Dulu, Jingga pernah mencoba menjadi gadis nakal atau pembuat onar, dengan begitu secara otomatis ia akan dicoret dari kandidat penerus perusahaan. Namun, kenyataannya nama Jingga sama sekali tidak dihapus. Malah yang ada gerak Jingga menjadi lebih dibatasi.
Sang kakek bahkan pernah mengancam untuk menikahkan Jingga dengan pria yang entah siapa jika Jingga terus bandel. Itu sebabnya Jingga mulai menjadi penurut. Salah satu bukti Jingga penurut adalah ia langsung datang saat sang kakek alias Ruly Bagaskara meneleponnya.
Ya, selama ini boleh dibilang Jingga menjadi penurut kecuali satu hal … yakni Jingga belum bisa memenuhi keinginan sang kakek untuk mulai bergabung di perusahaan dengan posisi apa saja, padahal sudah berkali-kali kakeknya meminta.
Jingga selalu menggunakan alasan belum siap, tapi ia sadar tidak bisa menggunakan alasan tersebut sampai berkali-kali. Untuk itu, Jingga mulai mencari pekerjaan sesuai bidang yang diminatinya. Setidaknya jika ia punya pekerjaan, kakeknya akan berhenti memintanya bergabung di perusahaan keluarga. Lebih bagus jika Jingga terbukti mampu bekerja di bidang yang diminatinya tersebut.
“Kamu masih beruntung karena angle kamera tidak memperlihatkan wajahmu. Istri sah vs pelakor? Memalukan.”
“Aku udah menjelaskan kalau aku nggak tahu dia udah punya istri. Aku juga korban, Kek.”
“Itu sebabnya jangan sembarangan berpacaran.”
“Aku jomlo sekarang.”
“Kakek minta yang seperti itu jangan sampai terulang lagi, kecuali kalau kamu ingin dijodohkan dengan laki-laki pilihan kakek.”
Lagu lama. Ancaman itu lagi yang membuat Jingga muak. Jujur, ia awalnya terkejut saat sang kakek menyuruhnya datang. Dan ternyata Jingga dipanggil untuk membicarakan video viral itu.
“Kenapa Kakek selalu mengancam tentang perjodohan? Itu absurd.”
“Baiklah, kalau begitu mari ke pembahasan utama.”
“Yang barusan itu bukan utama, Kek?” Jingga terkejut.
Alih-alih menjawab, Ruly malah bertanya, “Sekarang kakek boleh melihat ID card kamu?” tanyanya begitu santai karena ia memang tahu Jingga tak memilikinya.
“Untuk sekarang memang belum ada, Kek. Tapi aku janji akan memperlihatkannya setelah benda itu berada di tanganku.”
“Loh, katanya sebentar lagi. Apa ID card-nya belum dicetak karena kamu baru resmi diterima?”
“Bukannya begitu, Kek.”
“Coba jelaskan, harusnya gimana?” tanya Ruly dengan nada yang begitu hangat. Sepertinya ia senang karena Jingga akan menyerah dan mau tidak mau menuruti keinginannya untuk bergabung di perusahaan keluarga.
Jingga masih berpikir sekaligus menyusun kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan Ruly.
“Kakek dengar kamu melamar ke perusahaan penerbitan terkemuka. Bagaimana hasilnya?” tanya Ruly lagi.
Meski sengaja tidak diberi tahu nama perusahaan yang sedang diincarnya, seharusnya Jingga tidak heran kalau kakeknya tahu.
“Aku belum berhasil,” jawab Jingga terpaksa. “Tapi jangan senang dulu ya, Kek. Aku punya incaran kedua dan kemungkinan besar aku nggak akan gagal kali ini.”
“Kenapa seyakin itu?”
“Aku punya orang dalam,” jujur Jingga bangga. “Jadi tunggu sampai besok. Aku bahkan udah dapat pesan dari orang dalam yang aku maksud supaya aku langsung ke kantor besok.”
“Jingga, apa bekerja di Tanadiyo membuatmu alergi? Padahal sama-sama bekerja, tapi kamu lebih memilih bekerja di tempat lain.”
“Apa Tanadiyo akan bangkrut kalau bukan aku yang meneruskan?” balas Jingga. “Malah seharusnya Kakek khawatir akan bangkrut misalnya aku yang pegang karena aku kurang pandai berbisnis.”
“Ini bukan soal bangkrut atau tidak, masalahnya ini amanah. Kamulah yang harus mewarisinya. Jadi suka tidak suka, mau tidak mau … kamu memang harus,” tegas Ruly. “Kamu masih berdalih kurang pandai berbisnis? Memangnya tujuan kakek menyuruhmu bergabung dulu itu apa? Kamu akan belajar banyak hal sampai akhirnya kamu benar-benar sanggup.
“Tapi nggak harus sekarang, kan, Kek? Ingat kesepakatan kita waktu itu bahwa Kakek akan memberiku kesempatan untuk aku bekerja di tempat lain dulu, terutama di bidang yang aku sukai. Jadi, mari jalani kesepakatan secara adil.”
“Kakek udah memberi kamu kesempatan, tapi kamu gagal.”
“Satu kesempatan terakhir, Kek. Aku mohon kali ini aku akan berhasil.”
“Kantor apa?” Jawaban Ruly membuat Jingga merasa pintu kesempatan terakhir mulai terbuka.
“Bidangnya masih sama dengan incaran pertamaku,” jawab Jingga.
“Kenapa itu menjadi incaran keduamu?”
“Terutama karena ada lowongan dan ditambah lagi kantor yang belum bisa aku sebutkan namanya itu bergerak di bidang penerbitan novel. Sesuatu yang sangat aku suka.”
“Baiklah, Kakek memberimu kesempatan terakhir. Kalau kamu masih gagal diterima di kantor incaran keduamu itu, siap-siap tepati perkataanmu barusan … mari jalani kesepakatan secara adil.”
Jingga kegirangan. Ia sangat yakin akan diterima di Aluna Publishing. Lebih yakin dari keyakinan Jingga sebelumnya tentang diterima di Sunrise Media.
“Kakek, jangan lupa satu hal, ya. Kalau aku beneran diterima lalu betah bekerja di situ, bisakah Kakek berhenti memaksaku?”
“Apa boleh buat. Tentunya dengan catatan jika kamu sanggup menjalaninya.”
“Mana mungkin aku nggak sanggup, Kek? Bekerja di sebuah penerbitan novel secara otomatis akan membuat skill menulisku lebih ter-upgrade.”
“Sekalipun itu bidang yang kamu sukai, setiap pekerjaan pasti ada fase-fase ingin menyerah. Semoga kamu langsung menyerah.”
“Menulis adalah hobi dan bekerja di kantor penerbitan akan menyempurnakan hobiku. Dalam kata lain aku bisa bekerja sambil melakukan hobi menulisku dengan hati senang. Bidang dan jalurnya sama, jadi bakalan seimbang. Aku nggak mungkin langsung menyerah.”
“Jingga dengar … tidak ada yang salah dengan menjadi penulis. Tapi bisakah kamu menjadikan itu sebagai pekerjaan sampingan saja? Tidak ada larangan menulis jika kamu sungguh bekerja di Tanadiyo. Kamu juga bisa melakukan hobi dan pekerjaanmu dengan tidak kalah seimbang.”
“Tetap aja aku ingin melakukan pekerjaan dan hobi secara bersamaan. Dan aku bisa melakukannya dengan maksimal kalau aku bekerja di kantor penerbitan novel.”
“Se-cinta itu kamu pada menulis?”
“Menulis membuatku bahagia, Kek. Sangat,” jawab Jingga. “Kakek tahu sendiri aku sampai membeli satu unit apartemen yang sebelumnya menjadi tempat tinggal seorang penulis. Aku melakukan itu dengan harapan bisa ketularan produktif.”
Alasan lainnya karena Yogi yang saat itu menjadi pacarnya juga tinggal di gedung yang sama. Namun, untuk sekarang alasan itu sudah tidak berlaku lagi karena mereka sudah putus. Terlebih Yogi sebenarnya sudah punya istri dan menyebabkan video pelabrakannya viral. Sungguh, Jingga menyesal sempat menyukai pria tak bermoral seperti Yogi.
“Baiklah, lakukanlah apa yang membuatmu bahagia itu, Jingga.”
“Kakek serius?”
Ruly mengangguk sambil tersenyum.
Kenapa Jingga merasa ada yang janggal? Ini tidak seperti kakeknya.
“Tapi ada konsekuensi yang harus kamu hadapi,” kata Ruly.
Tuh kan! Jingga yakin kakeknya mustahil melepaskannya begitu saja!
“Konsekuensi apa?” tanya Jingga yang mulai deg-degan. Semoga bukan yang aneh-aneh.
“Kakek akan berhenti mensponsorimu.”
“Hah?” Jingga masih mencerna perkataan kakeknya sambil berharap ia salah dengar.
“Kakek akan stop uang bulanan. Selain itu, berbagai fasilitas yang kakek berikan termasuk mobil dan kartu kredit akan ditarik kembali,” tegas Ruly.
“Apa? Kek, tunggu….”
“Per hari ini,” kata Ruly cepat. “Kecuali satu unit apartemen yang kamu tinggali saat ini. Silakan. Kakek tidak akan menyuruhmu pindah karena tempat itu sangat berarti dalam karier menulismu.”
“Sebentar, Kek. Sebentar.”
“Ah iya, laptop dan ponsel pintar yang kamu gunakan pun … tidak akan diambil. Jadi, gunakanlah sebaik mungkin untuk menunjang aktivitas menulismu yang katanya sangat membahagiakan itu.”
“Kakek lagi mengancamku? Kakek tega melakukan ini supaya aku menyerah, kan?”
“Kamu pasti selalu merasa aman, berpikir kakek tidak bisa melakukan ini karena terlalu menyayangimu. Dengarlah, Nak … kakek melakukan ini sebenarnya karena sangat menyayangimu. Ya, kakek memberi kesempatan supaya kamu bisa lebih mandiri dan sanggup menjalani pilihanmu itu tanpa sponsor apa pun. Menulis sambil bekerja di bidang serupa. Itu, kan, yang kamu mau?”
“Kakek juga berpikir dengan melakukan ini aku pasti menyerah. Aku akan membuktikan kalau aku beneran sanggup hidup sesuai yang aku inginkan.”
Tidak ada uang bulanan yang nominalnya tidak bercanda alias banyak, kartu kredit tanpa limit dan mobil pribadinya diambil … Jingga yakin dirinya bisa. Ya, Jingga merasa dirinya masih punya pemasukan dari income yang didapatkannya sebagai penulis. Ditambah lagi ia akan bekerja di Aluna, yang tentunya akan mendapatkan gaji. Sekalipun gabungan penghasilan tersebut tidak lebih banyak dari uang bulanan yang diberikan kakeknya, tapi seharusnya itu cukup untuk kebutuhan Jingga sehari-hari.
“Jangan lupa, Jingga. Kamu masih punya sisa tabungan karena setiap uang bulanan yang diberikan pasti nggak pernah dihabiskan. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” batin Jingga.
“Semangatlah, Cucu kakek,” balas Ruly.
“Tentu aku sangat semangat, Kek. Aku akan menulis sambil bekerja di bidang yang aku minati,” jawab Jingga tak mau kalah. Sekarang yang terpenting baginya adalah optimis saja dulu.
“Jangan lupa tinggalkan kartu kredit sekaligus kunci mobil kamu di meja.”
Jingga tersenyum sambil mengeluarkan kunci mobil kesayangannya. “Dengan senang hati.”
***
Andai punya pacar, Jingga pasti akan menelepon pacarnya itu agar Jingga tak perlu memesan taksi online untuk mengantarnya pulang. Sayangnya setelah putus dari Yogi sialan itu, Jingga masih belum menjalin hubungan dengan pria mana pun.
Jingga jadi ingat Bian, pria asing yang berciuman dengannya kemarin. Jika kemarin mereka bertukar nomor ponsel, apakah pria itu bersedia mengantarnya pulang sekarang?
“Astaga. Jangan konyol, Jingga! Bian itu terlalu omes,” gumamnya.
Sebelum memesan taksi online, Jingga ingin memastikan apakah di kontaknya sungguh tidak ada yang bisa diandalkan. Sampai kemudian perhatian Jingga tertuju pada kontak baru yang tadi ia simpan dengan nama ‘Perusak Mobil’. Entah kenapa Jingga jadi kepikiran untuk menghubunginya, setidaknya untuk meminta ganti rugi. Apa mungkin karena Jingga hampir ‘jatuh miskin’ sehingga merasa perlu untuk memanfaatkan ini? Padahal jika ini Jingga versi sebelum Ruly menarik segala fasilitas yang diberikan, pastinya wanita itu tidak akan meminta ganti rugi.
Sampai pada akhirnya, Jingga mantap untuk menghubungi ‘Perusak Mobil’ yang entah pria atau wanita, Jingga tak peduli. Selama beberapa saat Jingga menunggu sampai panggilannya diangkat.
“Halo…,” sapa seseorang di ujung telepon sana.
Rupanya itu suara seorang pria!
Konyolnya, kenapa Jingga malah deg-degan? Padahal tidak mengenal pria tersebut.