WAKTU berlalu lebih cepat dari dugaanku. Rasya mengetahui kabar itu setelah kak Alex dan ayahnya pergi dari rumahku. Dia sudah berniat mau memukuli Kak Alex, tapi aku mengancamnya dan untungnya dia bisa menurut. Seminggu setelah pertunanganku resmi batal, Kak Alex ke rumahku membawa undangan pernikahan. Wajah kusutnya membuatku tertarik untuk menggodanya, “Cuma mau nganterin undangan aja nih? Nggak mau ngapel sekalian?” Matanya melebar. Dia menatapku tajam. “Jangan bercanda! Aku baru keluar kemarin dan kamu mau aku dikirim lagi ke rumah sakit, ha?” Aku terkikik geli melihatnya marah-marah padaku. Paling tidak dia masih bisa marah, bukannya diam dan memendam semua perasaannya. Aku kasihan padanya. Melihat sebagian wajahnya masih lebam, kupikir luka yang dia alami sangat parah hingga beka

