Allea
Sejak saat itu nenek mulai memperkenalkan aku dengan wanita yang akan menjadi istri baru papi tapi aku selalu menolak dengan berbagai alasan. Memang aku setuju tapi mereka terlalu sempurna bahkan melebihi mama, aku nggak mau nanti papi melupakan mama dan jatuh cinta dengan istri barunya.
Aku harus mencari istri baru yang jauh dari kriteria papa dan sampai detik ini nenek belum mampu mencarikan sosok wanita yang bisa aku terima.
"Kamu suka yang mana?" Tanya nenek membawa lagi beberapa foto baru dan nenek menyusun beberapa foto di atas meja.
Aku memilah satu persatu foto yang ditunjukkan nenek dan masih belum ada yang cocok, cocok untuk ditindas.
"Nggak asyik ah, pada tua semua dan nggak gaul nek," aku menyerahkan kembali foto-foto tadi ke tangan nenek.
Nenek menghela napas seakan ingin memakiku tapi nenek tahan, nenek lalu meletakkan lagi beberapa foto baru agar bisa aku pilih. Wajahnya sangat memperlihatkan keingintahuannya tentang pendapatku akan foto-foto calon istri papi.
"Jelek."
"Kurus banget kayak kurang gizi."
"Mukanya jerawatan."
"Giginya kuning."
Ada saja alasan yang bisa membuatku menolak wanita-wanita sesempurna ini, kalau aku memilih mereka bisa-bisa aku yang ditindas bukan aku yang menindas dia.
"Kalau ini?" Nenek meletakkan foto terakhir.
Aku mengambil foto itu dan menilai dari fisik, penampilan, umur dan bentuk tubuhnya. Aku langsung menyunggingkan senyum licik, ini dia yang aku cari. Wanita yang nilai fisik dan rupanya cuma 5 dari 10.
Ini yang aku cari, gumamku sekali lagi dalam hati.
"Aku mau dia jadi mami aku, nek."
"Yakin?" Tanya nenek yang mungkin kaget dengan pilihanku.
Aku menolak wanita cantik, ayu dan berkelas lalu memilih wanita muda, tidak cantik dan sedikit gemuk
Aku lalu mengangguk.
"Aku suka, dia muda dan kayaknya bisa dijadikan sahabat baikku."
Selain itu dia tidak secantik mama dan terlihat lugu jadi aku bisa menindasnya, gumamku dalam hati lagi.
"Ya sudah, nenek akan atur perjodohan papi kamu dan Dessy."
Oh jadi namanya Dessy.
Kita lihat seberapa kuat dia hidup bersamaku.
****
Hari lamaran akhirnya tiba dan aku terpaksa ikut bersama papi yang terlihat pasrah mengikuti rencana nenek. Tidak ada penolakan dari papi seakan pernikahan barunya sangat dia nantikan, aku hanya bisa diam untuk sementara waktu agar papi menganggap aku menerima calon istrinya yang akan menikah dengannya agar aku bisa bebas menindasnya nanti setelah mereka menikah.
Acara lamaran ini cukup ramai dan aku harus bersikap baik agar keluarga wanita itu sayang dan menyukaiku dan aku pun pintar memainkan peran sebagai anak baik, lugu dan ramah agar papi dan wanita itu nantinya berpikir aku suka dan menerimanya dalam keluarga kami.
Saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh, wanita itu keluar dari kamarnya dan sepertinya dia cukup kaget melihat papi. Setelah itu dia menangis terisak-isak dan reaksi pertama saat aku melihatnya cuma senyum seringai pertanda dia gampang ditindas.
Dasar cengeng baru lamaran saja sudah nangis kayak anak kecil. Lihat saja nanti jangankan untuk nangis, untuk tinggal bersamaku saja pasti dia nyesel, gumamku dalam hati.
Proses lamaran akhirnya selesai dan pernikahan papi akan dilaksanakan satu bulan lagi. Baiklah, satu bulan ini aku akan jadi anak yang baik di depan wanita itu.
"Aku mau kenalan dengan calon istri papi, boleh?" Tanyaku ke papi.
Papi memegang kepalaku lalu mengacaknya. Papi sangat jarang melakukan itu dan hari ini tumben papi melakukannya.
"Boleh, kamu kenalan dulu dengan dia tapi jangan nakal," ujar papi.
Mata papi beda dari sebelumnya.
Aneh.
"Iya," aku pun meninggalkan papi menuju kamarnya.
Aku mengetuk pelan kamarnya dan tidak lama pintu terbuka, aku melihat wanita itu bersama temannya dan wajahnya masih sembab karena habis menangis.
"Cari siapa dek?" Tanyanya dengan suara serak tapi dia berusaha untuk ramah padaku.
"Mamiku," jawabku singkat.
Huwekkkk mami.
"Oh nggak ada dek," balasnya.
Aku mengangkat tanganku lalu menunjuk ke arahnya.
"Mami aku ya kamu, aku anaknya papi Abiyan dan aku mau kenalan dengan mamiku, bolehkan?" Aku menyunggingkan senyum termanis agar dia pikir aku anak lugu dan baik budi.
Temannya langsung tertawa terpingkal-pingkal dan wanita itu balas dengan teriakan kesal.
Dasar kampungan.
"Oh silakan masuk ... Oh iya nama kamu siapa?"
"Allea, mami bisa panggil aku Lea atau Allea juga boleh," balasku sambil masuk ke dalam kamarnya.
Aku duduk di kursi yang disediakannya, ada kesan kaku di antara kami karena ini pertemuan pertama aku sebagai calon anak sambungnya.
"Oke, Lea ... Nggak usah panggil mami dulu. Tante kan belum nikah sama papinya Lea, panggil tante juga nggak apa-apa," ujarnya dengan pelan.
Aku menggeleng pelan.
"Nggak, aku sudah menerima mami sebagai mamiku dan sudah seharusnya aku panggil mami kan?" Balasku.
Teman yang duduk di sampingku sepertinya setuju dan memberi kode dengan jarinya.
"Oh gitu, gue udah jadi mami ternyata dan anak gue ... Wow cantik ternyata," ujarnya.
Tentu saja, kecantikan mama pasti turun ke anaknya dan aku bahagia istri baru papi nggak secantik mama.
"Mami ... Akan sayang aku kan?"
Dia langsung mengangguk dengan cepat.
"Tentu saja," balasnya dengan yakin.
Lihat saja, apa nanti akan masih sayang kalau aku mulai menindas kamu? Mungkin kamu akan menyesal sudah menikah dengan papi, gumamku lagi dalam hati.
Kami pun banyak membahas tentang hal-hal yang menurutku hanya sekedar basa basi agar hubunganku dengannya semakin dekat.
Ya ya ya hanya akan berlangsung selama satu bulan saja, aku nggak sabar mulai menindasnya.
****
Sejak acara lamaran dia jadi sering mengunjungiku di rumah bahkan beberapa hari sebelum acara pernikahan dia sudah mulai menjalankan tugasnya sebagai baby sitter baruku.
Ya aku menganggapnya sebagai baby sitter karena tugasnya menjemput, memberiku makan dan menjagaku sampai papi pulang dari kampus. Aku harus menahan diri tidak mengganggunya sampai hari pernikahan yang akan dilaksanakan dua hari lagi.
"Mami makanan kesukaannya apa?"
"Apa saja mami makan karena mami suka makan," balasnya.
Aku melihat penampilannya dan sungguh aku tidak bisa membandingkan mama dengannya. Mereka bagaikan Sophia Latjuba - tentu saja mamaku dan Audy - dia, jauh banget kan perbandingan bentuk tubuh mereka.
"Tapi mami nggak suka belut, iyuhhhh menjijikkan dan bikin geli. Mami bisa pingsan kalah lihay belut di depan mata mami," sambungnya.
Yihaaa, ide baru muncul dalam rencanaku menindasnya. Siap-siap saja suatu saat belut akan menari-nari di depan mami.
"Selain itu?"
"Mami alergi kacang ..." Dia asyik bercerita sampai puas, aku hanya bisa mendengar sambil menyimpan apa saja hal yang bisa aku lakukan nanti.
"Mami pernah pacaran?"
Aku melihat dia kaget mendengar pertanyaanku.
"Pacar? Hahahaha ..." Dia diam beberapa saat, "nggak pernah," lanjutnya dengan mimik sedih.
Mungkin hanya papi yang matanya buta karena mau menerima dia sebagai istri.
"Kamu masih di sini?" Aku melihat papi masuk dan sungguh suatu keajaiban lihat papi berada di rumah jam segini.
Ini masih siang loh.
"Iya pak, aku nemenin Lea sampai bapak pulang."
"Di sini saja ... Kita makan malam bersama," ujar papi.
Aku benar-benar terdiam untuk beberapa saat, kenapa papi seramah itu padanya bahkan aku melihat papi diam-diam menatap dia.
"Ah nggak usah pak, takut kemalaman nanti nggak ada taksi," tolaknya.
"Nanti aku yang antar kamu pulang," balas papi.
Ya ampun aku semakin kesal melihat sikap mereka yang malu-malu kucing seperti ini.
"Iya mi, makan malam di sini saja," balasku dengan senyum licik.
Sepertinya aku tidak bisa lagi nahan diri sampai mereka menikah, malam ini aku akan mulai menindasnya.
"Baiklah, tapi aku yang masak ya."
Papi mempersilakan dan aku pikir ini kesempatan emas untuk menindasnya.
"Aku bantuin ya mi," ujarku menawarkan diri.
"Oke," balasnya.
Kami pun mulai masak makan malam sedangkan papi berada di ruang kerjanya, saat dia lengah aku memasukkan garam dan lada ke dalam sup yang dibuatnya.
"Wah supnya kayaknya enak nih," ujarku sambil mengaduk-aduk sup tadi.
"Oh iya garam dan lada jangan lupa," dia memasukkan beberapa sendok garam dan lada.
Malam ini papi akan sakit perut karena sup ini. Papi bakalan marah dan tidak lagi curi-curi pandang seperti tadi.
Huh nyebelin!
"Tadaaaa sup dagingnya sudah masak, kamu panggil papi dan ajak makan malam," ujarnya.
Aku membuat tanda oke dengan jariku lalu meninggalkan dapur menuju ruang kerja papi.
"Pi makan yuk," ajakku.
"Sudah masaknya?" Tanya papi.
"Sudah tapi nggak tahu enak atau nggak," ujarku, setelah itu papi keluar bersamaku menuju meja makan.
Aku melihat dia sibuk menyusun makanan di meja makan.
"Maaf pak lauknya cuma ini."
Aku tidak sabar melihat reaksi papi makan sup asin dan pedas ini.
"Ah nggak apa-apa Dessy, ini saja sudah cukup kok," lagi-lagi papi mengucapkannya dengan lemah lembut.
Aku menghentakkan kaki saking kesalnya.
"Ya sudah aku ambil dulu sup yang masih panas ya biar enak," ujarnya sambil mengambil mangkok sup yang tadi terletak di atas meja.
Aku menahan mangkok itu lalu mengambil dari tangannya.
"Aku saja mi," aku mengambil mangkok itu lalu membawanya ke dapur.
Di dapur aku mempersiapkan dua mangkok. Satu mangkok untuk papi dan mangkok lain untuk dia, mangkok untuk dia aku beri lada tambahan agar semakin pedas.
"Supnya datang," ujarku saking bersemangat membawa mangkok sup yang lumayan panas itu.
Saat hampir sampai meja makan tiba-tiba aku menginjak ujung karpet dan posisiku mulai tidak stabil. Baki dan mangkok yang aku pegang mulai oleng.
"Lea hati-hati!" Seru dia dan secepat kilat aku melihat dia menjangkau baki itu dan sayangnya posisi tangannya tidak pas hingga mangkok itu jatuh dan sup itu mengenai tangan nya.
"Dessy!" Teriak papi.
****