Bab 1: Pasutri Canggung

1111 Kata
Tidak seperti pasangan yang baru menikah pada umumnya. Kedua insan yang baru saja meresmikan hidup baru mereka beberapa jam yang lalu itu tampak terlihat canggung satu sama lain. Selama perjalanan dengan mobil yang dikendarai oleh sopir pribadi itu keduanya lebih memilih sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga ketika mobil sedan berwarna hitam itu memasuki pekarangan rumah dan berhenti di depan pintu besar kayu jati. Sang suami menoleh. “Kita sudah sampai,” ujarnya kemudian. Sekaligus menjadi kalimat pertama yang memecahkan keheningan diantara mereka berdua. “Kita tinggal disini?” “Benar. Bukankah kita sudah menikah?” tanya lagi. Nada suaranya masih terlalu dingin untuk seorang pria yang kini berstatus sebagai suaminya. “Bukan, maksudnya … bukankah kita harus ke rumah orang tua dulu?” Pria itu menggelengkan kepalanya. “Itu bisa nanti.” Luna hanya mampu mengerjap, mencoba memahami sikap datar pria itu. Mengingat mereka menikah bukan karena keinginan sendiri. Pria itu bernama Yudha Laksmana Iskandar, seorang pria asing yang secara terstruktur dikenalkan melalui ibunya yang ternyata sudah saling mengenal dengan ibu dari pria itu. Yudha membuka pintu untuk dirinya sendiri, sedangkan seorang pria berdasi dan mengenakan jas membukakan pintu untuknya. Luna menatap pintu besar yang menjulang. Sesaat ia menarik napasnya dalam. ‘Ini kah rumah yang akan kutinggali sebagai istri?’ katanya dalam hati, perlahan ia melirik ke arah suaminya yang berdiri di sampingnya. ‘Bersama seorang dia yang kini jadi suamiku.” Sudut bibirnya terasa berkedut. Inginnya ia menarik garis lengkung ke atas tapi nyatanya ia malah tersenyum hambar. Yudha menarik tangan Luna lembut, menaruhnya di atas lengan dan melangkah pelan memasuki rumah dan disambut oleh seorang wanita paruh baya yang berpakaian rapi mengenakan seragam berwarna hitam dan putih. “Koper dan beberapa barangmu sudah ada di kamar,” ujar Yudha pelan. Luna mendesah pelan. “Tentu saja. Meski aku yakin belum benar-benar packing pakaianku.” “Kita bisa mengambilnya nanti atau kamu mau kita bisa beli yang baru.” Sontak saja Luna menggeleng. “Yang benar-benar aku butuhkan adalah laptop dan beberapa berkas terkait pekerjaanku.” “Oh itu. Sepertinya sudah ada di atas. Aku menyiapkan ruangan untukmu.” “Kamu menyiapkan apa?” “Menyiapkan ruangan kerja untukmu. Bukan technically seperti ruangan, hanya sebatas working’s corner.” Luna mengatupkan bibirnya. Hanya bisa menatap pria yang dengan pandangan berkaca-kaca. “Ada apa? Apakah ada yang salah?” “Bukan. Hanya sedikit terharu.” Kini giliran Yudha yang terdiam. Menelengkan kepalanya. “Dengar, Luna. Aku tidak pernah melarangmu untuk melakukan apapun yang kamu sukai. Aku sendiri bisa membiayai hidupmu tanpa kau harus bekerja, tapi kalau bekerja membuatmu senang, maka lakukanlah.” “Makasih, Mas.” Luna berusaha mengulas senyumnya. Mereka kita melanjutkan melangkah menuju kamar di lantai atas. Dimana kamar mereka berada. “Ini kamar kita.” Pintu terbuka dan langsung memperlihatkan sebuah kamar berukuran besar masih dengan konsep yang senada dengan rumah namun kali ini terdapat sentuhan maskulin. Satu-satunya yang berbeda dan tampak mencolok adalah ranjangnya yang sudah diberikan taburan kelopak bunga mawar lengkap dengan hiasan handuk yang berbentuk kedua angsa saling bertatapan. “Hhhh … ini pasti ulah Mama.” “Benar. Siapa lagi yang tampak excited dengan ini semua.” Luna manggut-manggut setuju. “Kita menolak untuk langsung bulan madu, tapi malah dibuatkan seperti ini,” ujar Yudha pelan. Di sampingnya, Luna bisa merasakan bahwa wajahnya sudah mulai memerah. Hanya dengan mendengar Yudha mengatakan sesuatu tentang bulan madu. Keduanya terdiam. Kecanggungan menguar ke udara. “Lebih baik kamu mandi dulu. Kamar mandinya ada di sana. Di sebelahnya ada walk it closet, ada handuk baru yang bisa kamu gunakan.” Yudha kembali membuka suaranya yang kali ini terdengar parau. “Tapi aku mungkin perlu waktu untuk membersihkan wajahku dulu.” “Oh, benar. Kamu masih full make-up.” Luna mengulas senyumnya. Sesudah perhelatan resepsi, ia hanya sempat mengganti gaun pengantin yang panjang itu dengan dress putih sebatas lutut dan mengurai rambutnya. Belum sempat menghapus wajahnya dari riasannya. “Aku akan menunggu di ruang kerjaku. Take your time.” Tak perlu menunggu respon dari Luna, pria itu langsung membalikkan badan seraya tangannya berusaha membuka kaitan dasi yang melilit di kerah lehernya. Meninggalkan Luna sendirian di tempat yang asing. *** Setelah membasahi tubuhnya dengan pancuran air hangat, Luna keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk yang tampak cukup kebesaran melilit di tubuhnya. “Dia belum balik ke kamar,” gumam Luna pelan dan menganggap bahwa itu adalah sebuah kesempatan bagus untuknya berganti pakaian. Tampak sebuah koper miliknya sudah diletakkan di sudut kamar. Dengan sigap, Luna mengambil koper dan membukanya. Tangannya mengubek tumpukan pakaian namun tak membuahkan hasil. “Apa-apaan ini? Kemana semua piyamaku?” Luna menarik sebuah gaun tidur minim bahan dan semi transparan itu dengan sorot mata ngeri. Satu hal yang pasti, bend aitu bukanlah miliknya. Hanya ada satu nama yang terlintas di benaknya saat ini. “Mama,” geramnya tertahan. Wajahnya tertunduk menahan malu. Ternyata usaha ibunya bukan hanya berhenti sampai mendekorasi kamar pengantin ini saja tapi juga mengganti semua piyama miliknya dengan gaun tidur kurang bahan seperti yang ada di hadapannya. Namun, pada akhirnya Luna tak punya pilihan. Ia tetap mengenakan gaun itu yang untungnya terdapat kimono panjang yang bisa membungkus tubuhnya dengan masih bersungut-sungut. Jiwa dan raganya tampak sudah kelelahan menghadapi ibunya dengan tekadnya yang kuat. Detik berikutnya, ketukan pintu menginterupsinya. “Sudah mandinya?” tanya pria itu dengan kepala yang menyembul dari balik pintu. Luna mengangguk. Ia berdiri dengan sedikit tidak nyaman yang sialnya pria itu menyadarinya. “Gaun itu ….” “Ini bukan punyaku,” jawab Luna cepat. Semburat merah sudah muncul dari wajahnya. “Aku menemukannya di dalam koper, dan tak punya pilihan lain.” Yudha terdiam. Mulutnya seolah terkunci rapat dan tubuhnya terpaku. Namun, sesuatu di dalam dirinya tampak bergejolak. “Sudah. Kamu habis dari mana?” tanyanya setelah sadar bahwa Yudha sudah berganti pakaian. “Habis lari sebentar.” “Malam-malam begini?” “Biasanya pagi, tapi karena pagi ini tidak bisa karena kita ada kegiatan. Jadi aku menggeser jadwalku menjadi malam,” tuturnya seraya berjalan menuju walk in closet. ‘Apa tadi katanya? Kegiatan? Kita melangsungkan pernikahan. Benar, acara pernikahan juga bisa disebut sebagai kegiatan juga,’ batin Luna bermonolog. Wajar saja bila pernikahan yang telah dilangsungkan hari ini tidak atau belum meninggalkan kesan se-sakral itu di hati mereka berdua. Khususnya pada Yudha. Suaminya. Kencan Buta yang diatur saat itu hanyalah sebuah alasan untuk mempertemukan mereka berdua, yang pada kenyataannya persiapan pernikahan sudah disiapkan secara diam-diam jauh hari sebelum mereka berkenalan. Keduanya tentu tak bisa menolak. Namun, satu hal yang pasti. Luna pernah bertemu dengan pria itu sebelum pernikahan yang membuat perasaannya berdebar. Yang sayangnya, Yudha tak mengingat malam dimana mereka bertemu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN