Sudah Sadarkan Diri.

1138 Kata
Seorang perawat keluar dari sebuah ruangan khusus dengan senyum merekah di wajah, memegang dua kantung darah yang didapat susah payah. "Sudah?” tanya Bima gegas menghampiri sahabat seperjuangan yang berjalan dengan langkah kecil, menuntun untuk duduk di kursi tunggu. "Gak liat apa kau wajahku sudah pucat begini loh?! Masih tanya sudah apa belum," sindir Reno. "Habis sudah tenagaku rasanya." Sementara yang di sindir mengulum senyum. Senyum tipis segaris, namun sukses menambah pesona lelaki berapas tampan tersebut. "Terimakasih, ya. Kau memang lelaki—maksudku prajurit sejati!" "Kalau sudah begini baru kau puji aku!" oceh Reno dengan bibir cemberut. "Omong-omong siapa wanita yang kau tolong itu, Bim? Kenal kau sama dia?" "Hanya tau nama," balas Bima pendek. "Kukira calon," cicit Reno disertai kekehan pelan, ada unsur ejekan dalam kalimatnya sebab tau selama ini sang komandan anti berpasang–pasangan. Bima mendengkus. "Calon apanya? Aku baru sampai di sini loh kalau kau lupa." Reno lantas menguatkan tawanya. "Pasalnya kau peduli sekali padanya. Seperti ada ikatan batin—cocok kalian." Kepala Bima menggeleng lesu. "Semua saja kau jodoh–jodohkan denganku." "Ceritalah. Bagaimana bisa kau temukan dia?" pancing Reno yang penasaran. "Setelah kita tukar jaga, aku langsung pergi. Baru sampai blok depan tiba-tiba serangan itu muncul dan wanita itu terpental. Tidak ada yang peduli jadi kutolong saja dia, kubawa dia ke sini. Kau tau? Rupanya dia TKI," tutur Bima menjelaskan kronologis kejadian pada Reno. "TKI? Astaga, malang sekali." Reno menghela nafas, tidak sangka kalau korban yang rekannya selamatkan berasal dari Negara asal mereka. "Kenapa bisa ada di distrik konflik begini?" Bima mengangkat bahu, kode jawaban bahwa dirinya juga tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. "Ya sudahlah kalau begitu aku mau kembali ke markas," pamit Reno seraya menepuk pundak Bima. "Kapanpun kau butuh sesuatu atau sedang perlu bantuan, kau telpon saja aku." "Hati-hati," pesan Bima. "Terimakasih sekali lagi soal donor darahnya." Tangan Reno memberi hormat dengan kaki menyentak selayaknya memberi hormat pada komandan. Bima terkekeh dengan tangan mengibas mengusir sahabatnya yang selalu bertingkah konyol dan berhasil membuatnya tertawa. Seperginya Reno, Bima terhanyut dalam lamunan panjang perihal wanita yang beberapa jam lalu dia selamatkan. Lampu ruang operasi masih menyala, tanda kalau kegiatan yang berlangsung di dalamnya belum selesai. Bima menunggu dengan sabar, menanti tim medis memberi kabar. Tepat ketika Dokter bedah keluar, Bima sontak mendekat dan bertanya. Gurat wajah cemas masih tergambar jelas di mukanya. Bima—tidak pernah setakut dan sekhawatir ini. Setelah sekian lama dia kembali merasakan eurofia tegang luar biasa. "B–bagaimana, Dok? Apa dia selamat?" Dokter sempat menatap Bima sebentar. "Komandan siapanya?" Bima terhenyak, diam—sulit mengutarakan jawaban. "Saya yang selamatkan dan bawa dia ke sini. S–saya walinya." Baru setelah mendengar jawaban Bima, Dokter tadi lantas menjelaskan perihal keadaan yang sebenar–benarnya terkait pasien yang dia tangani. "Operasi pasien Arafah berjalan lancar. Berkat Tuhan Yang Maha Kuasa kami berhasil menyelamatkan nyawanya. Untuk sementara, kami masih harus observasi keadaan umum dan efek dari anastesinya." Dokter mengungkap berita dengan nada lega. "Periode 48 jam pertama setelah operasi adalah masa paling kritis. Kita sama–sama bantu doa." Kabar baik tersebut juga membuat Bima ikut melantunkan syukur. Dokter mempersilahkan Bima untuk masuk ke dalam ruang Recovery Doom —Post Anesthesia Care Unit— ruang pemulihan. Ruangan ini merupakan tempat pasien yang baru menjalani operasi dipantau secara ketat sampai kondisinya stabil dan membaik. Di ruang pemulihan, pasien akan dipantau tanda-tanda vital, keluhan, perdarahan, atau masalah lainnya selama 2–3 jam. Observasi rutin pasca anestesi dilakukan untuk menilai pasien dan mendeteksi kemunduran klinis. Rasanya canggung karena Bima benar–benar tidak mengenal Arafah. Lagi–lagi dia hanya tau nama, berharap wanita asing ini dapat pulih dan kembali sehat—sadar penuh seperti sebelumnya. "Tuhan pelantarakan saya untuk membantu kamu, Arafah. Maha Baik Dia yang memberimu keselamatan." Bima berbisik pelan tepat di sebelah wanita bernama Arafah tersebut. Karena tidak tahu harus melakukan apa, Bima menemani Arafah sembari membaca ayat–ayat suci Al–Qur'an. Bima pernah mendengar di kajian bahwasanya bacaan Al-Quran memberikan efek menenangkan. Tidak hanya cekatan dalam berperang melawan musuh, Bima terkenal cakap dan pandai soal urusan agama. Hubungannya dengan Sang Pencipta terjalin baik, membuat Bima semakin dikagumi serta disegani oleh pasukannya. Pemuda itu dinilai sempurna dari segala sisi, idaman banyak kaum hawa yang mendamba untuk diimami. "Sus, saya harus kembali ke Barak karena ada urusan mendadak. Apa saya boleh minta tolong dikabari saat pasien atas nama Arafah sadar?" pinta Bima sopan. "Saya dengan Komandan Bima, sudah saya tinggalkan nomor yang bisa dihubungi." Perawat yang berjaga dengan senang hati menerima permintaan tolong Bima. Bima yang mudah akrab dengan orang lain cepat dikenal oleh tiap staff di hari pertamanya menjadi komandan di distrik konflik tersebut. Alasan kepergian Bima meninggalkan rumah sakit dan Arafah adalah menemui anak buahnya. Mencari informasi terkait tempat tinggal Arafah yang rupanya sudah rata dengan tanah. "Tidak ada satupun yang selamat? Yakin kalian?" tanya Bima, memastikan sekali lagi. Air mukanya sontak berubah sedih kala mendengar kabar duka yang diterima. Bawahannya itu mengiyakan dengan tegas. Mereka sudah pastikan berita yang diteruskan pada Bima adalah berita yang valid. "Seluruh keluarga pemilik rumah ini dipastikan meninggal dunia, Ndan. Hanya saja—" ucapan perwira itu terhenti, dia diam memandang awas ke atasan yang dia segani. Bima buru–buru menanggapi, menimpali kalimat yang dilontarkan dengan tidak sabaran. "Hanya apa?" sergahnya. "Orang yang bekerja —merawat dua lansia di rumah ini— kabarnya selamat karena jenazahnya tidak ditemukan. Saksi mata terakhir melihat dia keluar rumah tepat beberapa saat setelah ledakan terjadi. Kemungkinan selamat, tapi tidak ada yang tau. Wallahualam." "Arafah?" gumam Bima bersuara rendah. "Dia selamat, dia benar–benar wanita yang beruntung." Para bawahan Bima tidak mengerti dengan perkataan sang Komandan hanya diam, menunggu perintah lanjutan. "Kalau begitu terimakasih. Terus follow up keadaan lapangan pada saya," pesan Bima. "Kabarkan apapun yang terjadi dan jangan segan meminta bantuan. Di sini, prioritas utama kita adalah melindungi warga sipil. Mengerti?" Bima, dalam keributan yang ada di kepala, diam–diam mencemaskan perihal Arafah untuk yang kali kesekian. Belum pernah Bima merasa seiba ini usai mendengar berita hilangnya keluarga dari korban konflik. Dia dan Arafah seolah terikat oleh nasib yang sama. "Kasihan sekali Arafah, artinya dia sudah tidak punya tempat tinggal dan yang dituju lagi," kata Bima bermonolog seorang diri. "Hilang pekerjaan dan rumah diwaktu yang bersamaan. Dia pasti sangat sedih jika tau." Nantinya saat Arafah tahu majikan tempatnya bekerja telah damai di surga —meninggalkannya sendirian— semoga Bima ada di sana dan bisa menghiburnya. Baru beberapa menit memikirkan tentang Arafah, ponsel yang Bima gunakan dalam keadaan genting dan darurat saja itu tiba–tiba bergetar. "Hallo, Komandan Bima. Saya Suster Sonya, perawat di Rumah Sakit Indonesia. Pasien yang Komandan titip sebelumnya, atas nama Arafah, alhamdulillah sudah sadarkan diri. Sekarang tengah diperiksa dan diobservasi oleh Dokter," terang suara lembut dari balik gawai. Bima mengerjap. "Saya segera ke sana!" ujarnya, bersemangat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN