Chapter 03

1382 Kata
Jason baru tiba di mansion-nya yang besar dan mewah. Suara derap langkah kakinya terdengar menggema, beberapa pelayan pun tampak menyambut kedatangannya. “Bibi Marie, siapkan air hangat. Aku ingin berendam,” pinta Jason pada kepala pelayan di mansion-nya. “Baik, Tuan.” Pelayan yang bernama Marie itu melenggang naik ke atas dan menyiapkan air hangat yang diinginkan Tuannya. Jason tidak langsung masuk ke dalam kamarnya, melainkan ia masuk ke ruang kerjanya. Jason duduk di kursi kebesarannya, tangannya bergerak membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah foto. “Akhirnya kita bertemu, sweetheart,” gumam Jason. Tangannya mengelus wajah sosok perempuan di foto yang tak lain adalah Leah Emily Pearson. Tok! tok! tok! Jason menaruh kembali foto itu ke dalam laci dan berseru. “Masuk!” Sekretaris sekaligus tangan tangan Jason masuk dan langsung berdiri tepat di depan Jason. Namanya, Logan Warner. “Ada apa?” tanya Jason to the point. “Saya telah menemukan keberadaan Tuan Hamilton, Tuan. Kini ia berada di ruang hitam,” lapor Logan. Ruang hitam yang dimaksud adalah ruang bawah tanah di mansion ini. Ruang yang hanya diketahuinya dan para pelayan setianya. Senyum sinis terbit di wajah Jason. Hamilton, pria tua yang berusaha mencuri uang perusahaannya. Kejahatannya ia ketahui saat mata-mata di kantornya memergoki Hamilton. Dua hari, pria tua itu sempat melarikan diri. Namun sekarang sudah ditemukan. “Aku akan mengeksekusinya nanti malam, sekarang keluarlah.” Logan mengangguk, ia membungkukkan badannya sejenak kemudian mengayunkan kakinya keluar dari ruangan kerja Tuannya. Tak lama setelah kepergian Logan, Marie muncul. "Tuan, air hangat sudah siap." "Baik, terima kasih Marie. Setelah mandi aku ingin makan pasta," ucap Jason. Marie mengangguk patuh. "Baik, Tuan. Akan saya buatkan pasta untuk malam ini." Jason berdiri dan berjalan keluar lebih dulu dan masuk ke dalam kamarnya. Jason langsung membuka seluruh pakaiannya dan berendam di bath tub yang membuat tubuh dan pikirannya rileks sejenak. Mata Jason terpejam rileks, kini bayangan pertemuannya dengan Leah kembali memenuhi pikirannya. Senyum kecil terbit di bibir Jason, dalam hati ia berjanji, akan melindungi Leah dan menjadikan wanita itu miliknya tentu saja. Melihat bagaimana Leah sangat ceroboh dan menumpahkan kopi ke bajunya, semakin membuat keinginan Jason memiliki Leah semakin kuat. Selama dua puluh menit ia berendam sambil memikirkan cara mendekati Leah. Jason selesai, ia segera keluar dan memakai bajunya. Selama beberapa detik, Jason terdiam di depan kaca yang memperlihatkan pantulan dirinya. "Kau sangat tampan. Dan si tampan ini pasti akan memiliki Leah Emily Pearson secepatnya," gumam Jason dengan percaya diri. *** Leah melangkahkan kakinya menuju kamar saudaranya yang telah lama tak dihuni, sebab saat umur tujuh tahun Saudara kembarnya telah meninggal karena suatu insiden yang sampai sekarang tidak Leah ingat. Padahal saat insiden, ia bersama Leon, entah kenapa ia bisa selamat dan kembarannya tidak. Leah tidak ingat apapun. Tangan Leah meraih figura foto dirinya dan Leon saat berumur enam tahun, foto satu tahun sebelum Leon pergi. “Aku merindukanmu, Leo.” “Jika saja kamu masih di sini, aku sangat yakin banyak wanita yang menginginkan dirimu, karena kamu sangat tampan,” kekeh Leah. Jempolnya mengusap wajah Leon yang sudah tujuh belas tahun tidak ia lihat secara nyata. “Seharusnya kamu yang mengurus perusahaan keluarga kita, dan aku menjadi chef seperti yang aku inginkan. Kamu yang duluan lahir dari pada aku dan kamu yang harusnya menjadi pewaris,” keluh Leah. Setelah kehilangan sosok Leon, Papa dan Mamanya semakin keras mendidik Leah agar menjadi wanita yang kuat. Leah didik keras agar bisa memimpin perusahaan keluarganya yang sudah sangat besar hingga sekarang. Padahal, cita-cita Leah menjadi seorang chef, bukan pemimpin perusahaan. “Leo, tadi aku bertemu dengan seorang laki-laki di kantor Papa. Namanya Jason Schulman, dia sedikit terlihat menyeramkan. Auranya begitu mendominasi, tapi kata Papa dia orang yang baik.” Leah memulai sesi curhatnya pada Leon walaupun tidak ada respon karena ia hanya seorang diri di kamar itu. “Leo, kamu tau? Papa sudah memintaku untuk segera menikah, entahlah, aku merasa ini terlalu cepat. Bukankah begitu?” ucap Leah lagi. “Padahal selama dua puluh empat tahun hidup aku sangat jarang berinteraksi dengan lelaki, bagaimana bisa aku menikah?” Tiba-tiba Leah merasa kesal akan dirinya sendiri yang tak bisa bergaul dengan banyak orang. “Andai kamu di sini, Leo. Mungkin kamu sudah bisa mengenalkan beberapa teman pria mu pada adikmu ini.” Lalu Leah terkekeh pelan karena ucapannya sendiri. “Bahagia lah di sana, Leo. Aku mendoakanmu dari sini, besok aku akan mengunjungi makam mu dan berbicara lagi,” ujar Leah lalu meletakkan kembali figura yang menampilkan foto mereka berdua di nakas dan berdiri. Leah melangkahkan kakinya keluar dari kamar Leon dan menemui kedua orangtuanya yang sedang bersantai di ruang keluarga. *** Tap! Tap! Tap! Derap langkah Jason menggema di seluruh penjuru lorong bawah tanah di mansion-nya. Di belakangnya ada Logan yang mengekori dirinya. Lorong bawah tanah itu sangat panjang, membutuhkan waktu lima menit untuk sampai ke ruang hitam. Setibanya di ruang hitam, mata Jason sudah di suguhi pemandangan Hamilton dengan kedua tangan di gantung, mulut pria tua itu di bekap menggunakan plester. “Well, akhirnya kita bertemu lagi, Hamilton,” desis Jason tajam. Mata elangnya menajam saat menatap manik Hamilton yang terlihat menantang dirinya. “Buka plesternya, sepertinya ia ingin menyampaikan pesan terakhirnya padaku,” ucap Jason, memberi perintah pada Logan. Logan mengangguk patuh, ia membuka dengan kasar plester yang ada dimulut Hamilton sehingga pria itu meringis pelan. “b******n kau, Jason!” maki Hamilton dengan berani. Plakk! Logan menampar pipi Hamilton hingga kepalanya tertoleh ke samping karena saking kuatnya tamparan yang Logan berikan. Jason berdecak, mendadak ia merasa kesal karena Logan menampar Hamilton. “Jangan menamparnya, Logan. Manusia seperti dia, pipinya harus dilukis, bukan ditampar.” “Maaf, Tuan.” Logan menunduk dan memundurkan langkahnya saat Jason mendekati tubuh Hamilton. “Kau psikopat gila!” teriak Hamilton, lalu ia meludah ke arah samping Jason. Mata Jason menggelap, ia mencekik leher Hamilton dengan geram. Membuat napas Hamilton terputus-putus. Senyum miring terbit di bibir Jason. “Katanya kau memiliki seorang putri,” gumamnya dengan pelan, namun masih bisa di dengar jelas oleh Hamilton. “J-jangan li-libatkan p-putriku!” seru Hamilton putus-putus, ia menggerak-gerakkan kepalanya agar cekikan di lehernya melonggar. Bugh! Bugh! Jason melepaskan cekikan di leher Hamilton dan beralih memukul perut lelaki tua itu beberapa kali. Posisi Hamilton yang tergantung semakin membuat Jason merasa mudah menyiksa korbannya. Ia bisa melepaskan tinjunya ke tubuh Hamilton, menganggap tubuh Hamilton samsak tinju. “Bukankah keren, Hamilton? Menjadikan tubuhmu sebagai samsak tinju di ruangan gym ku nanti?” tanya Jason dengan menyeringai. “Bunuh saja aku langsung, uhuk!” sahut Hamilton kemudian terbatuk-batuk. Jason menggeleng-geleng pertanda tidak setuju. “Tidak seru jika kau langsung dibunuh.” “Ambilkan pisau kesayanganku, Logan,” titah Jason. Melirik Logan sekilas, lalu kembali menatap sinis Hamilton. Logan langsung berjalan ke sudut ruangan, di mana ada satu buah lemari panjang yang berisi kumpulan pisau kebanggaan Jason. “Ini Tuan.” Logan kembali dan menyerahkan sebuah pisau berukuran sedang. Pisau itu sangat tajam, terbukti dengan melihat kilatan di pisaunya. Jason mengambil pisau itu dan mengarahkannya ke leher Hamilton. Jason menggoreskan pisau itu membuat leher Hamilton tergores lalu mengeluarkan darah. “Hm, aroma darah, aku menyukainya,” gumam Jason kemudian memejamkan matanya sejenak. Menikmati sensasi kesukaannya. “Katanya putrimu sudah berumur tujuh belas tahun, bagaimana jika aku membunuhnya juga? Aku sangat senang menyiksa korban perempuan, jeritannya seperti alunan musik yang indah,” ujar Jason dengan kejam. Hamilton menggeleng cepat, “Jangan sentuh putriku.” Wajah lelaki yang sudah tidak muda lagi itu kini memelas menatap Jason. Jason seakan tuli, ia menggoreskan ujung pisau ke pipi kiri Hamilton, menciptakan teriakan keras yang menggema di seluruh ruangan hitam. “Hahaha, seharusnya dari tadi kau menjerit.” Jason menjauhkan pisaunya itu dan membuangnya ke lantai. Darah semakin deras keluar dari pipi Hamilton. Hanya erangan dan teriakan kesakitan yang dapat Hamilton serukan. Bugh! Jason kembali meninju perut Hamilton, sehingga pria itu memuntahkan cairan merah yang tak lain adalah darah. Jason terus melakukan aksi kejam yang membuat dirinya puas. Terakhir, Jason meninju perut Hamilton lagi hingga lelaki itu kembali muntah dan tidak sadarkan diri. Jason mundur dan mencampakkan pisaunya begitu saja kemudian menatap Logan. “Bereskan ini dan cari keberadaan putri Hamilton.” Logan mengangguk patuh, “Baik, Tuan.” Jason berjalan keluar dari ruangan hitam dengan langkah cepat. Ia harus mandi lagi dan itu sedikit menyebalkan untuknya, menyebalkan harus mandi dua kali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN