18

2597 Kata
“Serena, kau bisa menggantikanku siang ini?” Emma tiba-tiba menghampiri Serena sebelum jam kerja di mulai. Ia baru saja menyalakan komputernya saat Emma menarik kursi dan duduk di sampingnya. “Menggantikanmu untuk apa?” Tanya Serena sambil menekan mouse komputernya. Me-refresh beberapa kali, seperti yang biasa ia lakukan setiap menyalakan laptop, lalu membuka file yang akan ia kerjakan. “Seharusnya hari ini aku mengunjungi lapangan tapi tiba-tiba saja aku harus izin pulang setengah hari.” Serena membulatkan matanya. “Em, ini hari keduaku. Apa yang harus kulakukan nantinya?” “Aku akan menjelaskan gambaran singkatnya. Tenang saja, kau hanya harus mengecek apakah pekerjaannya sudah ada banyak perkembangan atau tidak dan apa kau lihat para pekerja bekerja dengan giat atau tidak. Tapi aku yakin, saat kita berada di lokasi, mereka selalu bekerja mati-matian. Berbeda dengan saat kita tidak ada di sana.” Serena menggaruk tengkuknya. Itu memang tugas yang mudah, jika saja seseorang tahu batas aman pekerjaan itu dimana. “Aku tidak yakin, Em. Maksudku, itu terdengar mudah. Tapi jika indikator bagus dariku berbeda dengan indikatormu bagaimana?” “Hei, tenang saja. Aku akan menemanimu, kalau begitu.” Sebuah suara tiba-tiba bergabung dalam obrolan mereka. Steve yang baru tiba di kantor mendengar percakapan mereka saat kebetulan melewatinya untuk menuju meja kerja. “Serena, aku ahli dalam melakukan pemantauan pekerjaan lapangan. Jangan khawatir.” “Ah, benar! Kau bisa minta Steve menemanimu. Dia bisa beralasan memeriksa bahan property di sana. Mata Emma berbinar saat ia memikirkan alasan brilian yang terpikirkan olehnya. Serena mengedikkan bahu. “Baiklah kalau begitu, jam berapa aku harus pergi?” Steve mendekat pada meja Serena. “Bagaimana jika sebelum makan siang? Jadi kita bisa makan di luar sebelum menuju lokasi. Pintar, bukan?” Serena hanya menganggukkan kepalanya mendengar usulan tersebut. “Boleh saja.” “Sudah kubilang. Steve memang jagonya dalam beralibi. Ada saja alasan yang bisa ia buat demi tidak bekerja.” Ucap Emma dengan nada sarkastik. “Hey! Aku kan berniat membantumu. Mengapa kau menyudutkanku sekarang?” Emma menyerah dan mengangkat kedua tangannya ke atas. “Baiklah aku mengalah.” Emma menepuk bahu Serena dan berkata. “Serena aku serahkan padamu. Tapi jangan sampai kau termakan rayuan Steve di tengah perjalananmu, bisa-bisa kalian akan menghabiskan waktu di gedung kosong untuk menuntaskan tujuan Steve.” Emma pergi dari meja Serena meninggalkan Steve yang kesal karena ejekan wanita itu. “Jangan dengarkan dia, Serena. Wanita itu memang menyebalkan.” Serena hanya tertawa setelah itu Steve pamit bilang akan kembali ke tempatnya karena jam kerja sudah di mulai. =-= Steve memilih kedai kecil di pinggir jalan yang terlihat rapi dan bersih. Belum banyak pengunjung karena jam makan siang belum tiba. Hanya saja mereka sudah pergi lebih dulu setengah jam sebelum jam makan siang yang akan memenuhi kedai ini. “Ini kedai favoritku untuk memakan sandwhich dan pasta. Kau ingin makan apa?” Serena tidak familiar dengan menunya yang dinamakan artis-artis Hollywood. Ia menatap menu itu lama dan mengira-ngira menu apa yang akan disajikan nantinya. Steve menyadari kebingungan Serena. Ia langsung mengambil buku menu itu dari tangan Serena. “Ah, maaf. Aku lupa kau baru di sini. Biar aku jelaskan nama makanan yang ada di menu ini.” Dengan sigap Steve menyebutkan satu persatu nama menu yang ada di sana, lengkap dengan penjelasannya. Saking seringnya ia mengunjungi tempat ini di perjalanan pergi ke kantor maupun sepulang dari sana menuju rumah. “Menu favoritku adalah Jen-Law Sandwhich dan Seyfried pasta.” “Sepertinya aku akan membutuhkan makanan berat. Seyfried pasta kalau begitu.” Steve mengangguk dan memanggil pelayan untuk memesan menu pilihan mereka berdua lengkap dengan dua gelas minuman. “Bagaimana kesan bekerja di perusahaan ini?” Tanya Steve sambil menunggu makanan mereka datang. “Ini terlalu dini untuk ditanyakan. Aku bahkan baru masuk satu hari dan belum mengerjakan banyak tugas.” “Benar juga. Tapi setidaknya kau ada gambaran tentang karyawan perusahan ini.” “Yah, sejauh ini baru kau, Emma dan Jane yang kukenal. Dan juga sepertinya yang lainnya tidak bermasalah.” “Sudah ada yang kau suka?” Serena kaget dengan pertanyaan semacam itu yang keluar dari mulut Steve dengan santainya tapi melihat pria itu bersikap tenang, Serena juga dengan cepat menutupi kekagetannya. “Aku belum memperhatikan banyak pria, jadi yah tunggu saja beberapa saat lagi.” Jawab Serena ringan sambil bercanda. Steve mengedikkan bahu. “Hanya saja, jangan sampai jatuh hati pada atasan kita. Kuperingatkan dari sekarang.” Karena pembicaraan semakin menarik, Serena memajukan tubuhnya dan melipat kedua tangan diatas meja yang ia jadikan sebagai tumpuan. “Memangnya kenapa?” “Oh, kau harus tahu. Pria itu sangat terobsesi dengan mantan tunangannya yang sudah meninggal.” Walaupun menyembunyikan keterkejutan itu sulit, namun Serena merasa berpura-pura terkejut lebih sulit lagi. “Benarkah? Jadi tunangannya sudah meninggal?” Steve mengangguk. “Kejadiannya hanya beberapa minggu sebelum hari pernikahan mereka. Tragis sekali.” “Apa pelakunya sudah ditemukan?” Pancing Serena. Pria di depannya menggeleng. “Ku dengar Lucien sudah menyewa banyak detektif swasta karena polisi menyerah setelah beberapa bulan penyelidikan kasus ini. Namun tetap saja, hasilnya tidak ditemukan. Kasus ini ditandai berakhir dengan simpulan tunangannya dibunuh oleh perampok yang ingin mengambil uangnya.” Serena tersenyum kecut mendengar cerita itu. Tentu saja, Lucien tidak akan pernah menemukannya karena pelakunya adalah ayahnya. Ketua mafia yang ditakuti oleh bebreapa penegak hukum. Serena yakin ia sudah membungkam mulut para polisi dan kejaksaan jika mereka menemukan bukti yang mengarah pada ayahnya, Antonio. “Mengerikan sekali. Aku turut prihatin.” Hanya kalimat itu yang dapat keluar dari mulut Serena. Ia tidak sanggup berpura-pura lebih jauh lagi. “Ah, sudahlah. Mengapa kita jadi membahas hal yang menyedihkan. Jadi bagaimana denganmu?” Serena menunjuk dirinya sendiri. “Aku? Kenapa denganku?” “Ceritakan tentang kehidupan asmaramu.” “Tidak ada yang bisa kuceritakan.” “Oh, kau masih lajang kalau begitu?” “bisa di bilang begitu tapi aku juga tidak terlalu mencari pasangan saat ini.” Serena meringis dalam hati. Jika Lucien mendengar ini, habislah sudah. “Karena ada trauma oleh mantanmu?” Serena tertawa kecil. “Tidak ada, Steve. Aku hanya tidak punya waktu untuk berkencan.” Jangankan berkencan, menemui sahabatnya, Diego, saja ia tidak bisa. “Itu terdengar seperti penolakan bagiku.” Steve menaruh satu tangannya di d**a berpura-pura tersakiti dengan wajah yang lucu. “Aku bahkan belum sempat mengajakmu berkencan tapi kau sudah menolakku lebih dulu.” Serena mendorong bahu ssteve pelan. “Hentikan itu menjijikan.” Ucapnya bercanda. “Baiklah kalau begitu aku akan memperkenalkanmu pada orang yang akan kita temui nanti di lokasi. Aku yakin kau akan memikirkan waktumu dua kali jika sudah menyangkut orang ini.” “Serena menoleh dan menghentikan kegiatan menyendoknya. “Oh, kita akan bertemu seseorang hari ini?” Steve mengangguk. “Investor terbesar perusahaan kita, kedua setelah Lucien. Bisa dibilang Lucien memiliki saham 45% dan pria ini 30% karena sisanya terbagi milik beberapa individu.” “Mengapa kita harus bertemu mereka siang ini?” “mereka yang sangat ingin project ini dilakukan, maka dari itu pengerjannya pun sangat dia perhatikan.” Serena mengangguk tanda mengerti. Dalam hati ia berpikir, pasti investor yang akan ia temui ini bukan orang yang biasa sampai bisa memiliki saham sebesar itu di perusahaan Lucien. =-= Pria itu turun dari Roll’s Royce hitamnya. Serena menunggu di samping Steve dengan senyum kaku dan sopan untuk menyambut pria itu hingga akhirnya dia mengulurkan tangan pada Steve. “Apa kabar Steve?” Suara pria itu ramah namun tegas. Khas seorang pemimpin berwibawa. Wajahnya tampan. Tidak, Serena bisa bilang sangat tampan. Ia sering melihat wajah pria seperti itu di layar televisi. Tipe wajah yang akan digilai oleh semua remaja seusianya. Itupun jika umur 25 masih tergolong remaja. Steve mengangguk. “Baik.” Lalu Steve menarik Serena mendekat ke arah pria yang baru datang tadi. “Nick, kuperkenalkan karyawan baru kami, Serena. Emma tiba-tiba saja ada urusan jadi dia yang akan menggantikan Emma untuk hari ini.” Serena lebih dulu mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh pria itu. Jika tidak salah dengar dari Steve, namanya adalah Nick. “Halo, pak. Saya Serena.” “Oh, ayolah. Tidak ada yang memanggilku pak di kantor itu. panggil saja Nick.” Pria itu tersenyum dan berbicara seolah-olah mereka sudah dekat. Serena mengukir senyuman tipis lalu mengangguk. “Baiklah, Nick.” Pria itu tampak puas lalu membuka obrolan mengenai pekerjaan mereka yang memang menjadi tujuan awal Serena di kirim ke lokasi ini untuk menggantikan Emma. Nick menjelaskan secara singkat namun tidak melewatkan detail terpentingnya mengenai apa yang ingin ia ubah untuk rencana pembangunan di lokasi tersebut. Serena dengan cepat mencatat semuanya di buku kecil yang ia bawa di dalam tas sementara Steve hanya menyimak. Memberikan kesempatan untuk Serena. “Nah, jika sudah seperti ini akan sulit bagi kita jika hanya mengandalkan fasilitas kolam renang dan sarana olahraga saja. Jadi aku berharap akan ada kemungkinan kalian menambahkan green area juga. Di tengah kota besar seperti ini, green area sangat dibutuhkan. Kita bisa membuat Eco park.” Serena mengangguk lagi. “Aku akan diskusikan mengenai beberapa hal yang kau minta tadi.” “Oke. Kau bisa kabari aku perkembangan dari pertemuan ktia hari ini. berapa nomormu?” Serena sedikit terkejut saat pria itu membuka ponsel dan menyodorkan benda itu padanya untuk memasukan deretan angka yang merupakan nomor ponsel Serena. Namun tanpa pikir panjang, Serena langsung mengambil ponsel itu dan memasukkan nomornya. “Itu nomorku.” Ucap Nick saat ia mencoba memanggil nomor yang Serena berikan padanya. “Jangan lupa simpan nomorku dengan baik. Aku akan sering menghubungimu.” Serena tersenyum. “Ah, baiklah. Kau bisa menghubungiku kapan saja.” Sebagai karyawan baru, Serena menganggap hal itu mungkin adalah wajar. Sepertinya Emma pun sering menerima panggilan dari Nick, pikirnya. “Pulang dari tempat ini aku harap kalian tidak keberatan aku traktir secangkir kopi.” Nick memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya. Steve memandang Serena dengan tatapan yang tidak dapat Serena mengerti. “Ah, Nick, kau ajak Serena saja. Aku harus pulang lebih cepat karena ada sesuatu yang harus ku urus di kantor.” “Baiklah kalau begitu.” Nick tanpa bertanya lagi langsung mengajak Serena menuju mobilnya. “Kau ikut dengan mobilku saja. Biarkan Steve pulang lebih dulu.” Serena kebingungan karena ia berpikir pasti akan canggung jika hanya berduaan bersama Nick yang baru ia kenal. Matanya melirik pada Steve yang saat ini menampilkan wajah jahil. Ia tahu ini hanya akal-akalan Steve saja saat pria itu bilang ada urusan yang harus di kerjakan. “Steve, sepertinya aku juga harus pulang. Aku kan harus melanjutkan pekerjaan tadi pagi.” Steve mengibaskan tangannya. “Sudah, biar aku saja yang mengerjakannya untukmu.” Steve mendorong dengan lembut Serena ke arah mobil Nick. “Selamat jalan, Nick. Sampai ketemu lagi.” Nick membalasnya dengan anggukan lalu tangannya ia tempatkan di belakang punggung Serena. Membimbing wanita itu agar masuk ke dalam mobilnya. Di dalam mobil, setelah memastikan mereka berdua mengenakan sabuk pengaman. Nick mulai membuka pembicaraan lagi. “Jadi ini pekerjaan pertamamu?” Serena mengangguk. “Iya, pekerjaan pertama.” “Itu artinya, kau masih berusia sekitar 21 atau 22 ya?” Nick memprediksi Serena baru saja lulus kuliah karena ini merupakan pekerjaan pertama wanita itu. Serena menggeleng. “Aku 25. Ada jeda 3 tahun setelah aku lulus kuliah.” Namun reaksi Nick tidak terlalu terkejut walaupun umur Serena berbeda jauh dengan prediksi awalnya. =-= Mereka berdua tiba di kedai kopi yang Nick bilang tempat langganannya. Pria itu bahkan merekomendasikan beberapa menu yang menurutnya harus Serena coba. Layaknya pegawai yang bekerja di kedai itu. Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit, semua pesanan mereka tiba dengan cepat dan tersaji cantik di atas meja bundar yang agak sedikit besar. Pas untuk mereka berdua yang memiliki banyak menu di atasnya. “Walau ini pekerjaan pertamamu dank au karyawan baru namun kerjamu bagus dan cepat tanggap.” Puji Nick sambil memulai gigitan awal dari pesanannya. “Terima kasih. Jika aku melakukan kesalahan, kau boleh langsung menegurku.” Nick setuju namun ia mungkin tidak  akan melakukan itu karena kelihatannya Serena dapat beradaptasi dengan baik. Mereka berbincang panjang lebar hingga tidak terasa makanan yang dipesan sudah hampir habis. “Kau tinggal di mana?” Tanya Nick saat menyuapkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. “Hmm..” Serena takut pria ini pernah datang ke rumah Lucien atau paling tidak mengetahui alamat rumah suaminya itu. “Aku baru saja pindah, jadi aku belum hafal alamat lengkapnya.” Nick mengangguk-anggukan kepalanya. “Ke arah utara, barat, timur atau mana?” “Selatan.” Jawab Serena pendek. “Rumahku arah barat tapi kebetulan akan menuju ke arah sana, ada seseorang yang harus kutemui setelah jam kerja. Aku bisa mengantarmu dulu, mungkin jaraknya tidak terlalu jauh.” Serena membulatkan mata saat mendengar ajakan Nick. Dengan cepat ia langsung menolak. “Tidak usah, aku akan pulang setelah menyelesaikan pekerjaanku karena hampir setengah hari berada di luar aku khawatir ada beberapa pekerjaan tambahan yang harus ku selesaikan.” Serena mengambil tissue dan membersihkan sisa makanan yang sedikit mengotori bibirnya dan memastikan tidak ada remah-remah apapun di sana. “Baiklah, kalau itu maumu. Ayo, ku antar kau ke kantor.” Di perjalan pulang menuju kantor, Serena sudah berulang kali mengecek jam tangan silver kebiruan berbentuk kecil yang ia kenakan di pergelangan tangannya hari ini. tiga menit lagi jam kantor sudah selesai dan Nick baru saja memasuki area parkir. Mereka harus memutar ke samping untuk dapat menurunkan Serena ke lobby tengah gedung itu. Serena kira, Nick hanya akan menurunkannya lalu langsung pergi namun pria itu turun dari mobil dan membukakan pintu untuknya. “Terima kasih, Nick, tapi kau tidak harus melakukan itu.” Serena merapikan pakaiannya yang sedikit kusut. “Kau bisa langsung pergi, bukankah ada seseorang yang akan kau temui?” Tanya Serena. “Serena apa kau mengusirku?” Nick bertanya dengan nada bercanda dan geli karena Serena seolah ingin ia cepat-cepat pergi dari sana. “Mana mungkin aku berani.” Senyum palsu Serena terukir saat mengatakan itu. Pada saat itulah, Serena melihat seseorang yang sedang memperhatikan mereka beberapa meter dari samping. Matanya menyipit. Oh, bukan mereka. Serena lah yang diperhatikan sedari tadi. Semakin lama, punggung Serena kaku saat melihat Lucien berjalan menghampiri mereka dengan wajah yang, bisa dikatakan, tidak enak dilihat namun tetap tampan. Dan juga seksi. Ia harus bertindak cepat, pikir Serena. Wanita itu langsung maju dan tersenyum lebar dan sopan. Seolah-olah itu hanya formalitas. “Selamat sore tuan Lucien.” Nick yang mendengar Serena tiba-tiba menyebut nama Lucien, langsung menoleh ke belakangnya. “Hei, Lucien. Apa kabar?” Lucien hanya membalas sapaan Nick dengan anggukan namun matanya masih menatap Serena dengan tajam. “Serena apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak bekerja?” Serena sudah mau menjawab pertanyaan suaminya namun Nick memotong dan mendahuluinya. “Serena habis menemaniku ke lokasi pembangunan dan kita mampir ke kedai kopi dulu sebelum pulang.” Mata Lucien tidak lepas dari wanita yang sedang menundukkan matanya karena tidak berani menatap Lucien secara langsung. “Serena kau yakin tidak ingin kuantar pulang? Aku bisa menunggumu beberapa menit untukmu naik dan mengambil semua barang yang tertinggal di atas.” “Tidak usah, Nick. Terima kasih.” Serena bergerak dari tempatnya. “Kalau begitu, tuan-tuan, saya permisi dulu karena ada pekerjaan yang harus saya selesaikan di atas.” ia sedikit menundukkan kepalanya dan berputar masuk ke dalam bangunan tinggi itu sambil menghela napas lega karena aman dari aura mencekam suaminya. Saat Serena baru saja keluar dari lift dan hendak berjalan menuju mejanya, ponsel di dalam saku roknya bergetar. Sebuah pesan. From : Lucien ‘Pulang.’ Tangannya sudah akan mematikan layar namun pesan lain masuk. From “ Lucien ‘Sekarang.’ Serena menutup mata. Sial, aku pasti akan dimarahi.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN