Bab 14. Mantan?

1656 Kata
Shaka terbangun dengan badan yang luar biasa segar setelah semalam mendapatkan amunisi dari Rania. Pukul 7 pagi ia sudah siap untuk berangkat ke kantor. Keluar kamar dengan pakaian rapi serta membawa dasi di tangan, ia pergi ke kamar Rania yang biasa digunakan tidur bersama Najwa. Dilihat wanita itu tengah membantu menguncir rambut Najwa yang hendak berangkat sekolah. “Pagi.” Shaka menyapa dengan senyum manisnya. “Papa!” Najwa balas menyapa dengan senyum ceria. Rania menoleh sekilas lalu menunduk kembali, rasanya masih aneh karena pelukan Shaka semalam. Bahkan meskipun ia sudah mandi pelukan erat pria itu masih sangat terasa. Shaka menyeringai menyadari jika Rania tengah malu. Dengan sengaja ia mendekat ke arah Rania, memandang wajah wanita lekat-lekat. “Ran,” panggil Shaka. “Em, Mas Shaka udah enakan?” Rania mengangkat pandangan sejenak lalu menunduk kembali. Ia sudah menyelesaikan tugasnya hendak berlalu. Shaka tiba-tiba mengulurkan dasi yang dipegang pada Rania membuat langkah wanita itu terhenti. Rania mengangkat pandangan kembali seolah bertanya apa maksudnya. “Udah 3 bulan kamu jadi istri aku, tapi kamu belum pernah bantu aku makai dasi,” ujar Shaka. Rania melirik dasi yang diberikan Shaka lalu menatap pria itu kembali. “Biasanya Mas Shaka juga pakai sendiri," kata Rania heran. “Kan biasanya, sekarang udah nggak biasa karena ada kamu. Bantuin, Ran.” Shaka menyerahkan dasi yang dipegang ke tangan Rania. Tak ingin membuang waktu Rania menurut saja untuk membantu Shaka memakai dasi. Posisinya jelas harus berhadapan dengan pria itu dan sangat dekat. Rania tidak perlu menjinjit karena tingginya hampir sama dengan Shaka. Shaka kembali memperhatikan Rania dengan seksama, semakin dipandang wanita itu ternyata menciptakan perasaan gila yang sulit dipahami. Secara impulsif ia mengulurkan tangan menyentuh pipi Rania hingga pemiliknya kaget. Shaka tersenyum tipis, mengusap pipi wanita itu lembut. “Nanti aku pulang siang, mau ajak kamu ke rumah Mama lagi,” beritahu Shaka. Rania melirik tangan Shaka yang masih di pipinya, menepis pelan dan melanjutkan lagi membenarkan simpulan dasi Shaka. “Mau ada acara, Mas?” tanya Rania. “Kakak aku pulang, mau ketemu sama kamu.” Rania sontak memandang Shaka dengan cemas. “Kenapa mau ketemu aku?” “Yang istri aku 'kan kamu. Jelas mau ketemu kamu dong, Rania.” Shaka tersenyum merasa pertanyaan Rania lucu. “Kakak aku baik orangnya, anaknya dua. Yang kedua kayaknya nggak jauh beda sama Najwa,” ucapnya memberikan informasi. “Ehm, jam berapa nanti ke sana?” “Nanti pulang sekolah Najwa aku yang jemput. Kamu siap-siap aja, nggak usah masak nanti kita beli,” sahut Shaka lagi. “Ini Najwa udah siap 'kan? Ayo sini Papa gendong, sarapan terus berangkat sekolah.” Dengan cekatan Shaka meraih Najwa ke dalam gendongannya. “Papa, ayo beli kado. Besok diundang ke acara ulang tahun Cheryl,” ucap Najwa teringat akan undangan ulang tahun yang diberikan teman sekelasnya. “Boleh, besok pergi sama Mama 'kan? Nanti kita beli baju juga sebelum ke rumah Nenek.” Shaka mengangguk setuju tanpa banyak protes. “Wah mau beli baju baru?” “Mas Shaka, saya rasa—” “Iya dong, coba minta Mama kamu lihat undangannya disuruh pakai dress code warna apa?” Shaka segera menyela sebelum Rania menyuarakan penolakan. “Mama, Mama lihat.” Najwa turut memandang Mamanya. Rania memejamkan mata singkat, ia kemudian membuka ponsel untuk melihat undangan online yang diberikan Mamanya Cheryl di grup sekolah. Membaca jam dan juga dress code yang akan dikenakan. “Warna putih,” cicit Rania. “Oke, nanti pulang kita beli sama-sama. Anak Papa nanti harus keren pokoknya.” Shaka mengerling kepada Najwa yang sudah tersenyum-senyum senang. “Mamanya juga nggak boleh kalah,” imbuhnya sambil melirik Rania dengan senyum manis. Rania buru-buru menatap ke arah lain, senyuman Shaka mulai membuat hatinya tak karu-karuan. Ia ingin memprotes sebenarnya karena Shaka terlalu memanjakan Najwa, tetapi dibalik itu semua ia bisa melihat kebahagiaan yang begitu kuat dari Najwa. Orang bilang jika ingin tahu ketulusan seseorang, tanyakan saja pada anak kecil karena sejatinya mereka sangat peka. Melihat Najwa yang sangat nyaman dengan Shaka membuat penilaian Rania berubah. Ia juga sering memperhatikan Shaka bukan pria yang suka macam-macam meskipun pria itu dikenal sebagai pemain wanita. “Ah, kenapa orang baik seperti dia harus terjebak pada pergaulan menjijikkan seperti itu sebelumnya.” Shaka meninggalkan kamar bersama Najwa lalu diikuti Rania di belakang. Mereka sarapan sambil mendengarkan celoteh Najwa yang membicarakan tentang kegiatan sekolah dan teman-temannya. Anehnya Shaka dengan santai menanggapi dan mengajak Najwa bercanda. “Temannya Najwa ada yang namanya Azura nggak?” Shaka teringat akan anak Xabiru yang disekolahkan di tempat yang sama dengan Najwa. “No, Papa.” Shaka mengernyit, apakah salah informasi? Setahunya anak Xabiru sekolah disitu. Tetapi selama 3 bulan ini ia pun tidak pernah menjumpai Xabiru mengantarkan putrinya sekolah. “Azura, nama Mamanya Greysia bukan?” Rania akhirnya menyahut. “Nah iya, kamu kenal, Ran?” Shaka mengangguk cepat-cepat. “Azura sudah naik ke kelas B, ikut privat bahasa Inggris. Saya beberapa kali ngobrol sama Mamanya," jelas Rania memperhatikan ekspresi Shaka yang tampak sangat antusias itu. “Hoalah, berarti emang bener sekolah di sana.” “Kenapa, Mas? Greysia itu mantan Mas Shaka ya? Dan Azura itu anak mantan Mas?” tuding Rania tiba-tiba, menilai ekspresi Shaka cukup berlebihan senangnya. Shaka mengernyit memandang Rania, entah ia yang sok tahu atau bagaimana tapi raut wajah Rania terlihat kesal. Ia menyeringai, sepertinya Rania salah paham. “Greysia cantik 'kan? Lagi hamil anak kedua,” ucapnya dengan sengaja. “Cantik banget, hamil makin cantik.” Suara Rania tiba-tiba berubah ketus. “Pantesan ngotot mau Najwa sekolah di sana, ternyata ada perlunya,” cibir Rania sambil mengacak-acak piring yang berisi makanan itu. Rasanya enggan sekali melanjutkan makan. Senyum simpul terbit di bibir Shaka, kali ini jelas ia tidak salah lagi. Kemungkinan besar Rania tengah cemburu, bisa dilihat dari nada bicaranya dan ekspresi wajah wanita itu tengah kesal. Shaka jelas menyukainya. “Najwa, makannya udah belum? Ayo berangkat sekolah sekarang,” kata Shaka meyudahi makannya. Meminum air sambil terus menatap Rania yang mulai bersungut-sungut kesal itu. “Siapa tahu nanti ketemu Azura dan Mamanya,” imbuhnya dengan sengaja. Rania semakin gregetan karena berpikir Shaka semangat mengantar Najwa karena ingin bertemu mantan kekasihnya itu. “Ayo salim sama Mama dulu,” titah Shaka pada Najwa. Najwa mengangguk mengiyakan, mengulurkan tangan pada Rania untuk bersalaman. “Najwa yang pinter di sekolah,” kata Rania menciumi seluruh wajah Najwa sebagai bentuk perpisahan. “Siap, Ma.” Najwa mengangguk mengiyakan. “Papa ayo salim sama Mama dulu.” Mengikuti apa yang diperintah Papanya, Najwa justru meminta hal yang sama pada Shaka. Kedua orang dewasa itu kaget pastinya, yang harus salim jelas Rania kepada Shaka tetapi selama ini Rania belum pernah melakukannya. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Shaka segera mengulurkan tangannya pada Rania. “Ayo Mama salim dulu sama Papa,” kata Shaka menaikturunkan alisnya menggoda. Rania mencibir sebal, diliriknya Najwa yang terus memperhatikan. Meski enggan Rania segera meraih tangan Shaka lalu menunduk serta menciumnya. Namun, siapa sangka Shaka juga menunduk memberikan ciuman manis pada pipi Rania cukup kuat hingga menimbulkan suara berdecak. “Aku berangkat dulu.” Shaka tersenyum tanpa dosa, segera meraih Najwa ke dalam gendongan sebelum Rania sempat memprotes. “Jangan lupa nanti aku pulang harus sudah siap!” teriaknya seraya berlalu meninggalkan meja makan. Rania masih diam mematung, tangannya bergerak mengusap pipi sebelah kanan yang baru saja dicium oleh Shaka. Ia ingin memaki namun sialnya bibir justru tertarik membentuk senyum simpul. Baru beberapa detik senyum itu sirna. “Dasar buaya, sengaja sok manis padahal lagi nipu karena terlalu seneng ketemu mantan,” desis Rania begitu jengkel. Hatinya seperti diajak naik-turun bak RollerCoaster oleh suaminya itu. *** Pukul 1 siang Shaka telah keluar dari mall dengan membawa seabrek belanjaan yang berisi baju-baju untuk Rania dan juga Najwa. Pria itu juga membelikan buah tangan karena setelah itu mereka hendak langsung pergi ke rumah orang tuanya. Bisa dibilang keluarga Shaka adalah keluarga hangat. Selama ini hampir tak ada gosip miring yang menyangkut keluarganya selain kenakalan Shaka sewaktu masa SMA. Kedua orang tuanya sering dipanggil terkait masalah nilai yang sering turun dan jarang masuk sekolah. Selebihnya keluarganya selalu tentram jaya. Kakaknya yang perempuan pun sejak kecil sudah pandai dalam bidang akademik mau pun non-akademik. Jadi sudah sangat dibanggakan oleh kedua orang tuanya. “Mas Shaka selisih berapa tahun sama Kakak Mas?” Rania iseng bertanya saat masih diperjalanan. Biasanya Najwa asyik berceloteh tetapi kali ini anak itu sudah terlelap di car seat belakang. “Berapa ya? 4 tahunan kalau nggak salah. Umurnya 35 tahun sekarang, udah punya dua anak,” jelas Shaka. Rania membesarkan mata seraya menoleh ke arah Shaka. “Kalau Kakak Mas Shaka umur 35 tahun selisih 4 tahun, artinya umur Mas Shaka 31 sekarang?” “Hahaha kaget gitu mukanya. Iya, Ran umurku udah 31 tahun, kenapa? Masih kayak umur 25 an 'kan?" Shaka tergelak penuh percaya diri. Rania yang tadinya kaget sontak mencibir melihat tingkat kepercayaan diri Shaka yang luar biasa. Ia memang masih mengira Shaka umur 27 atau 28 tahun. Eh taunya sudah kepala 3 dan yang lebih membuat Rania kaget selisih umur mereka 10 tahun. “Kayak jalan sama Sugar Daddy aja,” cibir Rania dalam hatinya. “Mau tanya apa lagi? Kenapa kemarin Kakak ku nggak ada? Orangnya tinggal di Singapore, Ran.” Shaka menjelaskan tanpa diminta. “Oh dapat suami orang sana?” “Bukan, suaminya orang Jambi kalau nggak salah. Dulu ketemu pas kuliah terus akhirnya mutusin nikah. Ketepatan suaminya dapat kerja di Singapore jadi langsung pindah tempat ke sana.” “Suami Kakak Mas orang Jambi? Satu daerah sama aku dong.” Rania cukup kaget mendengar daerah asalnya disebut. “Kayaknya sih Jambi, ntar aku tanyain deh.” Rania menganggukkan kepala paham, mendengar silsilah keluarga Shaka yang sangat harmonis dan jelas bibit, bebet, bobotnya semakin membuat Rania minder saja. Ia bingung jika nantinya akan ditanya macam-macam dan ia malah tidak tahu harus menjawab apa. Hal itu pasti akan sangat memalukan bukan? “Semoga aja Kakaknya Mas Shaka baik kayak Mamanya.” Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN