Enam

1099 Kata
Diara dengan santai membereskan piring dan gelas bekas sarapan Nick, sedangkan tuannya itu mungkin sedang sibuk di kamar bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Seperti sebelumnya, suasana sangat hening dan kaku. Diara tidak ingin terus mencoba akrab dengan Nick. Toh tidak ada gunanya dan pria itu sudah memperingatkan untuk tidak membuatnya merasa terganggu.  Sekarang Diara akan ikuti keinginan Nick, tak ada hal lain yang Diara inginkan selain bertahan dengan pekerjaan ini. Setelah dipikir-pikir, apa yang ia lakukan dengan apa yang ia dapatkan sangatlah tidak sebanding. Maka dari itu Diara sangat bersyukur dan akan melakukan tugasnya sebaik mungkin sesuai keinginan Nick.  "Mas, hari ini pulang jam berapa?" Diara agak mengejar Nick sebelum pria itu keluar dari apartemen. "Kenapa?" "Agar saya bisa sesuaikan jam berapa masak makan malam. Dan apakah ada sesuatu yang mas inginkan?" Diara menawarkan dengan hati-hati. "Saya mungkin sore sudah pulang, jadi makan malam seperti biasa saja. Saya tidak inginkan apapun, terserah saja." "Baik, mas." "Saya sudah letakkan pakaian kotor di luar, kamu bisa cuci itu nanti." "Baik mas." Nick pun berlalu dengan langkah besarnya.  "Parfumnya wangi banget, aroma kelas atas, ga kayak parfum murah yang biasa aku beli di pasar." Diara tertawa sambil masih menikmati aroma wangi parfum Nick yang tertinggal.  "Okey hari ini adalah hari dimana aku benar-benar bekerja." Diara tersenyum dan menggulung lengan bajunya dan bergerak menyanggul rambut hitamnya dengan semangat. * "Wuaaah, aku hanya mengerjakan pekerjaan rumah, tapi kenapa bisa selelah ini ya?" sore ini Diara mendudukkan dirinya di sofa empuk apartemen Nick setelah selesai memasak sebagai tugas terakhirnya hari ini.  Mata besar gadis itu melirik jam dinding untuk memperkirakan jam berapa Nick akan pulang, "Sebentar lagi Mas Nick pulang, hm.., mungkin aku bisa ke apartemenku sekarang untuk mandi. Rasanya gerah, aku akan kembali nanti malam saja untuk membereskan makanannya."  Diara bergerak untuk keluar apartemen Nick, namun saat ia baru saja membuka pintu alangkah kagetnya ia mendapati dirinya menendang sebuah tas dan yang lebih mengejutkannya lagi ada sesuatu yang terbalut kain disebelahnya.  "Ya tuhan!?" Diara melihat ke sekitar dan tak menemukan siapapun disana. Dengan hati-hati dirinya jongkok untuk memastikan apa yang sebenarnya terletak di depan pintu apartemen Nick ini.  Mata Diara membelalak dengan mulut ternganga karena saat dia membuka kain itu, ia mendapati seorang bayi kecil yang tertidur dengan lelapnya. "Bb.., bba, bayi siapa ini?" Diara tergagap dan dengan ragu menggendong bayi itu hati-hati.  Pikiran Diara mulai berputar menerka apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa ini terletak di depan pintu apartemen Nick. Gadis itu coba membuka tas yang berada di depannya, namun sebuah kertas kecil yang terjatuh ke lantai mencuri perhatian Diara, dengan cepat Diara mengambil kertas itu dan membacanya. 'Aku tahu kamu tidak akan tega mentelantarkannya, maafin aku Nick. Aku butuh waktu.' Diara kaget bukan main dan menatap lagi bayi kecil di pelukannya itu yang terlelap sangat damai seolah tidak sadar bahwa ia baru saja dibuang oleh ibunya yang entah kemana.  "Jadi ini anaknya Mas Nick? Astaga..," gadis itu geleng-geleng kepala dan kini ia berpikir apa yang harus ia lakukan sekarang.  "Ah, aku harus bawa dia dulu masuk, kasian sekali." Diara berdiri dengan bayi digendongannya dan mengambil tas itu untuk masuk kedalam apartemennya. * Setelah selesai mandi secepat kilat, kini Diara berdiri tegak pinggang menatap bayi yang masih tertidur di atas ranjang miliknya.   "Kalau ini adalah anak Mas Nick.., itu artinya..." Diara menggantung kalimatnya dan tiba-tiba mengusap tengkuknya yang merinding karena pikirannya sendiri.  "Aku harus beritahu Pak Adrian tentang ini, dia harus tahu kelakuan anaknya dan dia mesti tahu kalau saat ini dia sudah menjadi seorang kakek." Diara mengambil ponselnya yang terletak di atas meja dan mencari kontak Pak Adrian untuk membuat panggilan.  Namun setelah beberapa lama Pak Adrian tak kunjung mengangkat telponnya.  "Mungkin Pak Adrian sibuk, apa aku kirim pesan saja?" Disaat Diara sedang mengetik pesan, tiba-tiba saja jari-jari Diara membeku dan beralih lagi menatap bayi kecil itu, "nggak seharusnya aku beri tahu Pak Adrian sedangkan Mas Nick saja belum tahu. Lagipula aku tidak berhak bicara duluan, ini terlalu lancang." Diara menghapus pesannya lagi dan menyimpan ponsel ke dalam sakunya sambil menghela napas panjang.  "Semoga saja Mas Nick sudah pulang." Diara bergerak menggendong bayi kecil itu dan mengambil tas yang tadi ditinggalkan dengannya.  "Ayo bertemu dengan ayah kamu sayang." Diara bicara dan bergerak menuju apartemen Nick. * Sambil bersandar santai di sofa, Nick memejamkan matanya karena cukup lelah setelah pulang dari kantor, bahkan kini dirinya belum berganti pakaian.  "Sepertinya aku butuh liburan," gumam Nick membayangkan tempat apa yang harus ia sambangi saat ini untuk bisa menenangkan dirinya.  Sedang asik dengan pikirannya yang tenang, Nick dikejutkan dengan suara pintu terbuka, dan matanya membelalak kaget mendapati Diara masuk dengan menggendong seorang bayi.  "Kamu bahkan berani membawa anak kamu kesini?" tanya Nick tidak peduli karena terlalu lelah.  Diara tidak menjawab, ia hanya menarik ujung bibirnya dan berjalan cepat kehadapan Nick yang bersandar memejamkan mata di sofa. "Ini, ambillah." Diara memajukan anak tersebut kehadapan Nick.  Nick membuka matanya dan menatap Diara heran, "apa yang kamu lakukan hah?" "Ini anak Mas Nick." "HAH!?" Nick kaget bukan main bahkan sampai menegakkan punggungnya dengan lurus, matanya juga membelalak tidak percaya dengan apa yang Diara katakan.  "Gendong dulu," Diara tidak mau tahu dan langsung memindahkan anak dipangkuannya ke tangan Nick yang sangat kaku dan wajahnya tegang.  "Kamu apa-apaan hah??"  "Sssttt, jangan keras-keras, nanti baby nya bangun." Diara memperingatkan Nick dan bergerak membuka tas yang tadi ia bawa sekaligus dengan bayi itu untuk mengambil sesuatu.  "Tadi saya temukan bayi ini di depan pintu apartemen mas, terus ada kertas didekatnya." Diara menunjukkan kertas yang tadi dia baca kedepan mata Nick yang membuat pria itu mematung bahkan beberapa saat tidak berkedip.  "Mas??" Diara menyadarkan Nick namun pria itu tetap diam, hingga tangisan bayi itu menyadarkan Nick.  Nick menatap bayi digendongannya dengan nanar dan napasnya terasa tercekat, "bagaimana bisa dia mengantarkannya kesini?" Nick menggumam pelan.  "Mas, sepertinya dia haus. Tadi saya melihat ada s**u di dalam tas, sepertinya itu asi." Diara bicara sambil mengambil s**u di dalam tas. "Setidaknya ibunya masih memikirkan bayi ini saat disini." Diara bicara sambil memberikan botol s**u kepada Nick.  Nick menggeleng dan memberikan bayi itu lagi kepada Diara yang ternganga.  "Eh, mas.., ini..." Diara tidak bisa bicara karena Nick sudah pergi begitu saja masuk ke dalam kamar, bahkan dengan pintu yang terdengar dibanting agak keras yang membuat Diara kaget.  Diara tidak bisa terlalu memperhatikan itu karena tangis bayi ditangannya semakin keras, dan ia harus segera memberikan s**u itu kepada si bayi. Benar saja, bayi itu langsung meminum s**u dengan cepat dan berhenti menangis, sepertinya dia sangat kelaparan.  Tanpa sadar Diara tersenyum melihat wajah bayi itu dan ia bergerak duduk ke atas sofa untuk bisa memegang bayi itu dengan lebih nyaman. Namun disaat itu Diara dibuat terkejut lagi karena ia mendengar teriakan frustrasi dari dalam kamar, siapa lagi kalau bukan dari Nick.  "Sepertinya dia shock sekali. Bahkan aku saja tidak habis pikir." Diara bergumam sambil menatap bayi ditangannya lagi, "tidak apa, ayahmu pasti akan menerimamu, dia hanya kaget saja."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN