kania itu. “Iya, Mbak, masa ya dia kan sudah tahu saya nikah sama mas Dafi, tapi tetap aja dia datang ke kantor mas Dafi. Pagi-pagi nawarin sarapan.” “Bebal banget itu orang ya. Dafi sudah usaha mati-matian menghindar dari dia, tapi enggak ada hasilnya sama sekali.” Deva geleng-geleng kepala. “Apa yang dicari Kania dari mas Dafi, Mbak?” “Ya apalagi selain uang? Pasti papanya ada proyek bareng sama kakek. Makanya Kania mati-matian ngejar Dafi.” Zahwah pun berpikir. Dia tidak sematre Kania. Namun, utang orang tuanya yang membuat dia rela menggadaikan harga diri asal semua utang orang tuanya lunas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN