Eleanor menghitung suara rintik hujan yang terdengar dari luar jendela kamar. Pagi ini cuaca masih sangat mendung dan suhu kamar menjadi jauh lebih dingin daripada semalam. Ia mengeratkan selimut tebal yang menutupi dirinya sambil mencoba untuk kembali tertidur saja di pagi itu.
Eleanor melirik ke arah perutnya yang tengah dipeluk oleh lelaki yang semalam menikahinya tiba-tiba itu. Maxime masih tertidur nyenyak bahkan sesekali terdengar dengkurannya. Aroma tubuh Maxime sangatlah dekat dengannya saat ini dan sejenak membuat Eleanor merasa begitu nyaman. Setiap hari dia nyaris merindukan Maxime, tapi pagi ini ia terbangun di satu ranjang yang sama dengannya.
"Kak, kita harus bangun dan pulang ke rumah. Aunty pasti akan mencari kita," Ucap Elea dengan suaranya yang serak. Dia sebenarnya sangat lelah karena semalam mereka melakukannya berkali-kali sampai selangkangannya terasa sangat ngilu. Maxime masih memejamkan matanya, tapi Elea merasakan pelukannya kian erat— menandakan kalau sebenarnya Maxime sudah bangun.
"Kakak, aku serius. Aku mau mandi dan berpakaian," Pintanya sekali lagi. Eleanor memaksa untuk melepaskan pelukan Maxime lalu beranjak ke kamar mandi. Namun, sebelum ia berhasil berdiri, tangan Maxime menahan pinggangnya.
"Jangan cepat-cepat," Bisiknya dengan suara serak yang entah kenapa terdengar begitu menggoda. Eleanor menoleh ke arah pria itu dan menggeleng kecil sebagai jawaban.
"Aku mau mandi, Kak."
Eleanor melepaskan diri dari Maxime lalu melilitkan selimut ke tubuhnya. Beruntung karena ada dua selimut di kamar ini sehingga dia bisa pergi ke kamar mandi dengan aman.
Ketika ia mencoba melangkah, Eleanor merasakan selangkangannya terasa nyeri. Ia terduduk kembali ke atas ranjang sembari meringis sakit. Maxime menatapnya khawatir, ia menyentuh bahu Elea untuk memastikan keadaan istrinya itu.
"Kau baik-baik saja?"
"Uhm... Hanya sedikit nyeri."
Maxime mencoba untuk memberi Elea kenyamanan melalui kecupan di pundak. Dia tidak tahu bagaimana rasa sakit yang dialami Elea, tapi melihatnya meringis seperti ini membuat Maxime merasa bersalah.
"Terima kasih, Kak. A-Aku mandi dulu."
Eleanor pun memaksakan dirinya untuk melangkah ke kamar mandi sebelum hal yang tidak-tidak terjadi di antara mereka.
Ia menutup pintu, tapi tidak menguncinya. Eleanor melepaskan selimutnya lalu menyalakan air di dalam bathub untuk berendam. Dia cukup terkejut karena kamar mandi ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap.
Eleanor menatap dirinya di cermin lalu mengusap ruam-ruam merah di sekitar d**a dan ada beberapa di leher kiri. Astaga, semalam ia sudah menyerahkan semuanya kepada Maxime. Maxime saja baru akan berumur 18 tahun bulan depan, tapi mereka sudah menikah bahkan di malam pesta kelulusan! Hal gila apa yang sudah ia lakukan bersama lelaki itu?
Eleanor sadar kalau cepat atau lambat semua orang akan mengetahui rahasia besar ini, tapi dia harap Maxime bisa bersikap sebijak mungkin dan tidak memutuskan untuk meninggalkannya sendirian. Meski terkesan seperti sebuah paksaan, Eleanor tetap akan menjalani pernikahan ini sepenuh hatinya. Mimpinya sejak lama ialah untuk menjadi istri dari pria yang ia cintai. Hidup bersamanya hingga meninggal. Tidak ada mimpi lainnya yang ia harapkan.
Wanita itu perlahan mencelupkan kakinya di dalam bathub. Ia mendesah lega begitu merasakan air hangat serasa memijat kulit-kulitnya yang menegang. Eleanor menumpahkan sabun dengan aroma bunga sakura ke dalam air sehingga menciptakan harum yang memanjakan indera penciumannya.
Ketika sedang asyik berendam, pintu kamar mandi terbuka. Maxime masuk ke dalamnya dengan wajah yang kusut. Rambutnya berantakan, tapi tetap membuatnya tampan.
"Aku mau mandi juga, Elea."
"Eh? Ta-Tapi, Kak..." Eleanor tidak sempat melanjutkan kata-katanya karena Maxime malah membuka celana pendek lalu masuk ke dalam bathub. Eleanor sedikit menggeser tubuhnya ke depan dan membiarkan Maxime duduk di belakang tubuhnya.
Lelaki itu menatap punggung Elea yang licin karena sabun dan sekali lagi ia merasa tergoda oleh kehalusan punggungnya.
"Menyandar padaku," Titahnya. Eleanor merasakan pipinya memanas ketika mendengar perintah itu. Maxime menarik bahunya agar dapat menyandar di depan d**a bidangnya. Eleanor duduk kaku, ia sedikit merasa tidak nyaman karena sesuatu di belakangnya tampak sangat keras.
"Kak, a-aku belum terbiasa seperti ini," Akunya. Maxime tahu hal itu, dia pun merasakan hal yang sama, tapi Maxime tidak mau menolak fakta kalau dia tergoda untuk terus seperti ini bersama Eleanor. Dia punya istri sekarang, jadi Maxime bisa melakukan hal yang lebih kepada Eleanor.
"Tidak apa-apa. Kita akan terbiasa," Balasnya kemudian. Telapak tangan Maxime mengusap paha Eleanor dengan lembut seolah sedang membersihkan kulit pahanya dengan sabun.
"Bagaimana setelah ini, Kak? Kita akan kuliah, tapi bagaimana caranya menutupi ini?"
Maxime melirik Eleanor, tapi tangannya tetap bergerak mengusap kulit paha wanita itu,"Kau jangan kuliah. Biar aku saja yang kuliah, jadi kau bisa tetap di rumah saja."
Eleanor mendongak menatap Maxime. Suaminya tidak memberinya izin untuk melanjutkan pendidikan padahal Eleanor ingin sekali menjadi seorang pengacara yang sukses. Apa dia harus membantah atau menurut saja?
"Aku tidak boleh kuliah?"
"Tidak boleh. Aku hanya ingin kau di rumah saja. Akan ada banyak risiko apabila kau kuliah," Jawabnya sedikit memaksa. Maxime hanya tidak ingin kalau Eleanor digoda oleh pria lain. Dia ingin meminimalisir masalah yang bisa saja terjadi apabila Eleanor memiliki teman pria.
"Hmm, baiklah. Aku menurut saja, Kak. Tapi apa yang harus aku bilang pada Aunty?"
"Katakan saja kalau kau ingin di rumah lalu mencari pekerjaan sendiri suatu saat nanti. Tenanglah, Mama tidak akan curiga."
Eleanor akhirnya terdiam. Dia tidak bisa melakukan apapun lagi karena memang Maxime punya hak untuk memintanya tetap di rumah.
"Kak Maxie, kalau orang lain tahu soal ini bagaimana?"
"Tidak akan ada yang tahu," Balasnya.
"Anggap saja... Seseorang tahu lalu kita bagaimana?" Tegasnya. Eleanor tidak ingin pernikahan ini dianggap seperti main-main oleh Maxime. Apapun risiko ke depannya, Elea harap Maxime bisa mengambil keputusan yang baik.
"Mengaku lalu semuanya selesai. Aku akan jujur apabila kita ketahuan," Jawabnya kemudian.
"Kak Maxie tidak akan meninggalkan aku kan, Kak?"
Maxime tiba-tiba memeluk pinggangnya sehingga membuat Eleanor semakin menempel padanya,"Kau selamanya milikku dan aku selamanya milikmu."
Eleanor memberanikan untuk membalikkan tubuhnya agar mereka bisa bertatapan. Ia menempatkan kedua tangannya di depan d**a Maxime dan menatap ke dalam mata pria itu.
"Forever Yours..."
...
Eleanor menatap gugup ke depan rumah keluarga Anderson yang sepi. Dia tidak tahu bagaimana caranya bersikap karena semua ini tak lagi sama.
"Jangan gugup, bersikap seperti biasa saja, Elea."
"Cincinnya bagaimana?" Tanya Elea sembari menatap cincin pernikahan di jari manisnya.
"Kau bisa tetap kenakan kalau kau mau," Jawab Maxime. Eleanor menggeleng pelan. Tidak, cincin hanya akan menambah kecurigaan semua orang karena terlalu mencolok.
Wanita itu melepas cincinnya lalu dimasukkan ke dalam clutch miliknya semalam. Ini akan menjadi opsi terbaik untuk menghindar dari kecurigaan orang lain.
Mereka berdua akhirnya turun dari mobil dan melangkah beriringan ke dalam rumah. Di dalam, mereka melihat Queenie yang sedang mengubah-ubah channel televisi yang membosankan.
Gadis itu menoleh ketika pintu terbuka dan kaget saat melihat Kakaknya yang baru pulang.
"Astaga! Kalian baru pulang! Kak, Mama mencarimu semalaman!"
Maxime mendekati adiknya lalu menyentil dahi Queenie,"Kami ketiduran di rumah Eduardo."
"Ihh! Aku adukan Mama!" Queenie hendak berlari ke dapur di mana Mamanya berada, tapi Maxime lekas menahan bahu adiknya lalu kembali mendudukkan Queenie ke atas sofa.
Selagi dua orang itu berdebat, Eleanor melangkahkan kakinya menuju dapur. Dia ingin menemui Alaina lebih dulu karena sudah dipastikan wanita tua itu mengkhawatirkan dirinya juga.
"Aunty..."
"Astaga, Elea! Kau darimana saja?" Alaina yang sedang menaruh menu sarapan ke atas meja lantas berlari untuk mendekap Eleanor yang baru pulang. Dia kira terjadi sesuatu sampai Maxime dan Eleanor tak pulang.
"Ehm, semalam aku dan Kak Maxie ke rumah Eduardo untuk melanjutkan pesta, tapi kami ketiduran di sana, Aunty."
Eleanor sekarang jadi lebih mudah berbohong. Dia yang awalnya tak pernah berani untuk mengelabui Alaina, kini telah berani melakukan itu. Eleanor tahu dia salah, tapi dia tidak bisa jujur.
"Kau membawa pakaian ganti, ya?"
"Oh... I-Ini, aku meminjam pakaian adiknya Eduardo," Jawabnya setengah gugup. Eleanor memang memakai pakaian yang berbeda. Dia menemukan pakaian ganti di dalam lemari apartemen ketika dia hendak berpakaian tadi.
Alaina tak lagi bertanya. Dia melanjutkan acara masaknya sambil mengingatkan Eleanor untuk segera sarapan.
"Ada yang bisa aku bantu, Aunty?" Eleanor mendekati Alaina di meja dapur karena dia merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa, sayang. Kau cukup istirahat di ruang depan dan sarapan bersama nanti."
Eleanor menggeleng. Dia menahan tangan Alaina lalu mengambil alih tugas Alaina. Entahlah, Eleanor merasa ini adalah kewajibannya untuk menolong karena sekarang Alaina adalah ibu mertuanya, bukan hanya sekedar orang asing.
TBC
A/N : Halo
Nah nah, udah mulai diem dieman nih hehe