Korban Perang.
Tangan Bima mulanya gemetar saat menerima surat itu. Jantungnya berdetak begitu keras hingga rasa–rasanya Bima bisa mendengarnya sendiri.
Surat dari Arafah.
[Untuk Mas Bima.]
[Mas, saat kamu membaca ini, itu artinya aku sudah pergi jauh. Jangan cari aku, jangan buang waktumu untuk seseorang yang sudah memilih pergi.]
Bima masih mencerna kata–kata dibait pertama. Baru awal namun rasanya Bima sudah menemui kekalahan—sakit luar biasa.
[Kamu mencintaiku. Aku tahu itu, aku merasakannya dalam setiap genggaman tanganmu, dalam setiap tatapanmu. Tapi di sisi lain, kamu juga punya keluargamu. Aku tahu, sebesar apa pun perasaanmu untukku, kamu tidak akan pernah bisa benar-benar mengorbankan keluargamu demi aku.]
[Jadi aku yang memilih pergi. Bukan karena aku ingin menyerah, tapi karena aku tidak ingin melihatmu menderita.
Aku tidak ingin melihatmu berada dalam dilema yang menyakitkan. Aku tidak ingin melihatmu kehilangan keluargamu karena aku, Mas.]
[Aku ingin kamu bahagia. Meski artinya aku harus pergi, maka akan aku lakukan. Jadi, tolong jangan cari aku. Jangan buang waktumu untuk sesuatu yang sudah berlalu. Jalani hidupmu, Mas.
Nikahi Kirana, itu permintaan terakhirku. Itu satu-satunya hal yang bisa membuat semua orang bahagia.]
[Selamat tinggal, Mas Bima. Dari seseorang yang pernah menjadi istrimu.]
===
"Siapa namanya? Mana keluarganya?” teriak seorang dokter sembari memeriksa kondisi pasiennya yang terbaring tak berdaya di atas brankar yang sedang melaju ke ruang IGD.
"Saya menemukan dia di jalan tergeletak setelah bunyi bom, sebentar saya periksa tasnya," jawab Komandan Bima.
Bima Shaka Sameer—salah satu Abdi Negara yang saat ini sedang bertugas di sebuah Negara yang sedang berkonflik dengan Negara sebelahnya. Sebagai Negara yang cinta perdamaian pemerintahnya mengirim untuk aksi perdamaian, belum lama tiba Bima sudah di sambut dengan bunyi tembakan dan bom yang menghancurkan sebuah Kota tidak jauh dari markasnya.
Menemukan seorang gadis yang tergeletak tidak jauh darinya membuat dia harus bertanggung jawab menyelamatkan gadis tersebut. Membawanya ke rumah sakit terdekat.
Rumah Sakit Indonesia—Rumah Sakit khusus warna negara Indonesia yang sedang berada di Negara Konflik tersebut, TKW atau TKI atau pelajar sekalipun bisa berobat di sana. Dan saat ini Rumah Sakit tersebut penuh dengan korban dari perang yang saat ini terjadi di Negara itu. Bukan hanya warna Negara Indonesia, warga Nagara setempat pun ada di dalamnya sedang berjuang hidup.
"Arafah Khanza, namanya Arafah Khanza, dok," pekik Bima yang sudah menemukan identitas gadis yang di tolongnya itu.
"Usia 25 Tahun, dia TKI," lanjutnya memberi informasi yang dia dapat.
"Jadi siapa yang tanggungjawab?" tanya sang Dokter.
Meskipun dalam kondisi darurat, tetap saja harus ada keluarga atau pendamping yang bertanggung jawab atas pasien yang saat ini sedang di selamatkan olah team medis di rumah sakit itu.
Bima celingak celinguk melihat sekeliling, tapi tidak ada satupun yang perduli, semua sibuk dengan kondisi mereka masing-masing, dalam kondisi genting saat ini terlihat keegoisan orang-orang. Menyelamatkan diri sendiri itu yang utama saat ini.
"Biar saya yang tanggungjawab, dok."
Dokter itu sontak menoleh mantap Bima, menegaskan kalau pria berseragam loreng itu benar mau bertanggungjawab sepenuhnya atas pasien yang bernama Arafah ini.
"Selamatkan dia, dok!" Sekali lagi Bima menegaskan.
"Baiklah, kami akan lakukan yang terbaik."
Srekkk ...
Dokter itu langsung menutup tirai dengan sempurna menutupi ruang kerjanya, sementara Bima terdiam terpaku di tempat.
Dia sendiri heran entah mengapa ada rasa yang sulit dia ungkapkan ketika melihat seorang gadis berjalan santai, dengan senyum manis di bibirnya menenteng sebuah plastik putih, sesekali gadis itu memeriksa isi kantung plastik di tangannya sembari berjalan di pinggir tapi tiba-tiba tubuh mungil itu terpental hingga beberapa meter dan terjatuh di dekat Bima bersamaan suara bom yang sangat kencang. Semua panik berhamburan menyelamatkan diri masing-masing.
Baru saja dia turun jaga, ingin menikmati libur di minggu pertamanya tugas di Negara konflik ini, tapi yang dia dapat bukan liburan melainkan serangan.
"To-tolong ...,” rintih gadis itu, tangannya menjulur memohon pertolongan tapi tidak ada satupun orang yang menoleh padanya.
Dengan sigap, Bima berlari meski dia harus menerobos beberapa orang yang berlari tanpa arah karena panik dan hampir menabrak dirinya.
Bima langsung menggendong gadis itu dan berlari menuju Rumah Sakit yang ada beberapa blok di belakang tempat kejadian. Sampai di Rumah Sakit, team medis sudah siap dengan beberapa brankar karena serangan dadakan memakan banyak korban. Sebagai Rumah Sakit terdekat dengan kejadian team medis langsung siap menerima para korban.
Napas Bima masih terengah namun dia harus bisa fokus menjawab pertanyaan dokter yang menangani gadis tersebut.
"Siapa namanya? Mana keluarganya?”
"Arafah Khanza, namanya Arafah Khanza, dok."
Bima tersentak ketika seseorang mendorong tubuhnya agar menyingkir, tidak menghalangi jalan. Seketika itu juga lamunannya atas kejadian beberapa saat lalu menguap.
Bima keluar dari ruang IGD agar tidak terlalu banyak orang di sana.
"Pak, tolong tandatangan di sini, Ibu Arafah harus di operasi." Seorang perawat menyerahkan beberapa berkas pernyataan yang harus Bima tandatangani.
"Operasi apa?” tanya Bima. Karena seingat dia dan sepintas ketika dia menemukan Arafah gadis itu tidak terlalu buruk kondisinya kecuali beberapa darah yang ada di kaki dan kepalanya.
"Dislokasi kaki kiri dan kaki kanan sobek cukup panjang," jelas Perawat itu dengan singkat karena situasi yang mengharuskannya cepat.
Bima sedikit paham tentang bahasa medis, dia tidak menyangka kaki Arafah Dislokasi—istilah medis yang merujuk pada kondisi ketika tulang di sendi bergeser atau keluar dari posisi normalnya. Saat itu Bima hanya fokus pada darah dikepala Arafah dan kaki kanannya. Sedangkan kaki kiri terlihat baik-baik saja tapi ternyata dalamnya bermasalah.
Pria bertubuh tegap itu menghela napas kemudian menandatangani surat pernyataan itu. Setelah selesai, Perawat langsung membawa berkas-berkas tersebut kedalam ruang IGD.
Bima duduk di kursi tunggu, beberapa saat dia tersadar dengan tas yang di pegangnya. Diperiksanya lagi tas milik Arafah itu. Selain dompet berisi tanda pengenal, tas itu juga ada berkas yang lainnya. Surat-surat penting lainnya juga dia bawa.
Drrrttt ... Ponsel Bima bergetar di saku celananya.
"Bim, kau dimana?" tanya teman satu lintingan Bima di seberang sana dengan nada penuh kekhawatiran. Bagaimana tidak khawatir, pria itu habis tukar jaga dan tidak lama Bima keluar dari markas, serangan dadakan itu pun terjadi.
"Aku di Rumah Sakit Indonesia, Ren. Kau dimana?” jawab Bima sekaligus dia melempar pertanyaan yang sama khawatirnya pada sahabat yang satu pendidikan militer bersamanya.
Tut ... Tut ... Tut ... Sambungan telpon terputus sepihak. Entah dari Bima atau sahabatnya yang bernama Reno. Situasi konflik seperti ini memang menyulitkan komunikasi, sinyal ponsel tidak tentu.
Beberapa saat kemudian, Reno datang dan langsung menghampiri Bima yang sedang duduk di kursi tunggu.
"Astaga di sini kau rupanya, Kawan?! Ku kira kau jadi korban," cerocos Reno dengan logat kental melayunya, sembari dia menepuk pundak Bima.
"Sedang apa kau di sini?” sambung Reno yang sudah terduduk di sebelah sang sahabat.
"Di dalam ada korban yang aku selamatin tadi, sekarang dia lagi di operasi," jawab Bima.
Kening Reno mengernyit dalam. "Wanita atau pria?”
"Wanita."
"Heum, pantaslah!”
Mata Bima membola, hampir saja dia menyumpal mulut sahabatnya itu dengan kepalan tangannya kalah seorang perawat keluar dari ruang tindakan.
"Keluarga pasien Arafah?” tanya Perawat itu, lantang.
"Saya, Sus.”
"Anda suaminya? Istri Anda saat ini sedang butuh donor darah, Pak, dia banyak sekali kekurangan darah, stock darah di PMI baru saja habis. Apa Anda bisa cari orang dengan golongan darah O?”
Tanpa menyanggah asumsi perawat itu tentang status dirinya adalah suami dari Arafah, benak Bima hanya terlintas bagaimana dia mendapatkan donor darah untuk gadis itu. Pasalnya, golongan darahnya berbeda.
"Dia golongan darahnya O, Sus, ambil saja darahnya yang banyak." Bima menarik Reno yang masih terduduk di kursi tunggu.
"A-aku?”
"Iya, kau biasa donor darah kan, Ren?!”
"Kenapa mesti aku? Aku sedang tugas loh sekarang," tolak Reno.
"Tolong lah, Ren. Menolong orang itu jangan tanggung-tanggung," pinta Bima.