Dessy
Menikah diusia muda mungkin sudah biasa tapi yang luar biasanya gue harus menikah dengan laki-laki tua, duda beranak satu dan gosipnya dulu suka melakukan KDRT makanya dia dicerai istrinya. Iyuhhh nasib gue kok jelek amat ya, sejelek badan gue yang penuh lemak di mana-mana, sialnya lagi anak yang dibawa calon suami gue ternyata reinkarnasi dari anak setan difilm Orphan.
Inilah cerita gue dalam menghadapi kenakalan Allea dan lika liku menjadi ibu sambung dari anak yang beranjak remaja.
Sebelum gue mulai cerita ini perkenalkan nama gue Dessy dan umur gue 20 tahun, karena balas budi di antara dua sahabat akhirnya kedua orangtua gue berniat menikahkan gue dengan duda beranak satu, anak dari sahabatnya.
Awalnya gue nggak tahu siapa yang akan menjadi calon suami gue dan beberapa kali gue coba membatalkan niat orangtua tapi selalu gagal. Ibu selalu menggunakan alasan balas budi dan bla bla bla agar gue mau terima perjodohan aneh ini.
Anehnya calon suami gue kok ya mau nikah dengan wanita seperti gue. Tubuh gue banyak lemaknya, wajah nggak cantik dan pendidikkan saja belum sarjana. Entah buta atau dianya cuma mau cari istri untuk dijadikan pengasuh anaknya.
Semua bermula pada suatu hari yang gue kira indah ternyata awal mula dari gonjang ganjing yang akan terjadi di dalam hidup gue.
Begini ceritanya.
Sepulang dari kampus gue biasanya langsung ke kamar nyokap untuk sekedar berbasa basi sebelum kembali ke kamar, tapi hari ini tumben nyokap dan bokap sudah menunggu gue di ruang tamu dan wajah mereka sangat serius, firasat buruk mulai datang dan jangan bilang bokap bangkrut atau nyokap ketahuan selingkuh?
"Tumben arisan keluarga? Ada apa rame-rame?" Tanyaku setelah duduk di samping nyokap.
Nyokap melihat ke arah bokap seakan sedang memberi kode agar bokap mulai memberitahu aku apa yang sedang terjadi.
"Ya elah main kode-kodean segala. Ngomong aja terus terang ada apa? Dessy siap kok kalo mami mau bilang papi atau mami ketahuan selingkuh atau kita bangkrut atau apalah," ujar gue memulai duluan.
Bukannya bicara nyokap langsung menjentik kening gue dengan jarinya.
"Siapa yang selingkuh, sembarangan kamu."
"Awww sakit mi," balas gue sambil mengusap bekas jentikannya.
Bokap menggelengkan kepala dan memanyunkan bibirnya saking kesal gue tuduh selingkuh atau bangkrut.
"Mami mau nikahkan kamu," ujar mami tanpa basa basi bagaikan petir di siang bolong.
Gue masih diam membisu dan tidak paham apa yang nyokap bilang barusan.
"Heh, mami bilang apa barusan?"
"Mami dan papi mau nikahkan kamu dengan anak sahabat mami," ulangnya lagi dengan lebih jelas.
Gue masih terpana seakan sedang melihat artis korea sedang jalan di depan gue tapi akhirnya gue sadar kalau itu hanya khayalan semata. Ini nyata dan kedua orangtua gue sedang bercanda kan?
"Nikah? Aku? Hahahaha mami ngaco ah, aku masih muda mi bahkan kuliah saja belum selesai," gue masih tertawa membayangkan masa muda gue harus berubah total.
Nyokap memegang tangan gue dan meremasnya pelan.
"Dia anak sahabat mami dan ibunya minta tolong agar kamu mau jadi istri anaknya," ujar nyokap.
Gue langsung menarik tangan gue dengan keras.
"Mami jual aku? Mami ada hutang ya sama sahabat mami itu makanya mami jual aku?" Tebak gue, karena nggak mungkin tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba nyokap mau nikahin gue sama anak sahabatnya.
Kali ini bokap yang menghela napas.
"Kami memang berhutang budi tapi kami tidak menjual kamu, dulu sahabat mami kamu dengan ikhlas memberikan ginjalnya untuk mami dan sudah sepantasnya kami membalas kebaikannya dengan memenuhi permintaannya. Lagipula anaknya baik kok walau sudah berumur," ujar bokap.
Gue pernah dengar kalau nyokap dulu pernah melakukan operasi cangkok ginjal dan ternyata sahabatnya yang memberikan ginjalnya.
"Astaga, sudah tua? Kenapa belum nikah? Jangan-jangan gay dan aku hanya dijadikan kamuflase saja agar dibilang normal," tebak gue setelah bokap bilang anak sahabatnya itu sudah tua.
Nyokap lagi-lagi menjentik kening gue tapi kali ini tidak gue usap karena sudah kebal saking kesalnya dengan keputusan aneh kedua orangtua gue yang mau menikahkan anak perawannya dengan gay tua.
"Bukan tua, umurnya baru 38 dan dia bukan gay karena dulu dia sudah pernah menikah dan punya anak satu," lanjut bokap.
Mendengar itu gue langsung berdiri dan sungguh tidak menyangka kedua orangtua gue mau saja menerima ide konyol sahabatnya, masih mending gay tapi duda beranak satu? Astaga mimpi buruk apa yang akan gue jalani nanti.
"Ah nggak! Pokoknya Dessy nggak mau!"
Gue pun pergi dari rumah dan tidak peduli nyokap teriak-teriak memanggil nama gue.
Pokoknya gue nggak mau nikah sama duda!
****
Setelah kabur beberapa hari akhirnya gue balik ke rumah setelah bokap memberitahu gue keadaan nyokap sangat mengkuatirkan. Sebagai anak satu-satunya gue pun terpaksa mengalah dan mau kembali ke rumah tapi masalah pernikahan gue masih tetap menolak.
Pokoknya gue nggak mau nikah.
"Dessy, mami nggak tahu harus ngomong apalagi sama sahabat mami itu tapi cucunya atau anak dari calon suami kamu milih kamu sebagai ibu sambungnya," ujar nyokap lagi-lagi berusaha membujuk gue.
Gue masih sibuk main cacing dan tidak peduli dengan permintaan aneh nyokap.
"Dessy! Mami lagi ngomong sama kamu!" Teriak nyokap saat gue masih asyik dengan cacing yang semakin gendut seperti diri gue.
Ah iya selama kabur gue sengaja memakan semua makanan yang ada agar berat badan gue naik. Sebelum hal gila itu terjadi berat badan gue 60 tapi setelah beberapa hari ini berat badan gue naik ke angka 70. Biarin agar si tua itu nggak doyan dan membatalkan pernikahan ini.
"Apa sih mi, pokoknya Dessy nggak mau nikah!"
Nyokap mulai drama dengan menangis tersedu-sedu dan mengungkit bagaimana dulu dia berjuang untuk tetap hidup agar bisa melahirkan aku.
"Sudah dramanya? Seharusnya mami mikir kenapa dia cerai sama istrinya, pasti karena dia nggak baikkan? Mami mau anak mami nikah sama orang nggak baik? Siapa tahu dulu dia KDRT makanya dicerai istrinya, kita nggak tahukan?"
Mudah-mudahan nyokap terbujuk setelah mendengar perkataanku barusan.
"Nggak, mami jamin dia akan jadi suami yang baik untuk kamu. Nggak ada itu KDRT," bela nyokap seakan tahu banget siapa si tua itu.
"Pokoknya nggak!"
Nyokap kembali nangis tersedu-sedu sedangkan gue lebih memilih main cacing daripada menuruti permintaan aneh nyokap.
****
Sayangnya pertahanan gue cuma berumur seminggu, nyokap kolaps dan terpaksa dirawat lagi dan dokter bilang kondisi ginjal nyokap kembali memburuk ditambah faktor stres semakin memperparah kondisi nyokap dan sebagai anak gue pun akhirnya mengalah. Kesehatan nyokap lebih penting dibandingkan ego dan keinginan gue.
Mungkin ini sudah takdir gue untuk nikah muda.
Hari lamaran akhirnya datang.
Gue nggak pernah tahu siapa calon suami gue, yang gue tahu dia berumur 38, duda beranak satu dan kerjanya dosen di kampus gue. Awalnya gue pikir calon suami gue pak Ibrahim tapi setelah tahu dia suaminya Uwi akhirnya dia gue coret dari daftar calon suami.
Nyokap sibuk mempersiapkan acara lamaran, ya setelah gue iyakan kondisi nyokap semakin membaik dan dengan antusias nyokap mempersiapkan segalanya.
Sejak pagi gue sudah nggak enak hati ditambah nanti malam calon suami serta keluarganya bakalan datang untuk pertama kalinya.
"Jangan nangis lagi nanti dandanan kamu rusak," bujuk nyokap.
Lagi-lagi gue hanya bisa memanyunkan bibir saking tidak terimanya sebentar lagi gue akan jadi istri dan ibu sambung orang asing tidak gue kenal.
"Kapan acaranya dimulai sih, aku sesek nih pake kebaya." Gue mulai mengoceh tanpa henti untuk mengeluarkan kekesalan karena sebentar lagi acara lamaran akan dilakukan.
Nyokap melihat penampilan gue dari atas sampai bawah.
"Cantik juga ya anak mami yang semok ini kalo didandani, mami yakin calon menantu akan jatuh hati langsung sama kamu," ujar nyokap.
Pretttt.
Mana mungkin!
"Au ah mami nyebelin," gue pun membuang muka dan nyokap tanpa perasaan tertawa di atas penderitaan gue.
Saat jarum jam menunjukkan angka tujuh gue mendengar suara keramaian di ruang keluarga, berarti rombongan calon suami gue sudah datang.
Gue gelisah dan mondar mandir sambil berdoa agar lamaran ini batal.
"Ayok Dessy, calon suami kamu sudah datang," ujar nyokap saat membuka pintu kamar gue.
Dengan langkah berat gue keluar dari kamar dan langsung menuju ruang keluarga yang telah ramai dipenuhi keluarga gue dan keluarga calon suami.
Gue mencari dan mencoba mengenali dari semua orang siapa calon suami yang katanya dosen gue, mata gue berhenti saat melihat seseorang yang wajahnya familiar dan sering gue lihat di kampus.
Mati gue!
"Apa kabar Dessy," sapanya.
"Ba ... Baik ... Pak Abiyan."
Pak Abiyan! Pak Abiyan!
Huwaaaaaaa gue nggak mau nikah sama dia!
****