Dessy
Kalian tahu kenapa gue sangat kaget saat melihat pak Abiyan duduk di ruang keluarga dan memperkenalkan dirinya sebagai calon suami gue?
Begini ceritanya.
Dua tahun yang lalu.
Hari ini gue dijadwalkan ujian semester dengan mata kuliah metode statistik, biasanya gue tiap malam belajar agar bisa besoknya mengikuti ujian dengan baik tapi tadi malam gue sama sekali nggak bisa belajar karena harus gantian dengan nyokap jagain bokap yang sedang dirawat di rumah sakit.
Sumpah ya gue nggak ada belajar sama sekali bahkan bahan kuliah saja tidak tersentuh sama sekali, sedangkan gue sudah dua kali ambil kuliah ini karena semester tiga lalu gue nggak lulus karena dosennya rese sama gue.
Ya siapa lagi kalau bukan Pak Abiyan, dosen yang kabarnya duda beranak satu dan gosipnya dulu melakukan KDRT ke istrinya makanya dicerai. Nah masalahnya pak Abiyan bikin gue kesel karena wajah gantengnya membuat gue nggak bisa konsen belajar dan akhirnya pas ujian gue nggak isi apa-apa dikertas ujian makanya gue dapat nilai D.
Resekan.
Semester ini gue terpaksa mengulang metode statistik dengan dia lagi dan berjanji nggak boleh terpesona, masalahnya kemarin gue nggak ada belajar sama sekali dan sepertinya gue harus bikin contekan alias jimat.
Bukankah aljimatun minal sukses dan mudah-mudahan gue lulus semester ini agar tidak melihat pak Abiyan lagi.
Seperti biasa gue sengaja duduk di pojok kiri baris ketiga, contekan tadi gue letak di sela paha gue, syukurlah paha gue besar dan montok jadi bisa digunakan sebagai tempat penyimpan contekan tadi.
Teman-teman gue mulai masuk ke ruang ujian dan mereka sibuk memilih posisi duduk strategis agar bisa menyontek dengan tenang. Tidak lama pak Abiyan pun masuk ke dalam ruangan dan suasana langsung hening.
"Baiklah, semua catatan dan apapun yang berhubungan dengan ujian kali ini harap disimpan. Kalau ada dari kalian ketahuan menyontek atau lihat catatan saya nggak akan segan-segan memberi nilai jelek, paham?" Ujarnya.
Para mahasiswa langsung menjawab dengan serempak.
"Paham, pak."
Termasuk gue.
Gue masih berusaha menutupi contekan yang tersimpan di sela paha gue.
Tolong bersahabat kali ini ya.
"Kamu ..." Gue melihat pak Abiyan menatap gue.
Gue menunjuk ke arah diri sendiri.
"Saya pak?" Tanya gue.
Pak Abiyan mengangguk lalu memberi kode dengan matanya yang melihat ke arah tempat duduk kosong di depan.
Ya, di depan saudara-saudara.
Mampus gue!
"Tolong isi yang di depan," katanya mengulang maksud kodenya tadi.
Gue reflek menggeleng.
"Nggak ah pak, nggak enak duduk di depan."
Duduk gue semakin gelisah, kalau gue pindah contekan gue bisa jatuh dan tamat sudah riwayat gue.
Pak Abiyan pun mendekat lalu berdiri di samping gue.
"Ujian nggak akan saya mulai sebelum kamu pindah," ujarnya mengancam gue.
Beberapa teman gue mulai berisik karena waktu pun berkurang bagi mereka yang ingin ujian.
"Tega banget sih pak," balas gue.
"Kenapa kamu nggak mau pindah? Nggak belajar? Atau ada contekan?" Dia melihat ke arah paha gue dan reflek gue semakin memperjelas keberadaan contekan itu
Pak Abiyan lalu menjulurkan tangannya.
"Kasih saya," ujarnya lagi.
"Kasih apa pak?" Gue masih berusaha untuk bisa lepas darinya.
Pak Abiyan masih menjulurkan tangannya.
"Jangan buat saya mengambil benda itu dari paha kamu," lanjutnya lagi.
Gue menyunggingkan senyum sinis setelah mendengar ucapannya. Mana mungkin dia berani mengambil contekan dari paha gue, itu sama saja pelecehan seksual dan gue nggak akan tinggal diam.
"Kamu pikir saya nggak berani?" Ujarnya menantang gue.
Gue masih melihat matanya tanpa berkedip seakan menantangnya untuk mengambil contekan itu dari paha gue.
"Saya hitung sampai tiga atau saya yang ambil sendiri," dia mulai mengepalkan tangannya, "satu ... dua ... ti ... ga," lanjutnya dan tanpa gue sadari saat dia menyebut angka tiga tangannya mulai masuk ke dalam sela paha gue dan contekan itu berpindah ke tangannya.
"Ini apa?"
Teman-teman gue mulai berisik dsn menertawai gue, muka gue mulai panas dan memerah. Bukan malu karena contekan gue diambil dosen tapi karena saat tangannya mengambil contekan itu tanpa sengaja mengenai tempat paling sensitif dan itu sama saja pelecehan seksual.
"Selesai ujian temui saya," ujarnya tanpa rasa bersalah.
Dada gue mulai naik turun menahan diri agar tidak menangis. Bisik-bisik semakin kencang dan gue langsung berdiri dari kursi lalu berjalan mendekati pak Rabiyan.
"Saya sudah bilang nanti temui saya setelah ujian," ujarnya saat gue berdiri di depannya.
Plakkkkk
"Bapak melecehkan saya tadi dan itu balasannya!" Teriak gue dengan sangat keras.
Setelah itu gue lari keluar dari kelas, masa bodoh dengan ujian kali ini dan gue yakin pak Abiyan akan dendam kesumat sama gue karena sudah menamparnya di depan umum.
Huwaaaaa apa yang barusan gue lakukan! Gue gila! Gue gila!
Ternyata bukan Aljimatun minal sukses tapi alketahuan minal manfussss.
****
Anehnya saat pengumuman hasil ujian nilai gue bukannya D atau E tapi C. Padahal hari itu gue nggak ikut ujian sama sekali dan gue juga nggak pergi menemui pak Abiyan di ruang dosen. Gue benar-benar berusaha menghindarinya karena nggak mau berkomunikasi dengannya.
Tapi takdir kayaknya suka banget bikin kejutan dan sekarang pak Abiyan sudah resmi jadi calon suami gue.
Calon suami gaesssss bukannya dosen gue.
Sejak acara lamaran gue pun mulai sibuk menjalankan tugas sebagai calon istri pak Abiyan. Gue juga mulai dekat dengan Allea dan setiap hari gue menjemputnya di sekolah, menyediakan makanan di rumah dan akan menjaganya sampai pak Abiyan pulang dari kampus.
Hubungan gue dengan pak Abiyan yang tadinya kaku mulai mencair, kami tidak pernah lagi membahas masalah hari itu dan sibuk dengan persiapan pernikahan.
"Kenapa bapak mau menikah dengan saya?" Tanyaku saat gue dipaksa nyokap menemani Pak Abiyan pergi memilih undangan pernikahan.
Sebenarnya gue malas tapi ya sudahlah daripada mendengar ocehan nyokap lebih baik gue pergi.
Pak Abiyan berhenti memilih undangan lalu melihat ke arah gue.
"Kamu suka yang mana?" Dia menunjukkan tiga buah model undangan.
"Terserah bapak saja," balas gue, toh semua undangan sama saja. Setelah dilihat lalu dibuang jadi buat apa memilih undangan mahal dan mewah kalau akhirnya akan berakhir di tempat sampah.
"Ini?" Tunjuknya lagi
"Boleh ... Bapak belum jawab pertanyaan saya," gue kembali mengungkit soal alasan dia mau menikahi gue.
"Kenapa kamu mau tahu?" Kali ini dia balik bertanya.
"Karena ... Saya pengen tahu saja, nggak boleh?" Tanya gue balik.
Pak Abiyan menyerahkan contoh undangan tadi ke tangan pegawai percetakan lalu mendekati telinga gue lalu berbisik pelan.
"Karena ... Urusan kita belum selesai dua tahun yang lalu," bisiknya pelan.
"Heh, maksud bapak apa?" Gue melihatnya dengan tatapan aneh.
Pak Abiyan mengangkat bahunya lalu memakai kacamata hitamnya dan dia tersenyum sebelum masuk ke dalam mobil.
Maksudnya apa sih? Jangan-jangan dia masih dendam saat aku menamparnya? Hiiiiiii jangan-jangan dia mau balik nampar aku setelah kami nikah, dia kan pelaku KDRT!, Gumam gue dalam hati.
****
Waktu berlalu dengan sangat cepat dan dua hari lagi acara pernikahan akan dilaksanakan, gue lebih sering menemani Allea di rumah dan mulai belajar masak agar nanti gue nggak kesulitan memberinya makan siang dan malam.
Hari ini pak Abiyan mengundang gue untuk makan malam di rumahnya, mungkin ini makan malam pertama kami sejak gue menerima lamarannya.
Gue sengaja masak sup karena hanya masakan itu yang menurut gue gampang dibuat, Allea dengan tulus menawari diri untuk membantu gue dan gue senang dia mau membantu gue.
Saat kami hendak mulai makan tiba-tiba gue melihat Allea hampir jatuh dan reflek gue langsung menyambar baki yang dipegangnya agar dia tidak terluka tapi sialnya sup panas tersebut malah mengenal tangan gue.
"Dessy!" Teriak pak Abiyan.
Gue langsung panik dan mulai memegang tangan Allea.
"Kamu nggak apa-apa? Kamu terluka?" Gue mulai memeriksa badannya.
Allea masih kecil dan sup panas akan merusak kulitnya.
"Aku ... Aku ..."
"Ya ampun, tangan kamu!" Pak Abiyan memegang tangan gue dan dia menarik gue ke dalam ruang kerjanya, dia membanting pintu dengan kesal lalu menyuruh gue duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya itu.
"Pak ... Hanya luka kecil kok," ujar gue menenangkannya.
Pak Abiyan terlihat benar-benar panik dan seperti orang kebingungan, gue lalu berdiri dan berjalan menuju tempat penyimpanan kotak P3K yang tampak dengan jelas digantung di dinding.
"Pak ... Ini kotak P3K nya," ujar gue sambil menunjukkan kotak P3K.
Pak Abiyan langsung menghampiri gue lalu menyuruh gue duduk lagi. Dia lalu membuka kotak P3K dan mulai mengoleskan obat pelan-pelan diluka gue. Meski lukanya kecil tapi cukup perih dan gue meringis saat obat itu dioleskan pak Abiyan.
"Sakit ya?" Tanyanya, dia mulai membalut tangan gue dengan kain kasa agar tidak infeksi.
Gue mengangguk pelan.
Pak Abiyan memegang tangan gue yang terluka tadi dan dia menciumnya pelan, gue langsung kaget dan reflek menarik tangan gue.
"Pak ..."
"Sepertinya ... Saya jatuh cinta sama kamu, Dessy."
****