Diara menatap panci yang sedang ada diatas kompor dengan dahi mengerut seolah tengah berpikir keras. "Aku harus gimana ngadepin Mas Nick? Sepertinya dia benar-benar nggak butuh aku dan berniat mengusirku."
Diara menggigit bibirnya sekilas lagi dengan mata berkedi-kedip, "lagian dengan semua fasilitas yang Pak Adrian berikan, memang ga sebanding dengan apa yang harus aku lakukan. Seharian ini cuma rebahan. Tapi beban mentalnya lumayan siih."
Wanita dengan rambut disanggul tersebut menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan bergerak untuk beres-beres karena masakannya sudah matang dan selesai. Makanan pertama yang akan masuk ke mulut tuannya, benar-benar dimasak dengan sepenuh jiwa dan kemampuan yang Diara punya.
"Okey, semua sudah selesai." Diara tegak pinggang menatap puas hidangan di meja makan sambil tersenyum.
"Bahkan aku tidak tahu jam berapa dia akan pulang. Sungguh jahat sekali membiarkan aku bekerja tanpa instruksi apapun. Tapi wajar sih, kan dia memang tidak ingin aku bekerja dengannya." Diara menatap jam dinding dengan wajah lesu.
"Bagaimanapun aku harus bertahan dan buat Mas Nick membiarkan aku bekerja untuknya. Aku harus bertahan demi kehidupanku sendiri." Diara bertekad sambil duduk di depan meja makan. Otaknya sekarang sedang berpikir keras memikirkan cara untuk berhadapan dengan Nick nanti.
"Ah sial, aku tidak bisa memikirkan cara apapun, ayolah Di, pikirkaaaan!" Diara memaksa otaknya dan berusaha fokus, namun ia langsung tersadar karena mendengar pintu dibuka.
Jantung Diara sudah berdegup luar biasa, dengan cepat ia berlari menemui Nick yang memang sudah pulang.
"Malam mas, saya bawakan tas nya?" Diara coba menyambut dengan sehangat mungkin dengan seyum lebar.
Seolah tidak merasa ada kehadiran orang, Nick berlalu begitu saja masuk ke kamarnya.
"Aku masih kelihatan kan? Ada gitu ya manusia se cuek itu?" Diara kebingungan sambil memastikan apa dirinya masih berbentuk nyata dan bisa dilihat orang lain.
Diara masih berusaha sabar, coba berpikir kalau Nick mungkin sangat lelah pulang dari bekerja. Memberanikan diri, Diara menuju pintu kamar Nick, setelah menarik napas dalam Diara mengetuk pintu sebentar,
"Saya sudah siapkan makan malam, kalau mas udah selesai dengan semua urusannya, mas bisa langsung makan."
Tidak ada jawaban yang diberikan, walaupun Diara tahu kalau Nick bisa mendengarnya, Diara memaksakan sebuah senyuman tanpa beban, stock kesabarannya masih sangat banyak.
"Dingin banget jadi cowok, untung ganteng!" Diara sempat mendumel sebelum ia berjalan ke meja makan untuk menunggu lagi sampai Nick keluar.
Diara mengetuk ngetuk meja dengan jarinya karena sudah cukup lama dirinya diam sendirian menunggu tanpa ada kejelasan. "Nggak bisa lagi! Aku harus suruh dia keluar untuk makan, karena hanya ini waktu untuk memastikan aku bisa lanjut bekerja atau tidak!" Diara hilang kesabaran dan langsung berjalan menuju kamar Nick dan tanpa ragu mengetuk pintu.
"Mas?? Mas udah selesai bersih-bersih dan istirahatnya? Makanan nya bisa keburu dingin dan ga enak lagi, ga baik juga makan terlalu malam!" Diara bicara sambil menahan emosi agar tidak terdengar marah.
Walau begitu tak juga ada jawaban dari dalam, sungguh rasanya selama berada di apartemen ini Diara seperti orang gila yang hanya bisa bicara sendiri.
"Mas?? Setidaknya jawab saya, mas baik-baik aja kan?" Diara bertanya lagi karena mendadak ia malah khawatir karena Nick tidak bersuara. Mungkin saja terjadi sesuatu bukan?
"Mas?? Saya jadi khawatir karena mas diam aja, apa perlu saya masuk? Saya punya kunci kamar mas." gadis itu makin mengetuk dengan kencang.
Diara tampak khawatir dan merogoh beberapa kunci yang ada di sakunya, "karena saya khawatir, saya mas..."
Ucapan Diara terhenti karena pintu langsung terbuka, "kenapa kamu berisik sekali?" Nick muncul menatap tidak suka.
Diara langsung mundur dan tertunduk, "ss, soalnya saya harus pastikan mas baik-baik saja. Sedari tadi Mas Nick hanya diam, itu bikin saya takut."
Nick menghembuskan napas keras dan menutup rapat lagi kamarnya dan berlalu begitu saja untuk pergi ke ruang makan.
Diara tersenyum diam-diam karena akhirnya ia bisa menemukan momen untuk bicara pada Nick.
"Eum.., itu makan malam yang udah saya bikinkan mas." Diara inisiatif bicara karena Nick sudah duduk di depan hidangan namun hanya diam memperhatikan hidangan yang tersedia.
"Kamu ngapain?" tanya Nick melihat Diara dengan wajah datar.
"Heh?" Diara bertanya bingung tidak paham maksud tuannya ini.
"Saya suruh bikin makan malam untuk saya, bukan untuk orang segedung apartemen ini."
Mulut Diara ternganga karena tidak menyangka Nick akan merespon seperti ini.
"Maaf mas, saya hanya bingung mau masak apa karena tidak tahu Mas Nick maunya apa. Jadi saya bikin saja beberapa kemungkinan makanan apa yang mas suka." jelas Diara menggaruk tengkuknya karena malu.
"Benar-benar merepotkan." Nick menghela napas namun bergerak mengambil piring untuk mulai memakan sesuatu.
Diara menahan napas tanpa sadar karena ia sangat gugup hasil tangannya akan dicicipi oleh Nick yang entah punya selera seperti apa, tapi yang bisa Diara pastikan, orang seperti Nick tidak mungkin punya selera rendah.
"Jangan tatap saya seperti itu." Nick bicara lambat tanpa melirik Diara sedikitpun.
Diara terkejut karena Nick menyadari kalau sejak tadi dia memperhatikan Nick dan mata melotot, "ouh maaf mas."
"Bantu saya habiskan ini, kamu pikir saya bisa memakan semuanya?"
"Apa saya diajak makan mas?" Diara memastikan lagi.
"Bisa tidak kamu tidak banyak tanya?" Nick menatap Diara dingin yang membuat bulu kuduk wanita itu berdiri.
"Tahan Di, santai... dia juga manusia, ga makan orang. Ga perlu takut..." Diara bicara dalam hati pada dirinya sendiri demi mengusir rasa takut dan gugupnya. "Baik mas, terima kasih." Diara menarik kursi secara hati-hati dan mulai ikut mengambil makanan untuk dirinya tepat di depan Nick.
Sebelum menyuap makanan untuk pertama kali, Diara diam-diam menunggu Nick makan terlebih dahulu dan melihat ekspresinya. Kening Diara mengerut karena Nick tak menunjukkan ekspresi apapun saat ia memasukkan makanan ke dalam mulut.
"Saya benar-benar risih saat ini karena kamu terus mempelototi saya. Apa sebaiknya saya pindah?" tiba-tiba Nick menatap Diara yang membuat gadis itu kaget bukan main bahkan hampir jatuh dari kursi yang ia duduki.
"Em,, maaf maaf mas, saya hanya ingin tahu apa mas bisa makan apa yang saya buat."
"Kamu kalau seperti ini terus, saya benar-benar akan menyuruh papa membawamu pergi lagi dari sini."
"Mas, saya mohon biarkan saya bekerja disini.." Diara langsung memohon tanpa basa-basi dengan wajah memelas.
"Tapi saya tidak butuh siapapun disini."
"Tapi setidaknya saya bisa bantu hal sederhana. Saya membersihkan apartemen, masak, mencuci piring dan apapun itu sehingga mas nggak repot. Mas bisa atur pekerjaan dan jadwal saya sesuka mas, saya akan turuti. Mas bisa cari waktu dimana mas nggak ketemu sama saya, yang penting jangan biarkan Pak Adrian mencabut pekerjaan ini dari saya, mas. Saya benar-benar tidak ingin kembali ke kehidupan saya yang sebelum ini." Diara benar-benar gigih walaupun mungkin ia akan tampak berlebihan di mata Nick.
"Saya tidak peduli." singkat sekali Nick menjawab.
"Mas saya mohon jangan begini..., saya butuh ini mas."
"Saya tidak butuh."
"Saya akan bersujud di kaki mas kalau begitu," Diara langsung bergerak mendekati Nick demi bisa bersujud.
Nick tentu kaget bukan main dan langsung mengelak, "kamu...,"
"Ini adalah awal hidup saya yang baru mas, saya tahu itu tidak ada hubungannya dengan hidup mas, tapi hidup saya sangat tergantung pada mas, sungguh saya baru saja bisa bernapas dengan baik." Diara duduk bersimpuh disamping Nick yang masih duduk di atas kursi, wajahnya sangat sedih bahkan seperti akan menangis.
Nick menghela napas malas, "baiklah, tapi saya minya agar kamu tidak ribut dan jangan terlalu banyak interaksi dengan saya. Saya ingin tenang sendiri, jika kamu mulai membuat saya merasa risih, saya akan langsung depak kamu tanpa pikir panjang."
Senyum Diara langsung terkembang lega, "makasih banyak maaass, sungguh saya bersyukur sekali, punya tuan sebaik mas."
"Cepat makan, ekspresi kamu benar-benar mengganggu saya."
Diara mengangguk dan kembali ke posisinya sambil mengusap air di sudut matanya, namun di dalam hati ia tengah terbahak-bahak karena akhirnya mampu menyelesaikan misi untuk terus bertahan disini.
"Masalah menghadapi manusia seperti Nick, itu urusan nanti, hehehe."