CHAPTER 8

1578 Kata
"Lalu? Kenapa kau menyukainya?" Tanyanya lagi. "Kak Ethan memang baik. Dia menyayangi ku dengan tulus dan aku rasa aku tidak akan mendapatkan kasih sayang yang seperti itu dari orang lain." Maxime merasakan hatinya sakit. Apakah itu artinya Ethan memang orang yang dicintai Eleanor? "Cukup. Perkataan mu sudah menjelaskan segalanya." Setelah itu mereka kembali terdiam. Tak lama kemudian Eduardo pun datang. Lelaki bermata hitam itu melempar sebuah kunci kepada Maxime,"Semuanya sudah siap, Max. Kau berhutang banyak padaku." Eleanor menyatukan alisnya. Kenapa Eduardo tiba-tiba datang dan mengatakan itu? Belum sempat dia berpikir panjang, Maxime kembali menarik tangannya. "Ayo kita pergi, Elea." "Apa? Tapi ke mana?" Maxime tidak menjawab. Dia menuntun Eleanor menuju sebuah mobil yang terparkir di gerbang depan. Eduardo menyiapkan mobil itu untuk Maxime kendarai. Eleanor masih sedikit bingung, tapi dia tak menolak ketika Maxime memintanya untuk masuk ke dalam mobil. Mereka pun meninggalkan pesta kelulusan itu dengan mobil yang telah disediakan. ... Maxime memarkirkan mobilnya di sebuah gereja kecil. Tempat ini merupakan milik keluarga Eduardo dan lelaki itu telah mengatakan kepada keluarganya kalau malam ini gereja akan dipakai. "Kak? Kenapa kita ke sini?" Tanya Eleanor. Ia semakin merasa asing karena Maxime membawanya ke suatu tempat yang tidak pernah dia lewati. "Aku pernah bilang kan kalau sampai kau menikah dengan orang lain, maka aku akan menjauh darimu." "Lalu?" Maxime menggeleng kecil,"Maka malam ini aku pastikan kalau aku tidak akan pernah melakukan itu." Eleanor masih mencoba untuk mencerna kalimat Maxime, tapi otaknya tiba-tiba terasa bodoh. Dia masih kebingungan saat Maxime membawanya masuk ke dalam gereja dan bertepatan dengan itu, ada sekumpulan orang yang tidak dia kenal telah berada di dalam gereja. Eleanor semakin merasa tidak nyaman. Dia memaksa Maxime untuk menjawab pertanyaannya,"Kenapa, Kak? Ada apa ini?" "Aku mau menikah denganmu malam ini, Elea." Deg! Elea tiba-tiba memundurkan langkahnya. Ia menggeleng tidak percaya karena Maxime malah mengajaknya menikah di malam pesta kelulusan mereka. Ada apa sebenarnya ini? Apa dia bermimpi? "Kak... Ka-Kau bicara apa?" Eleanor merasakan pinggangnya menyentuh bangku panjang. Semua ini membuat kepalanya pusing. Menikah? Secepat ini? "Elea, kita akan menikah dan itu terjadi malam ini juga." "Tidak... Kenapa? Apa alasannya?" Maxime melirik pendeta dan tiga orang lainnya lalu meminta mereka untuk menunggu sejenak. Maxime membawa Eleanor ke suatu ruangan lain lalu mendudukkan dirinya di sana. "Aku ingin kau menepati janji mu untuk menikah denganku, Elea." "A-Apa? Kak... Aku-" "Jangan menolak ku. Kita tetap akan menikah!" Eleanor menolak sentuhan tangan Maxime. Dia sekarang merasa ketakutan. Mereka menikah tanpa sepengetahuan siapa pun lalu bagaimana semua ini akan berjalan? Eleanor ingin sekali menghabiskan sisa waktunya bersama Maxime, tapi bukan dengan cara seperti ini. Tidak dengan menikah diam-diam! "Kak, kau sudah gila! Kita tidak mungkin menikah!" Pekiknya. Maxime menggeleng tegas,"Aku sudah menyiapkan segalanya. Ku mohon, ini adalah satu-satunya permintaan ku padamu." Tangannya kembali di tarik, tapi Elea buru-buru menahan lengan Maxime. "Apa kau mencintaiku, Kak Maxie?" Maxime meliriknya sejenak,"Seperti dirimu, aku tidak bisa memberitahu mu sekarang." Eleanor merasa dirinya tak lagi sama. Dia pasrah begitu Maxime membawanya ke depan pendeta untuk melangsungkan upacara pernikahan. Dirinya tak mendengar dengan jelas apapun yang dikatakan oleh si pendeta maupun kalimat sumpah yang diucapkan oleh Maxime. Dirinya hanya terpaku pada ucapan terakhir pendeta yang menyatakan mereka sebagai pasangan suami dan istri. ... Malam itu hujan. Elea dan Maxime kini berada di sebuah apartemen kecil milik Eduardo. Lelaki itu sudah menyiapkan apartemen untuk Maxime dan Eleanor. Oleh sebab itulah mengapa Eduardo datang sangat terlambat ke pesta kelulusan. Elea duduk di pinggir ranjang sambil menatap jari manisnya yang tersemat cincin, sedangkan Maxime duduk di pinggir ranjang di seberangnya sehingga kini posisi mereka saling membelakangi. Semuanya terasa sangat kaku setelah upacara pernikahan dadakan itu bahkan Elea seperti terasa lupa cara untuk berbicara. Eleanor memberanikan dirinya untuk memutar badan. Ia melirik punggung Maxime yang terasa dingin. Sebenarnya apa yang ada di pikiran pria itu sehingga memutuskan untuk menikahinya malam ini? "Kak Maxie... Ba-Bagaimana kalau Aunty dan Paman tahu soal ini?" Maxime ikut membalikkan tubuhnya. Ia menatap wajah Eleanor yang kelihatan takut sebelum dirinya menjawab,"Tetap rahasiakan pernikahan kita dari orang lain Elea. Jangan sampai keluarga ku tahu." Eleanor merasakan kalau sebenarnya Maxime seperti terpaksa menikah dengannya. Ya Tuhan, apa itu artinya semua mimpi yang Elea idamkan sejak lama akan berakhir menyedihkan? Dirinya tak berpikir untuk menikah dengan cara seperti ini, tapi semuanya seakan menghancurkan hidupnya. "Berapa lama ini akan terjadi, Kak? Sampai kapan?" Maxime menatapnya tajam, itu sama saja seperti Elea ingin segera terpisah darinya. Apakah Elea hanya ingin menikah dengan Ethan? "Ini akan terjadi selamanya, Elea. Kau akan tetap jadi milikku." Eleanor tersentak karena Maxime mendekatinya. Gadis itu menyudutkan diri di pinggir ranjang karena takut. "Kita sudah menikah. Itu artinya aku boleh mencium mu." "A-Apa?" Maxime menahan pinggang Eleanor. Ia menatap bibir Elea yang dipoles pelembab bibir sebelum ia memberanikan diri untuk menciumnya lembut. Eleanor memejamkan matanya, jantungnya berdetak sangat kencang karena ini merupakan ciuman pertamanya. Mereka berdua terlihat sangat amatir dalam melakukan ini. Maxime tidak pernah bersentuhan dengan perempuan manapun selain Elea, itu sebabnya mengapa ia berani mengatakan kalau Eleanor adalah gadis pertamanya. Elea mendorong tubuh Maxime darinya. Ia menolehkan kepala ke samping karena merasa sangat malu. Sekarang posisinya telah berada di tengah ranjang dengan Maxime yang persis di sampingnya. "A-Aku belum terbiasa." "Aku juga, Elea. Ini yang pertama untukku," Wajah Maxime memerah ketika mengucapkan itu. Ia perlahan menjauhkan dirinya lalu berpikir keras akan hal yang harus ia lakukan setelah ini. "Kak, ki-kita belum 20 tahun. Bagaimana kalau orang lain tahu?" "Tidak akan ada yang tahu, Elea," Jawabnya. Eleanor memainkan jemarinya. Sekarang dia sangat gugup dan tidak tahu harus melakukan apa. Maxime menggeser tubuhnya ke sisi ranjang lalu mengambil sesuatu yang tersimpan di dalam laci meja,"Aku sudah menyiapkan kondom." Tidak tahu bagaimana lagi caranya untuk menutupi rasa malu itu, Eleanor sampai menjerit kaget. Dia secara refleks menjauhkan dirinya karena rasa kaget dan malu. "Kenapa? Ini hanya kondom," Ucap Maxime seperti lelaki polos yang tidak mengerti apapun. Jujur saja, dia belum mempunyai ilmu soal seks meski di sekolah dia mempelajari s*x Education. Dia hanya pernah melihat film porno yang ditunjukkan Eduardo padanya, tapi kalau melakukannya secara nyata, Maxime tidak pernah. Eduardo pernah berkata apabila ia ingin melakukan seks, maka sediakanlah kondom sebagai antisipasi. Maxime tentu saja tahu soal itu, tapi sebenarnya dia juga gugup. "Ki-Kita akan melakukan itu sekarang?" "Ya, memangnya kapan lagi?" Balas Maxime dengan santainya. Eleanor meneguk ludahnya dengan susah payah sebelum akhirnya dia mengangguk. Sekarang Maxime adalah suaminya dan bukankah itu hal wajar apabila mereka melakukan hubungan seksual? "I-Ini yang pertama untukku. Ja-Jangan keras-keras," Cicitnya. Maxime mengangguk kaku, dia kembali mendekati Eleanor lalu perlahan mencumbunya lagi. Tangan kiri Maxime bergetar ketika ia hendak menyentuh d**a Eleanor. Sesuatu seperti menyulut gairahnya begitu dia mendengar suara desahan saat ia memegang sebelah d**a Elea. "Kak, rasanya geli..." Eleanor memejamkan matanya demi menghilangkan rasa geli tak tertahankan ketika Maxime mencoba untuk menggoda dadanya. Lelaki itu seakan tidak mendengarkannya, dia dengan berani menarik turun gaun pesta yang dikenakan Eleanor agar memudahkannya melakukan hal lebih. Glek! Tenggorokannya terasa gatal. Maxime tidak pernah melihat secara langsung bagaimana bentuk d**a wanita. Ternyata bisa seindah ini. "Enggh! Kak, agak geli," Gumam Eleanor ketika Maxime meremas dadanya pelan. Wajahnya sangat memerah dan dia tidak tahan untuk tidak mengeluarkan desahan. Rasa geli yang sedikit menimbulkan kenikmatan tersendiri untuknya. Bagaimana mungkin Eleanor menolak? Maxime mendekatkan wajahnya. Dia mulai mencium dan menjilat puncak d**a Eleanor. Lelaki itu memejamkan matanya karena merasa ini adalah hal paling memabukkan yang pernah dia rasakan. Elea tanpa sadar telah memeluk Maxime sehingga posisi mereka sangatlah intim. Gadis itu menggerak-gerakkan pinggulnya karena menahan geli, tapi malah membuatnya kian seksi. "Elea, kau mau melakukan ini denganku kan?" "I-Iya, Kak. Aku mau melakukannya denganmu." Maxime tersenyum pelan. Dia membuka pakaiannya sehingga menampilkan tubuhnya yang mulai mengeluarkan otot-otot— hasil dari latihannya selama ini. Maxime membantu Elea untuk membuka gaunnya sehingga kini mereka sama-sama telanjang. Eleanor masih terlihat malu. Dia berusaha menutupi d**a dan bagian intimnya yang terlihat. "Jangan lihat aku seperti itu, Kak," Pintanya. Wajahnya sangat merah, tapi malah membuat Maxime tidak sabar untuk segera melakukan penyatuan. Mereka kembali berciuman setelah Maxime memasang kondom ke miliknya yang sudah tegang sempurna. Dulu saat masih kecil, dia pernah memergoki Papa dan Mamanya di dalam kamar, tapi saat itu Papanya hanya berkata kalau dia sedang melakukan olahraga. Namun, kini Maxime memahami semuanya. Ini yang mereka sebut bercinta. Eleanor menjerit kesakitan karena Maxime mencoba menembus bagian terdalam dari dirinya yang tidak pernah terjamah oleh siapa pun. Dia tanpa sadar menggigit pundak Maxime sehingga menciptakan ruam merah akibat gigitan itu. "Tahan sedikit lagi, Elea..." Maxime menggeram tertahan karena Elea terasa sangat ketat. Awalnya ia kesusahan, tapi setelah itu Maxime berhasil menyatukan tubuh mereka. "Arrgh! Kau sempit sekali!" Eleanor menangis kesakitan. Dia benar-benar tidak tahu kalau rasanya bisa sesakit ini. "Ja-Jangan bergerak, Kak. Rasanya sakit." "Aku tahu... Aku tak akan egois," Balasnya. Maxime membiarkan Eleanor terbiasa dengan dirinya sebelum akhirnya dia mulai bergerak pelan dan lembut. Selama beberapa saat Elea masih merasa sakit, tapi setelah itu ia mulai mengeluarkan desahan penuh gairah. Maxime yang tahu bahwa Eleanor menikmati penyatuan mereka pun akhirnya mulai memberanikan diri untuk bergerak sedikit lebih cepat. Ini adalah hal paling nikmat yang pernah dia rasakan seumur hidupnya dan dia tidak akan pernah menyesali perbuatannya sekarang. "Kak Maxie... Enggh!" "Elea... Elea, kau milikku!" Maxime menggeram tertahan. Ia mencium bibir Eleanor dengan agak kasar dan memaksa gadis itu untuk membalas ciumannya. Eleanor tidak tahu apa yang terjadi pada pikirannya. Dia tidak bisa menolak ketika Maxime mencium bahkan meninggalkan bekas ciuman di area leher dan dadanya. Di malam pesta kelulusan itu, ada tiga hal yang berubah dari hidupnya. Yang pertama adalah fakta kalau dia telah menikah dan yang kedua, Eleanor bukan lagi gadis perawan. Mulai malam ini dan selanjutnya, ia akan hidup sebagai seorang wanita bersuami lalu yang terakhir, kini Eleanor menyandang nama keluarga Anderson di belakang namanya. Hal itu telah menjadikan dia secara sah sebagai anggota keluarga Anderson dan tidak akan ada orang lain yang bisa mengejeknya lagi. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN