Bab 10 - Jodoh Pilihan Kakek

1579 Kata
Begitu masuk apartemen Biru, seketika Jingga terkesima karena tempatnya begitu rapi. Barang-barang pun tertata dengan baik, sangat berbeda dengan apartemen Jingga yang masuk kategori berantakan. Meskipun ukuran dan posisi ruangannya sama, tapi kerapihan membuat unit mereka masing-masing tampak berbeda jauh bak langit dan bumi. Sebelum Jingga berkeliling lebih lama, wanita itu langsung tersadar ... bagaimana jika Biru terbangun dari tidurnya lalu masuk ke sini? Jingga harus jawab apa jika pria itu bertanya sedang apa dirinya di sini? Ya ampun. Daripada menjadi masalah terlebih Biru merupakan pimpinan redaksi di tempatnya bekerja, Jingga memutuskan keluar dan kembali ke apartemennya. Cari aman sebelum hal-hal yang tak diinginkan terjadi. Selain itu, Jingga itu penasaran pada Birunya, bukan tempat tinggalnya. Jadi, apa gunanya ia room tour di situ? Kembali ke apartemen miliknya, Jingga mendapati Biru masih tertidur dengan nyaman dan lelapnya. Jingga berusaha membangunkan Biru, tapi pria itu terlalu nyenyak sehingga tak kunjung membuka matanya. Memindahkan Biru ke apartemen pria itu seorang diri? Jingga jelas kesulitan. Meminta bantuan pada orang lain pun bukan pilihan yang tepat. Sampai kemudian Jingga memutuskan membiarkan Biru tetap tidur di kasurnya hanya untuk malam ini. Sedangkan Jingga memilih tidur di sofa ruang tamu. Keesokan paginya, Jingga terbangun dari tidurnya. Badannya terasa pegal akibat posisi tidur yang kurang nyaman di sofa. Masuk ke kamar, tampak Biru masih memejamkan mata. Setelah membuka tirai kamarnya, Jingga lalu mengambil handuk untuk mandi. Sebelum masuk ke kamar mandi, Jingga menyadari adanya pergerakan di tempat tidur. Benar saja, ternyata Biru perlahan membuka matanya. Sepertinya cahaya matahari yang masuk membuat tidur lelapnya terganggu. Di dekat pintu kamar mandi, Jingga memperhatikan Biru yang perlahan duduk. Biru yang memegangi kepalanya sambil melihat ke sekeliling ruangan. Astaga. Jingga malah ingat lagi tentang ciuman mereka semalam. Namun, Jingga langsung menggeleng cepat. Ia harus melupakan itu dengan harapan Biru juga tak ingat apa-apa tentang semalam. Sementara itu, Biru terbangun dengan rasa pusing yang langsung menyerang kepalanya. Ia lalu dikejutkan dengan pemandangan tak asing. Ya, Biru hafal betul ini kamar Sakina karena pria itu pernah masuk ke sini dulu. Sampai kemudian Biru sadar kalau apartemen ini sudah Sakina jual pada orang lain. Jadi sekalipun Biru merasa suasananya masih sama, tetap saja ini bukan kamar Sakina lagi. Tunggu, bukankah pemilik barunya adalah Jingga? Seorang social media specialist yang baru saja bergabung di Aluna? Masalahnya adalah ... kenapa Biru ada di sini? Biru ingat semalam ia mabuk lalu Erzha mengantarnya pulang. Hanya sampai di situ. Biru tidak tahu bagaimana ceritanya ia bisa ada di sini. "Mas Biru udah bangun?" tanya Jingga sambil berjalan perlahan ke arah Biru. Ia ingin memastikan sendiri, Biru ingat atau lupa dengan kejadian semalam. Beranjak dari kasur, Biru berdiri sambil memegangi kepalanya yang masih terasa sangat berat. "Kenapa saya ada di sini?" Pertanyaan Biru membuat Jingga lega. Memang sebaiknya Biru tidak ingat setidaknya untuk sekarang. "Semalam Mas Biru datang dalam keadaan antara sadar dan nggak sadar. Lalu nggak lama kemudian Mas Biru ambruk. Maaf aku nggak tahu harus gimana, jadi membiarkan Mas Biru tidur di kamarku," jelas Jingga yang tentu saja tidak sepenuhnya kejujuran. "Sejujurnya aku kaget banget tiba-tiba Mas Biru ke sini. Dan aku pikir Mas Biru mabuk banget. Sedangkan aku nggak tahu harus antar Mas Biru ke mana. Berat juga," tambah Jingga. "Sebelumnya maaf. Saya memang mabuk," kata Biru. "Apakah saya melakukan sesuatu yang membuatmu nggak nyaman selagi saya mabuk?" Jingga menggeleng. "Enggak, kok, Mas." "Saya juga nggak melakukan sesuatu yang nggak pantas sama kamu, kan? Saya nggak macam-macam?" tanya Biru lagi. Jingga menggeleng lagi. Ia meyakinkan Biru kalau tidak terjadi apa-apa di antara mereka. "Mas Biru langsung teler begitu aku persilakan masuk," bohong Jingga lagi. Walau bagaimanapun mereka bakalan kerja sekantor. Sebaiknya kejadian semalam Jingga pendam sendiri saja demi kenyamanan mereka berdua. "Saya beneran nggak ingat apa-apa," kata Biru. "Seingat saya, saya mau pulang. Mungkin karena saya mabuk jadi nyasar ke tempatmu." "Tempat tinggal saya di unit sebelah dan sepertinya Elina belum cerita sama kamu," tambah Biru. "Oh, ternyata kita tetangga?" Jingga pura-pura kaget. "Ya, begitulah," balas Biru. "Syukurlah kalau saya nggak aneh-aneh pas mabuk. Tapi sekali lagi saya minta maaf, ya." “Nyasar ke tempatku bukan keinginan Mas Biru. Jadi aku maafkan.” “Syukurlah, terima kasih,” kata Biru. “Ngomong-ngomong kamu mau mandi?” tanyanya kemudian. “Iya.” “Saya juga mau pamit. Sampai jumpa di kantor.” *** “Sebenarnya apa lagi yang kamu tunggu? Saya pikir sudah seharusnya kamu memperkenalkan diri pada Jingga dengan benar bahwa kamu adalah calon suaminya,” kata Ruly. “Asal kamu tahu, Bian … kamu itu hampir tidak punya cela. Baik dari segi fisik, finansial, attitude, jejak masa lalu hingga masa depanmu yang cerah … kamu itu bisa dikatakan sempurna. Saya rasa sekarang adalah waktunya. Kamu tidak perlu menunda-nunda lagi dengan dalih takut Jingga menolak. Terlebih Jingga sudah dua puluh enam tahun sekarang,” kata Ruly pada seorang pria tampan yang merupakan calon suami Jingga. Ya, pria itu sudah diputuskan untuk dijodohkan dengan Jingga sejak lama. “Kakek, aku juga belakangan ini berpikiran begitu. Aku merasa persiapanku untuk memperkenalkan diri pada Jingga sudah hampir sempurna. Dalam waktu dekat aku akan menemuinya dengan benar.” “Dengan benar?” “Aku menemuinya saat dia dilabrak oleh ibu-ibu yang salah paham mengira Jingga pelakor. Aku mengajak Jingga berkenalan, tapi aku tidak mengatakan kalau aku sebenarnya calon suaminya. Aku bersikap selayaknya belum mengenalnya, padahal selama ini aku memperhatikannya dari jauh,” jelas Bian. “Bagaimana dengan respons-nya?” “Jingga bersikap hangat dan sangat berterima kasih karena aku sudah membantunya keluar dari situasi yang sulit dikendalikan. Kami juga sempat minum bersama.” Bian mustahil mengatakan tentang ciumannya dengan Jingga. Itu gila. “Saya tahu kejadiannya di kafe milikmu, tapi saya tidak mengira ada kamu di sana bahkan memberanikan diri berinteraksi dengan Jingga,” kata Ruly. “Kek, Jingga itu sangat menentang perjodohan. Aku tahu betul. Mungkin itu sebabnya aku terkesan maju-mundur saat ingin memperkenalkan diri dengan benar. Selama menunggu sampai aku sungguh siap, Kakek tahu sendiri kalau beberapa tahun ini aku menggeluti bidang yang Jingga suka. Harapannya saat kami bersama nanti, obrolan kami bisa nyambung karena kami memiliki hobi yang sama.” “Saya sangat tahu betul tentang hal itu. Kamu yang bela-belain terjun ke dunia pernovelan hanya untuk tahu lebih jauh tentang sesuatu yang Jingga sukai. Padahal saya udah meyakinkan kalau tanpa repot-repot begitu pun Jingga pasti menyukaimu karena kamu memang yang terbaik.” “Maaf aku hanya memikirkan kemungkinan terburuk, Kek,” jawab Bian. “Ditambah lagi sebelumnya aku belum siap. Waktu itu aku masih berjuang untuk mendapatkan jabatan yang saat ini telah menjadi milikku.” Ruly mengangguk-angguk paham. “Beberapa tahun ini aku merasa perlu fokus pada pekerjaanku dulu, setelah semua sesuai yang diharapkan … barulah aku bisa fokus mendekati Jingga. Aku bersyukur selagi berjuang untuk posisi itu, aku masih sempat belajar menjadi penulis novel juga. Dan sekarang memanglah waktu yang tepat untuk muncul secara langsung ke hadapan calon istriku.” “Kamu itu bukan hanya tampan dan baik, tapi juga cerdas sekaligus penuh semangat pekerja keras. Bagaimana mungkin saya tidak memilihmu menjadi calon suami cucu kesayangan saya? Kamu yang terbaik, Bian.” “Lalu apa rencanamu selanjutnya? Maksudnya kapan kamu akan menemui Jingga lagi?” tanya Ruly lagi. “Aku akan melakukan pendekatan yang nyaman dan nggak buru-buru. Pelan tapi pasti,” jawab Bian. “Dan karena Jingga sekarang bekerja di Aluna Publishing … aku mulai mempertimbangkan untuk menerbitkan naskahku di sana. Dengan begitu kami akan bertemu lagi di sana.” “Ide bagus. Bian, lakukanlah apa yang menurutmu tepat. Saya memercayakan segalanya padamu,” pungkas Ruly. "Sejauh ini saya hanya memantau dan bertindak seperlunya. Tentang ditariknya segala fasilitas yang biasa saya berikan untuknya ... saya belum berencana memulihkannya." “Terima kasih atas kepercayaannya, Kek,” balas Bian. "Tentang yang Kakek sebutkan barusan ... aku juga nggak akan ikut campur dengan keputusan Kakek." Ruly tersenyum. Ia pasti akan sangat bahagia jika Jingga bersedia mewarisi Tanadiyo Grup. Namun, pria paruh baya itu akan berkali-kali lipat lebih bahagia lagi jika Jingga menikah dengan pria pilihannya ini. Arbian Joshua, yang merupakan cucu dari sahabat terbaiknya. *** Biru memiliki dua SIM card, yang pertama ia gunakan sebagai nomor pribadinya sedangkan yang kedua itu untuk urusan Aluna. Saat Biru baru selesai mandi, tiba-tiba ada panggilan dari nomor asing masuk ke nomor keduanya. “Selamat pagi,” sapa Biru. Tentu saja pria itu harus ramah. “Benarkah ini kontak Aluna Publishing?” tanya suara seorang pria di ujung telepon sana. “Benar, ada yang bisa saya bantu?” tanya Biru. “Dan maaf dengan siapa saya berbicara?” sambungnya. “Perkenalkan saya pemilik nama pena A Joshua. Tujuan saya menelepon adalah untuk bertanya … bisakah naskah saya diterbitkan di Aluna Publishing?” Jangan ditanya betapa terkejutnya Biru. Setahunya A Joshua adalah salah satu penulis terkenal yang karyanya diincar para penerbit. Biru tidak salah dengar, kan, kalau A Joshua ingin menerbitkan novelnya di Aluna? “Bisakah kita bertemu langsung untuk membahasnya? Saya pikir sulit jika dibicarakan via telepon begini,” kata Biru. “Kalau kamu domisili Jabodetabek … saya rasa lebih baik kita bertemu langsung.” “Ya, saya domisili Jakarta. Bisakah share location letak kantornya? Saya cukup senggang hari ini sehingga bisa datang langsung ke sana.” Ini jelas formalitas, nyatanya Bian tahu letak kantor Aluna. Setelah sambungan telepon terputus, Biru merasa bersemangat karena ada naskah potensial dari penulis terkenal yang menuju terbit di Aluna. Sementara itu, Bian juga tampak bersemangat karena dirinya akan datang langsung ke kantor Jingga, tepat di hari pertama wanita itu bekerja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN