Bab 5

1151 Kata
Allea   Sup panas itu mengenai tangan dia dan hal pertama yang dia lakukan langsung memeriksa tubuhku. Padahal tangannya yang terkena sup panas tapi dia malah memeriksa apakah sup panas itu mengenai aku.   "Kamu nggak apa-apa? Kamu terluka?" Wajahnya panik saat memeriksa tubuhku.   Aku sedikit merasa bersalah karena keteledoranku tangannya terkena sup panas itu, aku memang ingin menindasnya tapi tidak dengan melukai fisiknya. Soalnya fisiknya sudah jelek kalau dilukai makin jelek dan aku nggak suka orang jelek jadi istri papi, jeleknya biasa saja kayak dia sekarang bukan jelek bangetttt.   "Aku ... Aku ..."   "Ya ampun, tangan kamu!" Papi memegang tangan dia dan papi menarik dia ke dalam ruang kerjanya.   Apa-apaan ini, kenapa papi bisa sepanik itu bahkan dia tidak bertanya keadaanku. Huh, seharusnya aku tidak merasa bersalah seperti tadi. Seharusnya aku tertawa tapi itu kejam sih tapi dia nyebelin! Kenapa papi membawa dia ke ruang kerja?  Kenapa mereka berdua saja di dalam? Sebaiknya aku menguping apa yang mereka bicarakan di dalam.   Pelan-pelan aku melangkah menuju pintu ruang kerja papi, aku menempelkan kuping di daun pintu tapi sayangnya aku nggak dengar apa-apa.   "Mereka ngapain ya? Kok nggak ada suaranya?" Tanyaku penasaran.   Aku semakin menempelkan telinga dan tetap tidak ada suara, sepertinya percuma aku menguping karena aku nggak bisa dengar apa yang mereka bicarakan.   Saat aku hendak kembali ke kamar tiba-tiba pintu terbuka dan aku melihat dia keluar sambil memegang bibirnya yang terlihat memerah.   Ah paling dia baru pakai lipstik.   Tangannya seperti diperban papi.   "Tangan mami baik-baik saja?" Tanyaku.   Dia melihatku dengan salah tingkah, wajahnya langsung merah semerah warna lipstiknya tapi kenapa warna merahnya seperti alami ya?   "Ah nggak apa-apa, cuma luka kecil."   Huh, luka kecil tapi reaksi papi berlebihan.   "Oh," balasku seadanya   Tidak lama papi keluar dengan senyum terkulum diam-diam meski tidak papi tampakkan tapi terlihat jelas papi masih menatap dia dari belakang.   "Lea, papi antar Dessy pulang dulu. Kamu tidurnya jangan kemalaman dan PR kamu diperiksa lagi," ujar papi.   Ya ya ya   Aku ditinggal lagi sendiri dan papi lebih memilih mengantarkan dia pulang.   Dasar manja!   "Nggak usah pak, saya pulang sendirian saja. Lebih baik bapak temenin Allea di rumah, kasihan sudah malam nggak aman tinggalin anak kecil sendirian di rumah," tolaknya.   Nah iya, itu baru benar.   "Nggak apa-apa, kamu juga nggak aman kalau pulang sendirian naik taksi, Allea sudah biasa kok ditinggal sendirian lagian ada mang Heru di belakang," balas papi.   Papi nyebelin banget deh, kayaknya penting banget mau antarin dia pulang. Bilang saja mau tinggalin aku sendirian lalu papi senang-senangkan di luar tanpa perlu menjagaku.   "Aduh gimana ya?"   "Ya sudah mami bobo sama aku aja, gimana?" Aku langsung mengutarakan niat teraneh yang pernah aku pikirkan.   Papi dan dia saling menatap lalu mereka secara bersamaan mengangkat kedua tangannya lalu memutarnya, mereka membuat gerakan menolak dengan kedua tangan secara serempak.   "Ah nggak usah, belum boleh Lea." Ujar Dessy. "Kenapa?"   Papi menggaruk kepalanya sedangkan dia membuang muka berkali-kali. Mereka persis seperti orang yang lagi salah tingkah.   "Ya belum boleh saja karena kami belum menikah, nanti setelah menikah barulah Dessy bisa tidur sama kamu," kali papi buka suara.   Aku akhirnya mengerti dan paham kenapa dia nggak boleh tidur dulu di rumah ini.   "Ya sudah, aku pulang sendirian saja," dia mengambil tas lalu berjalan menuju pintu luar.   Papi seperti tidak rela dia pulang sendirian lalu mengambil kunci mobil. Lagi-lagi aku menghela napas dengan kesal, kenapa sih papi lebih mentingin orang lain daripada aku! Aku kan anaknya? Sedangkan dia hanya  orang asing yang nanti akan jadi istrinya.   Menyebalkan.   "Awwwwwww, pi aku sakit perut," papi dan dia langsung berhenti dan melihat ke arahku secara bergantian.   "Pak ... Kayaknya aku tidur sama Allea saja malam ini, kasihan dia sakit perut," ujarnya.   Biarlah, daripada papi pergi dan pulang entah jam berapa. Pura-pura sakit dan tidur bersamanya lebih baik daripada tidur sendirian. "Aku akan telepon mami kamu, nggak apa-apa?" Tanya papi.   Aku masih pura-pura meringis dan berjalan mendekati dia, dia memberi tanda oke lalu dia memegangku dan membawaku ke kamar.   "Kenapa bisa sakit? Padahal tadi baik-baik saja?" Dia membantuku tidur di ranjang.   "Nggak tau," balasku masih sambil meringis.   Dia membuka tasnya lalu mengeluarkan sebuah botol kecil dengan merek ternama lalu dia membuka pelan bajuku lalu mengoleskan minyak di botol itu. Dia mengurut pelan dengan tangannya dan aku hanya bisa menikmati usapan tangannya di perutku.   Rasanya sudah lama tidak ada yang melakukan ini saat aku sakit. Meski saat ini aku hanya pura-pura sakit tapi ini sangat menyentuh dan tanpa sadar aku menitikkan air mata. Untungnya dia tidak melihat dan dengan buru-buru aku langsung menghapus airmataku.   "Sudah enakan?"   "Lumayan," balasku singkat.   Dia lalu berdiri dan menarik selimut untuk menyelimutiku, setelah itu dia mulai tidur di lantai bawah.   "Tidur di sampingku saja, nanti masuk angin," ajakku.   "Ah nggak usah, aku di sini saja."   Dia membuka ikatan rambutnya dan ternyata dia cukup cantik kalau rambutnya digerai.   "Ayo mi, tidur di sampingku." Aku kembali mengajaknya.   "Boleh?" Tanyanya.   Aku mengangguk.   Lalu dia pun naik ke atas kasur milikku dan dia tidur tepat di sampingku. Tangannya diletakkan di kepalaku lalu dia mengelusnya lembut, sampai rasa kantukku tiba-tiba datang menyerang dan akhirnya aku tidur bersamanya untuk pertama kali.   "Selamat malam Lea," samar-samar aku mendengar suaranya dan tidak lama aku merasakan kecupan hangat di keningku, aku ingin marah tapi rasa kantuk membuatku malas membuka mata.   ****                 Aku terbangun saat sinar matahari masuk ke melalui jendela, aku melihat dia masih tidur sedangkan posisiku kini sedang memeluknya seakan dia bantal guling. Kenapa aku malah memeluknya sih? Aku melepaskan pelukan pelan-pelan agar dia tidak bangun.   Setelah itu aku keluar dan tidak melihat papi di mana pun, aku membuka pintu kulkas dan melihat ada selai kacang.   Sepertinya pagi ini aku akan membuat sarapan untuk dia dan juga papi.   Aku mengambil roti lalu mengoleskan selai kacang dan mulai memanggang roti itu di tempat pemanggangan.   Kalau makan roti ini pasti alerginya kambuh.   Setelah roti bakar selesai aku membangunkan papi dan juga dia, aku sengaja meletakkan selai kacang lalu selai stroberry agar dia tidak curiga ada selai kacang di rotinya.   "Pagi Lea," sapanya dan papi secara bersamaan.   "Pagi papi dan pagi juga mi, Lea bikin sarapan untuk kalian, ayo duduk." Ajakku.   Aku mengambil sepotong roti bakar lalu menggigitnya, begitupun papi yang terlihat bersinar pagi ini dibandingkan sebelum dia ada di rumah ini.   "Kamu bikin sendiri Lea? Wah kamu pintar ya, anak bapak ternyata sudah besar ya. Oh iya bagaimana sakit perut kamu kemarin? Obatnya ampuhkan?" Tanyanya sambil mengambil roti yang sudah aku persiapkan untuknya. Senyumku langsung hilang dan kembali teringat bagaimana tadi malam dia begitu baik saat aku pura-pura sakit dan aku malah memberinya roti bakar berisi selai kacang.   "Mihhhhh, tunggu!"   "Ada apa Lea?" Tanya papi bingung.   Aku berdiri lalu mengambil roti bakar yang ada di tangannya.   "Lea masih lapar dan roti mami sepertinya enak," kataku mencari alasan.   "Oh, ambil aja." Dia mengambil s**u segelas lalu meminumnya, papi melihatku dengan tatapan aneh tapi aku membalas dengan memakan semua roti bakar itu dengan lahap.   Sepertinya aku harus cari cara lain untuk menindasnya, kenapa dua kali rencanaku selalu gagal ya?   "Lea," panggilnya.   "Hmmm ada apa?" Tanyaku dengan mulut penuh roti.   "Kamu bahagia nggak kalau aku jadi mamimu?" Tanyanya tiba-tiba.   Aku menghentikan kunyahan di mulut lalu melihat papi dan dia secara bergantian.   "Ya tentu saja, aku jadi punya mami seperti teman-temanku," balasku dengan berbohong. Dia meletakkan gelas susunya lalu menatap papi.   "Karena sepertinya aku mulai menganggap Allea sebagai anakku, dan aku sangat sedih kalau bapak mengacuhkan dia," balasnya.   Aku masih diam membisu mendengar perkataannya barusan.   ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN