"Sudah saya siapkan, mas." ujar Diara pada Nick yang duduk di ruang tengah setelah ia menyiapkan makanan yang sudah Nick pesan dari luar.
Nick bangkit dari posisinya di sofa langsung berjalan menuju ruang makan, "ayo kita makan."
Diara merasa agak segan karena harus makan makanan pesanan Nick yang terlihat tidak murah.
"Mas aja, saya lihatin baby Ghi," tolak Diara secara tidak langsung bersiap kembali ke kamar.
"Lihatin anak itu tidur? Apa gunanya? Ayo cepat makan, saya tidak mau kamu semakin sakit dan malah saya yang urus anak itu," ujar Nick langsung berhenti mendengar jawaban Diara.
"Eh tapi..."
"Cepatlaaah," Nick berbalik ke arah Diara dan menarik tangan gadis itu menuju meja makan yang membuat jantung Diara berdebar-debar bukan main.
Kini posisinya mereka sudah duduk berhadapan di meja makan, Nick sudah mulai mengambil makanan sedangkan Diara masih sibuk menenangkan dirinya yang gugup. Padahal Nick hanya memegang tangannya, tapi efeknya entah kenapa menjadi seperti ini.
"Apa-apaan sih lo Diara? Ngapain lo deg-degan? Dia kan tuan lo!? Tahu diri lah sedikit!" Diara memperingatkan dirinya agar sadar dan mulai mengambil makanan.
"Apa kamu sudah merasa lebih baik? Saya tahu tadi kamu cuma tidur sebentar."
Diara hampir tersedak makanan yang ia makan karena tidak menyangka kalau Nick yang sering membiarkannya bicara sendiri, kini dialah yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Diara pikir, ini akan menjadi makan siang yang akan sangat canggung dan membosankan.
"Ah itu, saya udah lebih baik kok mas. Sepertinya saya cuma butuh tidur sebentar. Semalam itu saya cuma tidur beberapa menit, jadinya pusing pusing sedikit, hehe." Diara menutupi kalimatnya dengan kekehan kecil.
"Makasih ya sudah bantu saya semalam," ujar Nick namun agak canggung, terlihat dari sorot mata nya yang tidak nyaman saat bicara.
Diara tersenyum menyadari Nick bukanlah orang yang terbiasa dengan basa basi seperti ini, "biasa aja mas, emang ini tugas utama yang Pak Adrian berikan pada saya, memastikan putra satu-satunya baik-baik saja."
"Saya masih tidak mengerti kenapa papa tiba-tiba mempekerjakan seseorang untuk saya, padahal tidak ada terjadi sesuatu sebelumnya," Nick diam sebentar memikirkan dan kembali melanjutkan aktivitas makannya."
Diara menarik ujung bibirnya, ia selalu merasa bersalah jika Nick sudah bicara seperti ini walaupun ini bukanlah salahnya, ia hanya menjalankan tugas dari Pak Adrian, "apa memang mas tidak sesuka itu pada saya?"
"Bukan tentang kamu, tapi saya memang tidak ingin ada orang lain saja. Saya sudah terbiasa sendiri, jadi kehadiran orang asing agak membuat saya tidak nyaman." Nick menjelaskan.
"Mungkin karena Pak Adrian tahu, akan ada titik dimana mas ga bisa sendiri, tapi mas memilih untuk diam saja."
"Maksud kamu seperti kondisi semalam?" Nick menegakkan kepalanya menatap Diara dengan satu alis terangkat.
Diara langsung menggeleng, "bukan itu maksudnya, tapi mungkin itu salah satunya. Toh saya sendiri juga tidak tahu apa yang Pak Adrian pikirkan, mas saja yang anaknya masih bingung, apalagi orang asing seperti saya."
Nick mengangguk kecil, "seperti takdir, kamu datang disaat anak itu juga hadir."
Diara memperhatikan Nick yang kini hanya memainkan makanan yang ada di piringnya dengan sendok, "apa mas akan lanjut mencari ibu kandung dari baby Ghiana?"
"Entahlah, saya sudah tidak tahu akan kemana dan harus apa."
Diara memegang sendok ditangannya dengan lebih kuat, mulutnya sudah gatal ingin menanyakan sesuatu tapi ia takut, "mas nyari ibu dari baby Ghiana, memang untuk mengembalikan baby Ghi saja, atau maksud lain?"
"Maksud kamu?"
"Melihat gimana gigihnya mas mencari wanita itu bahkan sampai sakit, itu seperti mas sendiri yang ingin sekali bertemu dengannya."
Nick terdiam karena pertanyaan Diara, bahkan kini ia juga bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia begitu ingin menemui Tania? Dibanding ingin memberikan Ghiana kembali pada Tania, pikirannya lebih dipenuhi dengan pertanyaan apakah Tania baik-baik saja.
Melihat Nick yang hanya diam membuat Diara tersadar kalau ia sudah bertanya terlalu jauh, padahal Nick sudah wanti-wanti sejak awal kalau dirinya tidak boleh mengusik kehidupan pribadinya.
"Maaf mas..."
"Saya bahkan tidak paham apa mau saya, saat ini saya merasa keinginan bertemu langsung dengannya lebih besar."
Diara kaget karena Nick yang selama ini seolah begitu tertutup akan segalanya mau bicara seperti ini, "apa mas mencintai ibu dari baby Ghi?"
Nick kembali hening dengan sorot mata tajamnya yang menjadi lesu.
"Maaf mas, saya bertanya terlalu banyak," Diara kembali minta maaf atas rasa ingin tahunya yang terlalu besar pada Nick.
"Itulah kenapa saya merasa lebih baik jika sendiri, berhubungan dengan orang lain itu begitu rumit."
Diara hanya diam mendengar jawaban Nick.
"Kita belum pernah bicarakan tentang hari libur kamu, apa kamu menginginkan hari tertentu?" Nick tiba-tiba membahas hal baru dengan menatap Diara dengan wajah datarnya seperti biasa.
"Hari libur?" Diara berpikir sejenak, "saya pikir tidak mas."
"Tidak? Maksudnya kamu tidak butuh waktu bebas?"
Diara terkekeh kecil, "bekerja pada mas seperti ini rasanya hidup saya sudah begitu bebas, apalagi semenjak ada baby Ghi."
"Maksud kamu?"
"Selama ini saya menjalani hidup seperti terikat, hidup saya sekarang sudah begitu bebas. Saya hanya melakukan sedikit pekerjaan untuk mas, tapi bayaran yang diberikan Pak Adrian tidak main-main dan tanpa tekanan. Saya tidak mengerti ada orang sebaik Pak Adrian. Dan saya juga berterima kasih pada mas yang udah ijinkan saya tetap disini." jelas Diara panjang lebar dan merasa terharu akan hidupnya sendiri.
"Dilihat bagaimana kamu mensyukuri hidup kamu yang sekarang, sepertinya kamu benar-benar telah melalui masa-masa yang sangat sulit." Nick menyimpulkan.
"Setiap orang tentu punya masalah hidup masing-masing, tapi saya pribadi merasa masalah besar saya sudah berlalu. Hidup seperti ini saja sudah terasa begitu membahagiakan."
Nick sempat terpaku melihat senyum di wajah Diara yang terlihat begitu nyaman dan menunjukkan kebahagiaan yang sederhana sehingga menimbulkan aura yang sangat hangat dan manis.
"Saya harus belajar bersyukur dari kamu." ucap Nick singkat dan menghabiskan makanannya yang tinggal setengah.
Diara tersenyum lebar, "ada banyak hal yang harus mas syukuri, seperti hidup yang mapan, karier yang bagus, orang tua yang sangat menyayangi mas, fisik yang bagus, bahkan saya tidak tahu apa yang patut disedihkan dari hidup mas," Diara terkekeh bercanda pada Nick, "kalau saya jadi mas, mungkin saya merasa bahagia sekali."
Nick ikut tertawa mendengar pujian Diara yang begitu berlebihan pada dirinya, "ada banyak hal buruk yang akan kamu sesali jika jadi saya."
"Benarkah? Saya rasa semuanya akan hilang saat saya bercermin di pagi hari." balas Diara santai masih tertawa.
Nick hanya geleng-geleng kepala, "memangnya sekarang saat kamu bercermin di pagi hari, apa yang kamu pikirkan?"
"Saya?" Diara diam sejenak untuk berpikir lalu tersenyum, "kadang saya juga kehilangan pikiran buruk saat melihat wajah saya sendiri, bukankah wajah saya cukup cantik? Setidaknya semua bagian wajah saya normal, tidak ada yang kurang, hehe."
"Saya tidak yakin untuk memuji atau menghujat disaat seperti ini."