Lima

1039 Kata
Diara kini sibuk membersihkan meja makan setelah makan malamnya yang pertama bersama Nick selesai. "Eh mas tunggu!" Diara menghentikan Nick yang akan pergi setelah beberapa saat ia masih diam di meja makan untuk sekedar duduk sambil sibuk dengan ponselnya, Diara sempat melihat sekilas dan ternyata pria ini sibuk dengan kerjaannya membaca beberapa dokumen. Nick tidak menjawab, ia hanya menoleh dengan sorot mata yang seolah bertanya, "apa!?" "Itu mas, kalau boleh saya minta sedikit waktu. Saya mau mas untuk jelasin saya sedikit tentang apa saja yang harus dan tidak boleh saya lakukan. Lagipula saya kan baru dan tidak kenal mas, saya takut nanti malah salah salah yang pastinya bikin mas terganggu juga, kan?" Nick menghembukan napas pendek seolah ia malas sekali mengabulkan permintaan Diara. "Boleh ya mas? Soalnya saya bingung banget harus lakuin apa disini." Diara memohon dengan wajah memelas. Nick akhirnya kembali menarik kursi untuk ia duduk yang artinya ia setuju dengan apa yang Diara minta. Diara tersenyum lebar dan dengan cepat meletakkan piring yang tadi ia pegang ke westafel. "Jadi, bagaimana mas?" Diara mulai bicara setelah memgambil posisi duduk tepat dihadapan Nick. "Saya pikirkan dulu, saya juga bingung karena saya tidak ingin dan tidak butuh kamu disini." Mendengar ucapan Nick membuat Diara langsung menarik napas dalam untuk menenangkan diri, ia tidak boleh tersinggung atau marah hanya karena kata-kata ini, ia harus membiasakan diri berhadapan dengan manusia bernama Nickolas didepannya ini. Walau bagaimanapun dia adalah sumber kehidupannya yang nyaman saat ini. "Saya akan tunggu Mas Nick berpikir." Diara megangguk dan menunjukkan wajah tersenyum seramah mungkin. Cukup satu hari Diara sudah belajar banyak tentang bagaimana untuk tetap ramah dan tenang apapun kondisinya, ilmu kasir menghadapi pembelinya sedang diuji sekarang. "Pertama kamu harus siapkan keperluan makan saya. Biasanya saya sarapan dan makan malam di apartemen jika pulang cepat. Lalu perhatikan apa yang kamu masak, saya tidak begitu suka makanan dengan bumbu terlalu kuat, umumnya apa yang kamu masak tadi rasanya terlalu kuat. Dan jangan masak berlebihan, cukup untuk makan saya dan kamu saja. Saat pagi, saya hanya butuh s**u dan roti biasa. Dan pastikan semua sudut apartemen ini bersih." Diara mengangguk paham sambil coba mengingat apa saja yang Nick sampaikan. "Lalu apa lagi mas?" "Jangan pernah masuk ke kamar saya, semua yang ada disana biar saya yang urus." Nick agak menekankan pada kalimatnya yang ini. "Saya paham mas," "Kamu juga urus isi dapur, list apa yang harus ada nanti saya bikinkan jika sempat." Diara mengangguk-angguk saja mendegar suruhan Nick. "Dan yang terpenting, jangan usik urusan saya. Kamu hanya boleh lakukan apa yang saya suruh saja. Saya sudah terbiasa sendiri, jadi sebenarnya kehadiran kamu hanya mengganggu saya. Tolong buat saya untuk tidak terlalu risih dengan kehadiran kamu." Diara agak tertunduk dan menggaruk tengkuknya sekilas, "maaf mas." Nick cuek saja dan kembali berdiri dan pergi begitu saja menuju kamarnya meninggalkan Diara. "Mana ac nya dingin, punya tuan lebih dingin, bisa beku aku lama-lama disini." Diara merinding sambil menggosok-gosok lengannya. "Cepet selesaikan kerjaan dan kamu pulang ke apartemen mu yang hangat Diaraaaa." Diara segera bergerak menuju westafel untuk mencuci piring dan beres-beres. * Diara merebahkan dirinya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar, dia baru saja balik dari apartemen Nick setelah menyelesaikan pekerjaannya yang tidak seberapa itu. Helaan napas terdengar dari Diara yang termenung, "kangen banget sama ibu. Diara udah hidup dengan lebih tenang bu, makasih udah bikin aku ketemu sama Pak Adrian, dia baik banget." Gadis itu tersenyum sambil mengusap ujung matanya yang agak basah. Namun mendadak ponsel Diara berdering tanda masuknya sebuah panggilan telepon. "Selamat malam, Pak." Diara duduk dan menjawab telepon tersebut dengan ramah. "Malam Di, kamu bagaimana? Baik-baik saja?" Diara terkekeh, "baik pak." "Bagaimana? Hari pertama kamu kerja di tempat Nick, aman?" tanya Pak Adrian di seberang sana begitu antusias. "Aman kok pak, Mas Nick nya baik." "Baik? Oh ya?" tanya Pak Adrian tampaknya meragukan ucapan Diara. "Hehe, ya lumayan lah pak." "Saya tahu gimana Nick, syukurlah kalau kamu juga berpikir Nick baik. Biasanya orang baru selalu merasa tidak nyaman dengan sikap Nick yang tidak begitu ramah." "Mas Nick memang agak membuat orang baru seperti saya jadi mudah berpikir aneh, tapi karena Mas Nick itu anak bapak, saya percaya kalau Mas Nick juga akan baik." Terndegar suara tawa dari arah Pak Adrian, "kamu bisa saja Diara." "Iya pak, lagian Mas Nick baik kok. Buktinya saya masih bisa bekerja ditempatnya, tapi..." "Tapi apa Diara? Apa ada masalah?" Pak Adrian penasaran karena mendengar ucapan gantung Diara. "Mas Nick itu mandiri dan tak banyak yang bisa saya bantu disini, saya jadi agak bingung dan ga enak. Terlebih atas apa yang sudah bapak berikan pada saya." Diara berterus terang saja atas apa yang ia pikirkan sejak awal. "Sudahlah Diara, kamu kerjakan saja apa yang bisa kamu kerjakan. Jika tidak ada yang bisa kamu kerjakan, kamu bisa bersantai atau pergi bermain dengan teman-temanmu." "Eh, apa pak!?" Diara tidak yakin dengan apa yang baru saja Pak Adrian katakan padanya. "Nikmati waktumu selagi masih muda, jangan pikirkan banyak hal. Kamu sudah melalui terlalu banyak hal berat bukan? Jangan ragu untuk bersenang-senang Diara." Mulut Diara ternganga lebar mendengar Pak Adrian, "bagaimana bisa saya bermain setelah apa yang bapak berikan ke saya. Saya benar-benar canggung, Pak." "Bayar apa yang saya berikan pada kamu dengan hidup bahagia. Tidak ada yang saya ingin kan selain bisa membantu orang lain." Diara sangat terharu mendengar ucapan Pak Adrian, ia merasakan kehadiran sosok ayah yang begitu mencintai putrinya. Diara sungguh sudah lama kehilangan sosok itu. Saat ini Diara ingin menangis sumpah demi apapun. "Saya benar-benar berterima kasih, Pak. Saya ga paham kenapa saya bisa ketemu orang sebaik bapak, saya benar-benar berterima kasih." "Istirahatlah, saya matikan telpon nya ya?" Pak Adrian menyelesaikan panggilan. "Iya pak, terima kasih banyak." dan panggilan pun dimatikan. "Sumpah, aku ga nyangka ada orang sebaik Pak Adrian. Makasih ya tuhan, engkau pertemukan aku dengan manusia baik yang benar-benar baik." Diara tersenyum sambil memeluk kedua lututnya sendiri di atas ranjang. "Tapi kenapa ya, Pak Adrian sebaik dan sehangat itu, tapi bisa punya anak modelannya kayak si Mas Nick itu? Bukan anak kandung kali ya?" Diara menerka sendiri sambil terkekeh. "Muka ganteng banget, badan bagus, kaya, keliatannya juga pinter, tapi sikapnya itu loh, tuhan itu bener-bener adil ya." Diara terdiam memikirkan kembali sosok Nick. "Tapi wajahnya itu emang ganteng banget banget banget sih, ga pernah aku ketemu orang seganteng itu. Pasti dia udah punya pasangan, hm... Eh!? Ngapain aku mikirin itu? Ingat Di! Lo itu pembantu dia, bukan siapa-siapa. Ah udahlah, ngantuk!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN