Lucien tidak ada di kamar mereka. Mungkin pria itu sedang di ruang kerjanya saat ini. Tidak mungkin jika Lucien belum tiba, karena pria itu pulang 20 menit lebih dulu dibanding dirinya.
Baguslah, jika pria itu tidak ada di kamar, Serena bisa memiliki waktu luang lebih banyak sebelum dimarahi habis-habisan karena mampir ke kedai kopi di jam kerja.
Ia akan mandi lebih dulu baru menemui pria itu untuk menjelaskan alasannya.
Serena melempar sepatunya ke pojok ruangan, lalu mengikat rambut dengan tinggi agar tidak terkena air karena aroma shampoo masih tercium dengan segar sehingga ia tidak butuh keramas malam ini. Ia mulai melepaskan blouse kantornya lalu rok selutut menyusul dengan cepat. Tangannya meraih ke belakang punggung untuk membuka kaitan bra yang menahan payu daranya seharian.
Saat itulah ia mendengar bunyi pintu terbuka yang mengejutkannya. Serena refleks mengambil blouse yang ia lempar ke atas kasur tadi untuk menutupi d**a-nya yang terbuka. Ia memutar badan untuk melihat siapa yang masuk ke dalam ruangan itu.
“Lucien!” Matanya membulat saat ia berteriak.
Pria itu tidak membalas Serena, tangannya menutup pintu dibelakang dan melangkahkan kaki mendekati Serena. Masih lengkap dengan pakaian kerjanya, kecuali jas yang sudah ditanggalkan entah sejak kapan, tiga kancing kemejanya terbuka menggoda wanita mana saja untuk melihat lebih lama. Ataupun beberapa pria.
Tangan Serena masih mendekap sehelai kain berpotongan tipis itu sementara celana dalamnya terlihat begitu saja oleh Lucien.
Walaupun jika dipikir-pikir, lucu juga. Mereka berdua sudah sangat sering menghabiskan waktu bersama namun mengapa Serena menyembunyikan tubuhnya saat ini.
Walau bagaimanapun, tatapan Lucien memang membuat Serena ingin bersembunyi di balik pintu kamar mandi. Sayang, ia tidak sempat berlari kesana semenjak pria itu masuk ke dalam kamar.
“Apa yang aku bilang sebelumnya padamu?”
“Hm?” Serena yakin Lucien belum mengatakan apapun padanya sedari tadi.
Pria itu menundukkan kepalanya dan meletakkan jari telunjuknya di bawah dagu Serena. Menaikkan kepala wanita itu agar menengadah padanya. “Jangan menggoda karyawan lain atau pria manapun saat kau bekerja. Apa aku kurang jelas mengatakannya padamu?”
Oh itu, batin Serena. “Aku juga tidak menggoda siapapun.” Setelah mengetahui maksud Lucien, ia membantah dan menolak dengan tegas. Tidak ada yang ia goda hingga saat ini. Lagipula, misinya adalah untuk membuat Lucien tetap baik padanya agar pria itu tidak akan melakukan hal yang kejam seandainya kebenaran yang selama ini ia sembunyikan terungkap.
“Kau pergi berduaan dengan Nick hingga sore hari!” Lucien menaikkan nada suaranya walaupun tidak bermaksud membentak.
“Anu, tapi itu kan bagian dari pekerjaan. Aku menemani Steve menemui Nick ke lokasi pembangunan.”
“Kau juga pergi dengan Steve?” Nampaknya Lucien tidak mengetahui bahwa ia pergi sejak siang untuk menggantikan Emma.
“Emma harus izin pulang dan aku menggantikannya. Steve berbaik hati menemaniku sekaligus memberi arahan apa saja yang harus aku lakukan saat mengunjungi lokasi.”
“Tentu saja dia berbaik hati.” Lucien mendengus. “Kau memiliki teman yang sangat dermawan, Serena.”
Serena yakin pria itu menyindirnya namun ia akan mengabaikannya saja sekarang. “Lucien, kita lanjutkan nanti saja.”Serena sudah bersiap untuk mandi namun pria itu menghalangi jalannya.
“Aku belum selesai.”
“Tapi aku kedinginan. Apa kau tidak lihat sekarang aku hampir telanjang di depanmu?”
Lucien menelusuri Serena dari atas hingga ke bawah dengan matanya. “Karena kau mengingatkanku, bagaimana jika aku membantumu agar menjadi hangat.”
Mendengar itu saja Serena sudah yakin akan kemana arahnya. “Tidak mau. Aku harus mandi.”
Lucien tentu saja tidak mendengarkan karena detik berikutnya pria itu mengambil blouse yang menjadi pertahanan terakhir Serena untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang polos itu.
Ia memejamkan mata saat Lucien menunduk dan mencium bibirnya sambil mendekap tubuh Serena ke dalam pelukannya dengan sangat erat sehingga pria itu dapat merasakan semuanya. Pria itu menarik ikatan rambut Serena hingga helaian ikal berwarna coklat itu tergerai indah lantas jari-jarinya menyelip ke dalamnya dan menarik lembut rambut Serena menyebabkan terkesposnya leher wanita itu. Bibirnya turun dan mencium leher jenjang Serena sesekali ia menghisap dengan kuat sambil tangannya meremas payu dara wanita itu. Serena hilang akal dan tidak bisa mencegah Lucien untuk menghisap kulit lehernya karena remasan tangan pria itu membuat Serena mengerang.
Lucien memangku Serena hingga payu dara wanita itu berada di hadapan wajahnya. Seolah menemukan santapannya, Lucien melahap putting yang sudah menggodanya sedari tadi. Tanpa membuang waktu ia berjalan ke atas ranjang dan meletakkan Serena dengan hati-hati di tengahnya.
“Lucien, aku mandi dulu.” Ucap Serena. Ia merasa tubuhnya pasti bercampur dengan polusi udara karena hampir setengah hari berada di luar ruangan.
“Aku lebih suka kau seperti ini.” Tolak Lucien.
Pria itu melepaskan semua pakaiannya dan bergabung dengan Serena yang sudah terbaring polos di hadapannya.
Lucien merentangkan jarinya di atas perut Serena lalu berbaring miring untuk melanjutkan menciumi seluruh tubuh wanita itu hingga ia merasa puas. Jari jemarinya bergerak ke bawah dan semakin kurang ajar menyentuh liar bagian inti milik wanita itu. Mengulangi gerakannya hingga Serena basah dan siap untuk ia masuki.
Lucien berlutut di atas tempat tidur dan merentangkan kedua kaki Serena. Setelah mencium paha dalam wanita itu, barulah ia memasukkan dirinya ke dalam tubuh Serena dengan perlahan karena entah sudah berapa kali wanita itu berhubungan namun lubangnya masih terasa sempit untuk Lucien.
“Ahh.. Lucien.”
Lucien menyeringai saat melihat ekspresi wajah istrinya. Dengan gemas ia meremas payu daranya hingga Serena semakin mendesahkan namanya. Pria itu menurunkan kepala dan mencium bibir Serena kasar. Menghisap bibir bawahnya, sedikit menarik dan menggigit dengan sangat pelan lalu melanjutkan untuk mencumbu leher wanita itu. Beberapa hisapan keras meninggalkan jejak di kulit putih wanita itu.
“Jika aku melihatmu berduaan dengan Nick lagi, kau akan tahu akibatnya.”
Serena memejamkan matanya merasakan betapa besar Lucien di dalam tubuhnya.
“Kau mengerti, Serena?”
Pinggulnya semakin keras menghentak dan mendorong ke dalam tubuh Serena hingga p******a wanita itu berguncang-guncang. “Ak.. Aku mengerti.” Serena memejamkan matanya. “Oh, Lucien. Lebih keras.” Pinta wanita itu dan Lucien dengan senang hati menuruti permintaannya hingga setelahnya berkali-kali ia menumpahkan cairan ke dalam tubuh Serena tanda bahwa mereka berdua pun menikmati permainan yang ia mulai.
Serena menghirup napas panjang untuk menenangkan dirinya dari puncak yang selalu ia capai bersama Lucien. Tangannya meraih tissue di samping meja nakas dan membersihkan cairan panas Lucien yang juga mengenai pahanya. Untung saja dirinya cerdas karena rajin meminum pil pencegah kehamilan semenjak ia menikah dengan pria itu. Tidak lucu jika di tengah-tengah pernikahan rancangan ini, ia mengandung seorang anak.
Serena menggeleng, tidak boleh, batinnya.
Dering ponsel Serena memecah waktu istirahat mereka.
Wanita itu langsung berlari dan mengambil ponselnya yang masih berada di dalam tas. Baru saja tangannya mau mengangkat panggilan itu namun dengan segera ia urungkan. Alih-alih mengangkat, ia mematikan panggilan beserta ponselnya. Untuk apa Nick menghubunginya di luar jam kerja, gerutu Serena dalam hati.
“Siapa?” Lucien setengah bangkit dari posisinya agar dapat melihat Serena di ujung kaki tempat tidur.
“Emma, menanyakan hasil observasiku tadi siang.”
Lucien mengerutkan kening tanda bahwa ia akan menghujani Serena dengan banyak pertanyaan maka sebelum itu terjadi Serena berlari kembali ke atas ranjang dan dengan cepat mengalihkan perhatian Lucien dengan menciumi d**a pria itu hingga turun ke bawah.
=-=
Nick tidak berhenti sampai di situ.
Pagi ini, pria itu mengirimi Serena pesan untuk mengajak makan siang bersama. Tentu saja, ia tidak membalasnya. Nanti saja ia pikirkan alasan saat kebetulan bertemu lagi dengan pria itu. Jika Emma tidak menyuruh Serena untuk menggantikannya lagi, seharusnya ia aman dan tidak akan bertemu dengan Nick di lain waktu. Benarkan?
Dan saat Serena kira Nick akan berhenti setelah ia mengabaikan pesannya, pria itu justru maju dua langkah.
Sebelum turun untuk makan siang, Serena memastikan rambut panjangnya tergerai sempurna untuk menutupi leher. Ia sudah mengenakan blouse berkerah agar tanda merah yang saat ini sedikit berubah keunguan tersembunyi dengan baik. Gara-gara Lucien yang meninggalkan jejak di kulitnya, pagi ini ia harus repot-repot mencari pakaian yang dapat menutupi seluruh tanda peninggalan Lucien.
Hanya ada beberapa di sisi kanan dan kiri lehernya sementara lebih banyak di dadanya. Untungnya, ia tidak perlu sampai mengenakan turtleneck atau syal untuk menutupi itu. Hanya saja Serena harus memastikan kerah bajunya berdiri dengan benar dan rambutnya membantu untuk menyembunyikannya.
Jane sudah menempati meja panjang yang cukup untuk 8 orang. Padahal yang mendudukinya hanya ia, Serena dan Emma. Oh dan jangan lupakan Steve yang baru saja berjalan untuk bergabung di kursi mereka.
“Steve, mengapa sekarang aku jadi sering melihatmu?” Jane cemberut saat pria itu duduk di sampingnya, berhadapan dengan Serena.
Emma duduk di samping kanan Serena dengan tenang. Sudah terbiasa dengan sikap Steve belakangan ini. “Dia bahkan rela menemani Serena ke lokasi pembangunan kemarin, menggantikanku.” Sindir Emma.
Jane memutar matanya. “Ya tuhan, mau berapa wanita lagi yang akan kau jadikan korban?”
Steve tidak terima di bicarakan dengan buruk di depan matanya. “Hey, aku bahkan tidak berusaha menggoda dia kemarin. Tanyakan saja pada Serena.” Ia menoleh pada wanita yang dimaksud “Benar kan?”
Serena tersenyum geli. “Itu benar, dia tidak menggodaku.” Jawabnya hingga membuat Steve membusungkan d**a dengan bangga.
Detik itu, suasana kantin berubah lagi. Persis seperti beberapa hari lalu saat Lucien tiba-tiba datang untuk makan di kantin. Suara riuh yang sedari tadi berisik pelan-pelan mereda hingga menjadi sunyi hanya ada bunyi kelontang dari peralatan makan yang beradu.
Saat Serena memutar kepalanya ke pintu masuk, benar saja, ia menemukan suaminya berjalan dengan pakaian rapinya sambil memegang ipad. Pria itu melewatinya tanpa menoleh sedikitpun sehingga Serena langsung melanjutkan menyantap makan siangnya. Melihat itu, Jane dan Emma pun dengan hati-hati menyendok makanannya ke dalam mulut.
Steve di sisi lain, melanjutkan obrolannya dengan suara rendah namun masih terdengar oleh beberapa orang disekitarnya karena keheningan yang masih berlangsung. “Justru sebaliknya, aku menjodohkan dia dengan Nick. Kau percaya tidak, Nick langsung mengajak Serena kencan di kedai kopi pada hari pertama mereka bertemu.”
Mendengar itu, mata Jane membelalak. “Apa?” Ia melupakan nada intonasinya karena terlalu terkejut. “Oh, tidak.. Jangan Nick-ku yang manis.”
Steve mengernyit. “Sudah kubilang, kau tidak akan berhasil mendekatinya sejak awal, Jane.”
Emma tertawa mendengar perkataan Steve. “Lupakan saja dia, Nick terlalu misterius dibalik senyuman manisnya.”
“Omong-omong dimana dia?” Steve bertanya sambil mencari-cari di sekeliling kantin.
“Siapa?”Tanya Jane.
“Nick.”
“Nick ada di sini?” Kali ini Serena yang menyuarakan pertanyaannya.
Steve mengangguk. “Dia ada rapat dewan direksi pemegang saham.” Ia mengambil ponsel dari sakunya lalu berniat mengirimkan pesan pada Nick. Saking sudah terlalu sering berhubungan dengan Nick melalui pekerjaannya, Steve jadi sedikit lebih akrab dibanding hubungan pekerjaan biasa.
“Itu dia.” Emma menunjuk ke suatu arah dengan dagunya.
Jane, Steve dan Serena menoleh bersamaan mengikuti arahan Emma.
Benar saja, Nick berjalan menghampiri mereka dengan seulas senyum di bibirnya.
Saat Jane tersenyum lebar untuk menyambut Nick, Serena menutup mata dan mengeluh dalam hati. Mengapa pria itu harus datang saat Lucien berada di kantin?
Ia berdoa agar pria itu melewati mereka dan duduk di tempat lain namun doanya tidak dikabulkan dengan mudah karena menit berikutnya ia tahu Nick menarik kursi di sampingnya untuk ia duduki. “Hai, Serena.” Sapanya.
Serena tersenyum kecut. “Hai. Kau di sini?”
“Ya, aku ada rapat. Aku berniat memberitahumu semalam tapi kau tidak mengangkat panggilanku.” Nick mengingatkan Serena lagi dengan panggilannya yang ia abaikan semalam.
“Ah, iya. Aku masih di jalan dan belum sampai rumah jadi tidak bisa mengangkat panggilanmu.” Serena memuji dirinya sendiri karena dapat membuat alasan di situasi terdesak seperti ini.
Nick tidak terlihat meragukan alasan Serena jadi wanita itu bisa tenang menyantap sisa makanannya.
Emma berdiri dari kursinya. “Ah, aku lupa membawa buah-buahan. Ada yang mau kubawakan sesuatu?” Tanya Emma pada Jane dan Serena namun keduanya meggeleng dan Emma pun langsung pergi menuju stand buah-buahan.
“Makanan apa yang biasa kalian makan di sini? Rekomendasikan beberapa untukku.” Pinta Nick pada semuanya namun mata pria itu hanya tertuju pada Serena.
Serena menoleh sesaat pada Nick hingga ia tahu pria itu sedari tadi memandanginya. Bisa mati jika Lucien melihat Serena meladeni pria ini, batinnya.
“Kau bisa coba macaroni panggang.” Usul Jane dengan semangat. “Atau Caesar salad jika sedang diet.”
Sebelum Nick menjawab, Serena mendengar kursi di sampingnya berderak. Ia kira Emma telah kembali dengan buah-buahannya. Namun perkiraannya salah karena alih-alih Emma, justru Lucien lah yang baru saja duduk di sampingnya.
Semenjak detik itu Serena menggigit bibirnya dan menahan agar tidak mengatakan hal apapun sepanjang makan siang.
“Nick, kau makan di sini?” Suara pria itu sama sekali tidak ramah walaupun sedang bertanya.
Nick sepertinya sudah terbiasa dengan gaya bicara Lucien yang arogan sehingga pria itu dengan santainya menjawab. “Kebetulan aku sedang ingin makan di sini. Aku tidak tahu kau suka makanan kafetaria seperti ini, Lucien.”
“Memang tidak, tapi sesekali aku kesini jika terlalu bosan makan di ruanganku.”
Jane meneguk ludah saat menyadari bahwa dua pria tampan berada di satu meja dengannya. Nick, dan juga Lucien. “Selamat siang, Tuan Lucien.” Sapa Jane lalu diikuti Steve.
Sementara Serena meneguk ludah karena alasan yang berbeda, namun ia tidak bisa mengabaikan Lucien juga karena teman-temannya pasti akan mengira ia tidak sopan. Dengan memberanikan diri ia menoleh pada Lucien. “Selamat siang, tuan.”
Mata Lucien menatapnya langsung ke jantung karena saat mereka bertatapan jantung Serena rasanya berhenti berdetak.
Emma kembali ke meja dengan sebuah apel ditangannya.
Melihat kursinya ditempati Lucien, ia pun menarik kursi di sebelah Jane. Belum sempat Emma duduk, Lucien membuat ulah.
Jari telunjuk pria itu menarik helaian rambut yang sudah Serena tata rapi di depan, terlempar ke belakang punggungnya. Seolah belum cukup, pria itu menurunkan sedikit kerah bajunya hingga Jane, Steve dan Emma bisa melihat tanda merah keunguan di sekitar lehernya.
“Oh, sepertinya aku menghisap terlalu keras. Maafkan aku, Serena.”
Mata Serena terbelalak hingga rasanya nyaris melompat keluar saat mendengar kalimat dari bibir Lucien yang dikatakan dengan sangat santai.
Apel dari genggaman tangan Emma terjatuh menggelinding begitu saja ke lantai. “Ya tuhan.” Ucap Emma terkesiap.