Bab 6

1597 Kata
Dessy Apa-apaan ini! "Eh sebentar, aku tarik napas dulu boleh?" Tanya gue saat dia baru saja menyatakan cintanya ke gue, tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba pak Abiyan bilang dia jatuh cinta sama gue. Pak Abiyan masih waraskan? Maksud gue, kami baru dekat dalam hitungan hari dan memang kami mau menikah tapi ini pernikahan karena perjodohan semata masa dia sudah jatuh cinta langsung gitu ke gue. "Silakan," balasnya. Gue menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan sangat keras, gue coba sekali lagi dan masih sulit mencerna alasan kenapa pak Abiyan bisa suka sama gue yang nggak ada cantik-cantiknya ini. "Sudah?" Tanyanya. "Sejak kapan bapak jatuh cinta? Maksud aku, kenapa bapak bisa jatuh cinta sama aku sedangkan kita baru dekat beberapa hari ini?" Tanya gue beruntun. Pak Abiyan mulai menggeser duduknya semakin mendekati gue, reflek gue pun ikut menggeser agar posisi duduk kami ada jarak tapi Pak Abiyan menahan tubuh gue hingga kami duduk semakin dekat. Gue benar-benar salah tingkah dan sedikit gelisah saat Pak Abiyan memegang tangan gue. "Sudah lama dan kalau kamu tanya alasan kenapa saya jatuh cinta sama kamu karena kamu itu lucu, berani dan bekas tamparan kamu masih saya ingat loh," ujarnya mengungkit kejadian dua tahun yang lalu. Gue menyunggingkan senyum sinis dan teringat lagi alasan gue menamparnya. "Karena waktu itu bapak sudah melakukan pelecehan seksual makanya aku menampar bapak, jangan bilang bapak dendam makanya bapak setuju nikah sama aku?" Tebakan gue kayaknya benar. Pak Abiyan menggelengkan kepalanya. "Saya salah waktu itu dan hari itu rencananya saya mau minta maaf tapi kamu selalu menghindari saya selama dua tahun, kamu buat saya selalu mikirin kamu setiap harinya dan saat mami saya menunjukkan foto wanita yang akan dijodohkan dengan saya ... Kamu pikir saya akan nolak?" Balasnya menjelaskan sejak kapan pak Abiyan jatuh cinta dan ternyata sejak kejadian itu. Gue diam dan hanya bisa melihat ketulusan di matanya. "Kita memang menikah karena perjodohan tapi saya suka sama kamu dan saya harap kamu juga menyukai saya," Pak Abiyan menarik tangan gue hingga kedua tubuh kami menyatu, "jangan pernah berpikir saya akan membiarkan kamu tidak menyukai saya," lanjutnya. Posisi kami semakin dekat dan gue kehilangan kata-kata membalas ucapannya barusan, napas gue berat dan tangannya kini melepaskan tangan gue lalu dia menyentuh pipi gue dengan lembut. "Pa ...pak." Gue panik tapi tubuh gue kayak dipaku dan sulit untuk digerakkan, gue benar-benar terpana karena baru kali ini gue bisa sedekat dan seintim ini dengan laki-laki asing. "Boleh ya saya cium kamu?" Heh, cium? "Pa ...k.." Belum sempat gue menolak tiba-tiba gue merasakan benda asing melumat bibir gue dengan lembut. Sumpah gue nggak tahu cara membalasnya dan gue cuma bisa menutup mata gue saking nggak tahu harus melakukan apa. Ciuman itu akhirnya lepas dan pak Abiyan kembali menyentuh pipi gue. "Kamu milik saya, Dessy." Ujarnya pelan. Ya ya ya terserah bapak lah. Gue pun berdiri lalu berjalan menuju pintu keluar sambil memegang bibir yang baru saja merasakan apa itu ciuman pertama. **** Pak Abiyan memang memperlakukan gue dengan baik tapi selama gue mengenalnya terlihat jelas dia seperti mengacuhkan Allea dan gue nggak suka pak Abiyan melakukan itu. Seperti tadi saat pak Abiyan berniat mengantar gue pulang dan membiarkan Allea tinggal sendiri sedangkan hari sudah malam. Allea memang tidak banyak komentar tapi dari raut wajahnya terlihat jelas Allea ingin pak Abiyan menemaninya. . Setelah perdebatan panjang akhirnya gue memutuskan tidur bersama Allea karena Allea mengeluh sakit perut, terlihat jelas Allea seperti butuh teman malam ini dan gue pun menemaninya tidur. Gue juga mengoleskan obat di perutnya yang sakit dan gue bisa lihat Allea menitikkan airmatanya meski secara diam-diam Allea menghapus agar gue nggak bisa lihat. "Kasihan banget kamu," bisik gue saat Allea mulai tidur dan beberapa kali Allea mengigau tidak jelas. Gue harus bicara dengan Pak Abiyan tentang sikapnya ke Allea dan berharap pak Abiyan bisa lebih memperhatikan Allea. Pagi harinya. Untuk pertama kalinya gue, Pak Abiyan dan Allea melakukan sarapan pagi bersama-sama. Allea mempersiapkan roti bakar dan segelas s**u, Allea sangat lahap saat memakan rotinya begitu pun pak Abiyan. Mungkin ini saat yang tepat untuk membahas sikapnya ke Allea. "Lea," panggil gue. "Hmmm ada apa?" Tanyanya setelah gue memanggil namanya, Pak Abiyan pun melihat ke arah gue. "Kamu bahagia nggak kalau aku jadi mamimu?" Tanya gue langsung. Allea seperti kaget mendengar pertanyaan yang gue lontarkan, begitu pun pak Abiyan seperti ingin mendengar jawaban Allea. "Ya tentu saja, aku jadi punya mami seperti teman-temanku," balas Allea. Gue meletakkan gelas s**u yang sejak tadi gue pegang lalu menatap ke arah pak Abiyan. "Karena sepertinya aku mulai menganggap Allea sebagai anakku dan aku sangat sedih kalau bapak mengacuhkan dia," ujar gue dengan mimik wajah serius. Pak Abiyan melihat gue dan Allea sepertinya paham lalu dia meninggalkan kami berdua. Setelah Allea masuk ke dalam kamarnya barulah gue melanjutkan pembicaraan tadi. "Aku melihat bagaimana bapak tadi mengacuhkan Allea dan aku nggak suka, kalau bapak mau menikah dengan saya tolong ... tolong lebih memperhatikan Allea," ujar gue dengan tegas. Pak Abiyan mengambil gelas susunya lalu meneguknya sampai habis. "Kamu bisa menggantikan posisi saya, mengasuh dan memberikan perhatian serta kasih sayang," balasnya. Aneh. Kenapa Pak Abiyan seakan tidak ingin memperhatikan Allea? "Iya, aku akan menjadi ibu sambungnya tapi kasih sayang ibu sambung berbeda dibandingkan kasih sayang ayah kandung, yang dibutuhkan Allea itu kasih sayang bapak bukan hanya sekedar kasih sayang ibu sambung. Kalau bapak menikahi saya hanya untuk menjaganya kenapa tidak sekalian saja bapak membelikan saya seragam baby sitter, Allea tidak saja butuh saya tapi juga bapak." Pak Abiyan meletakkan gelas susunya dengan keras dsn terlihat dia berusaha menahan amarahnya. "Saya menikahi kamu karena saya cinta, jangan anggap saya hanya ingin menjadikan kamu baby sitter Allea. Masalah perhatian dan kasih sayang ... Jangan berharap lebih," ujarnya sebelum meninggalkan meja makan dan kembali ke ruang kerjanya dengan membanting pintu. Gue kayaknya terlalu ikut campur sedangkan hubungan kami saja belum sedekat itu sampai-sampai aku menasehatinya, pak Abiyan pantas semarah itu padaku. **** Acara pernikahan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, sejak pembicaraan kami hari itu pak Abiyan tidak pernah lagi membahas masalah Allea di depan gue. Gue juga jarang ke rumahnya karena nyokap melarang gue keluar rumah alias sedang dipingit agar acara pernikahan gue berjalan dengan lancar. Semua orang sibuk dengan tugas masing-masing, gue yang gugup entah sudah berapa banyak menghabiskan kue yang dihidangkan di meja makan, bahkan nyokap gue ngamuk-ngamuk karena takut kebaya gue nggak muat. "Cie yang mau nikah," ledek Uwi yang akhirnya muncul setelah hilang bagai ditelan bumi. "Ah elo kok baru nongol," sindir gue tajam. Uwi mengelus perutnya yang masih tampak datar-datar saja. "Gue bed rest beberapa minggu ini," ujarnya memberi alasan dan gue hanya bisa balas dengan anggukan. Uwi lalu duduk di samping gue dan mulai bertanya-tanya bagaimana kelanjutan hubungan gue dengan pak Abiyan dan gue pun menceritakan semuanya termasuk masalah Pak Abiyan kurang memperhatikan Allea. "Menurut gue ya ... Bisa benar bisa juga salah, mungkin Allea bukan anak kandung Pak Abiyan?" Gue langsung menjentik kening Uwi yang suka seenaknya. Untung pak Abiyan nggak dengar ucapannya barusan, bisa hancur pernikahan gue hari ini. "Sembarangan elo!" Uwi membuat gerakan tutup mulut dengan tangannya lalu membantu gue memasangkan hiasan di rambut yang tadi belum sempat dipasangkan MUA. Gue kembali memikirkan ucapan Uwi barusan, mungkinkah Allea bukan anak kandung pak Abiyan? Kenapa pak Abiyan seakan tidak ingin Allea dekat dengannya? "Acara mau dimulai," suara nyokap membuyarkan lamunan gue tentang Allea. Uwi membantu gue dan jantung ini terasa semakin berdetak dengan cepat, gue lihat rumah sudah penuh dengan tamu-tamu yang kebanyakan keluarga besar gue dan juga Pak Abiyan. Pak Abiyan sudah duduk di depan penghulu, gue mulai mencari Allea dan melihat dia sedang duduk tidak jauh dari mami Pak Abiyan. Gue menyunggingkan senyum ke arahnya tapi Allea balas dengan membuang mukanya. Raut wajahnya seperti sedang sedih dan kesal, untungnya Allea duduk bersama sepupu-sepupu gue seusia dirinya. "Baiklah acara pernikahan ini akan segera dimulai," pak penghulu mulai memberikan ceramah tentang apa itu pernikahan, tugas istri dan juga tugas suami. Gue pun mendengat dengan seksama sampai akhirnya waktu untuk akad nikah dilaksanakan, gue semakin gugup dan untungnya pak Abiyan dengan lantang mengucapkan akad tanpa perlu diulang. "Sahhhhhh," ujar saksi yang ada. Nyokap beberapa kali mengucap kata syukur dan gue pun baru bisa bernapas dengan tenang. "Diam!" Teriakan Allea membuat gue dan pak Abiyan melihat ke arah Allea yang sedang menatap salah satu sepupu gue dengan tatapan kesal. "Lea kenapa pak?" Tanya gue. "Biarin aja," ujar pak Abiyan. Gue pun diam tapi mata gue masih melihat ke arah Allea. Entah apa yang mereka bicarakan tapi tidak lama gue lihat Allea mendorong sepupu gue itu hingga terjatuh, sepupu gue langsung nangis dan semua mata langsung melihat ke arah Allea. Allea menatap pak Abiyan seakan ingin perlindungan tapi pak Abiyan bersikap acuh dan itu membuat Allea meninggalkan ruang keluarga menuju area luar. "Pak ... Allea," ujar gue. "Kamu nggak lihat bagaimana dia mendorong anak itu? Bikin malu saja!" Gue lalu berdiri melihat pak Abiyan dengan kesal, "Andai aku ibu kandungnya mungkin aku nggak akan milih bapak sebagai ayah kandungnya," ujar gue dengan kesal. Semua mata kini berbalik melihat ke arah gue dan pak Abiyan, gue lalu meninggalkan tempat akad lalu mencari Allea yang sedang duduk di ujung taman sambil melihat kolam ikan. "Lea," panggil gue pelan. "Pergi! Lea lagi pengen sendirian!" Gue peluk Allea dari belakang dan mencium puncak kepalanya. "Mulai sekarang mami akan menjaga kamu seperti anak kandung mami sendiri, jangan sedih lagi ya." Allea memutar tubuhnya lalu Allea memeluk gue dengan erat. "Kenapa ... Kenapa papi tidak membelaku?" ujarnya disela isak tangisnya. Gue pun semakin memeluknya dengan erat. Allea yang malang. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN