Keluar dari lift, Biru berjalan pelan menuju apartemen yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Melewati salah satu pintu tepat di samping unit tempat tinggalnya, selama beberapa saat pikiran Biru membayangkan kejadian dua tahunan yang lalu. Saat itu, unit di sebelah tempat tinggalnya ditempati oleh Sakina Adriana, wanita yang sempat ia perjuangkan dan saat ini sudah hidup bahagia dengan suaminya sekaligus teman baik Biru. Bahkan, mereka sudah dikaruniai seorang anak yang lucu. Sakina juga sudah tidak tinggal di unit itu lagi, melainkan ikut suaminya.
Sebelum mengenal Sakina dan berusaha menjadikannya pendamping, Biru pernah memiliki istri yang kini sudah tenang di Surga. Butuh waktu beberapa tahun sampai akhirnya ia merasa menemukan wanita yang tepat seperti Sakina. Sayangnya ia gagal bersanding dengan Sakina dan harus merelakan Sakina menikah dengan Erzha, sahabatnya sendiri.
Apakah Biru gagal move-on? Tidak sama sekali. Saat melihat Sakina bahagia dengan keluarga kecilnya bersama Erzha, sudah tak ada sedikit pun kesedihan atau sakit hati yang Biru rasakan. Ia malah ikut bahagia.
Selain itu, bisa dibilang Biru sedang menikmati kesendiriannya. Terlebih kesibukannya bekerja membuatnya tidak pernah merasa bosan apalagi kesepian sekalipun berstatus single atau lebih tepatnya duda. Biru sampai saat ini belum berminat menjalin hubungan dengan siapa pun.
Tiba-tiba Biru tersadar saat ada panggilan masuk ke ponselnya. Ia spontan langsung melihat nama pemanggil di layar dan ternyata tanpa nama. Sambil berjalan masuk ke unit tempat tinggalnya, Biru kemudian mengangkat panggilan tersebut.
“Halo?”
“Hai, aku Jingga,” balas seorang wanita di ujung telepon sana.
Biru spontan menatap layar ponselnya lagi. Ini Jingga yang mobilnya tak sengaja ditabrak olehnya? Juga, yang Elina bilang ingin bekerja di Aluna?
“Jingga siapa, ya?” Biru pura-pura tidak tahu. Rasanya terlalu aneh jika ia langsung tahu siapa lawan bicaranya.
“Yang mobilnya kamu tabrak di parkiran EL ICB.”
“Oh, iya iya. Sebelumnya maaf banget ya, saya benar-benar nggak sengaja.” Biru sebenarnya terkenal cuek, tapi dalam mode meminta maaf seperti ini sudah pasti ia berusaha menyingkirkan sifat aslinya. “Saya berjanji akan memberikan ganti rugi,” sambungnya.
“Aku maafkan, apalagi kalau ganti ruginya dibayar sekarang.”
“Mobilmu udah masuk bengkel? Nanti kirim aja notanya ya, saya akan mengganti uang pembayarannya via transfer sesuai jumlah yang kamu keluarkan,” kata Biru. “Jangan lupa kirim juga nomor rekeningnya.”
“Kenapa harus pakai nota, sih? Maaf ya, notanya nggak sengaja hilang. Tapi aku ingat jumlahnya, kok. Cuma lima juta,” kata Jingga. “Dan tolong jangan bicarakan asuransi all risk atau apa pun itu, karena nggak ada.”
“Kamu mau nipu saya? Saya tahu betul kerusakannya sejauh mana. Jelas nggak terlalu parah.”
“Kamu pikir aku bohong? Aku serius totalnya lima juta. Malah sebetulnya lima juta dua ratusan, tapi aku kasih keringanan dengan cara dibulatkan jadi lima juta aja.”
“Kalau begitu sebutkan kamu repair-nya di mana? Biasanya nota dibuat beberapa rangkap untuk arsip. Saya bisa tanyakan jumlah dan rinciannya secara langsung.”
“Alah, bilang aja nggak niat tanggung jawab,” kesal Jingga. “Segala pakai alasan nota. Kalau orang niat tanggung jawab nggak usah rempong. Tinggal transfer terus semua beres. Ini malah nyari perkara.”
“Saya pasti tanggung jawab kalau kamu bisa memberi tahu jumlah sebenarnya dan tentunya ada lampiran nota sebagai bukti supaya sama-sama enak.”
“Kamu nggak percaya kalau jumlahnya lima jutaan?”
“Siapa pun pasti nggak percaya. Bukan saya aja.”
“Siapa pun kamu … lain kali lebih hati-hati ya. Semoga kejadian ini nggak terjadi pada orang lain karena jujur aku merasa dirugikan banget. Dimintain pertanggungjawaban aja sampai rempong begini. Kalau begitu mending nggak usahnya deh. Aku ikhlas bayar sendiri padahal itu salah kamu.”
“Kamu yang bohong.”
“Jadi kamu beneran nggak mau bayar?”
“Kirim aja nomor rekeningnya via chat sekaligus bukti p********n kamu ke bengkel. Saya langsung transfer sekarang juga.”
“Dasar pelit yang nggak bertanggung jawab! Semoga hari kamu Senin selalu!” Setelah mengatakan itu, Jingga langsung menutup sambungan teleponnya tanpa memberikan kesempatan Biru untuk merespons lagi.
***
Jingga memang terlampau iseng. Ah, sebenarnya ia juga sedikit berharap pria tadi mau memberikan ganti rugi sesuai yang Jingga sebutkan. Sayangnya Jingga gagal karena memang nominalnya agak kurang masuk akal.
Sebelum mendadak ‘jatuh miskin’, mungkin uang lima juta sangatlah kecil bagi Jingga. Namun, untuk sekarang jumlahnya sangat lumayan untuk menyambung hidup setidaknya dua sampai tiga pekan. Syukur-syukur kalau lebih karena jujur saja Jingga tak pernah menghitung berapa pengeluarannya selama ini.
Sayangnya pria yang tak sempat Jingga tanyakan namanya karena tak penting itu, sepertinya tidak mudah tertipu. Jingga malah ketahuan sedang menjebaknya demi mendapatkan lima juta rupiah.
“Bodo amatlah! Aku, kan, nggak mungkin ketemu sama dia sekalipun tadi aku menyebutan nama asli,” gumam Jingga. “Lagian nggak kenal ini,” lanjutnya sambil mulai meng-klik order pada taksi online yang akan membawanya menuju apartemen. Aset paling mahal yang tidak ikut disita oleh sang kakek.
***
Pagi hari yang cerah membuat Jingga sangat bersemangat berangkat menuju kantor Aluna. Ya, Jingga harus semangat meskipun berkali-kali ia mengingat tentang ‘jatuh miskin’ dadakan yang dialaminya.
Sesuai arahan Elina, Jingga akan bertemu dengan salah satu tim Aluna yang bernama Ujang karena pria berusia akhir tiga puluhan itu biasa tiba lebih dulu dibandingkan yang lain.
Jingga pernah berkunjung ke Aluna satu kali dan ia sedikitnya tahu detail tentang Aluna beserta orang-orang yang tergabung sebagai tim solid di dalamnya. Sampai pada akhirnya Jingga benar-benar tiba di Aluna.
“Jadi ini yang bakal bergabung di Aluna,” sapa Ujang ramah. “Elina udah cerita sebelumnya tentang kamu,” sambungnya.
“Jingga,” balas Jingga seraya mengulurkan tangan. “Sebenarnya kita pernah bertemu sebelumnya saat aku ikut Mbak Elina ke sini, tapi nggak ada salahnya kita kenalan lagi.”
Ujang membalas uluran tangan Jingga sambil berkata, “Alexander D’Caprio alias Ujang.”
“Hah? Jauh banget.”
“Karena lidah orang Indonesia biasanya kesulitan menyebutkan nama asli saya. Jadi, panggil aja Pak Ujang, oke?”
“Oh, oke.” Jingga mengangguk-angguk.
“Jangan panggil Mas ya. Saya udah nikah dan istri saya keberatan kalau saya dipanggil Mas sama perempuan lain.” Ujang mengatakannya dengan nada bercanda. Pria itu memang terkenal humoris dan mudah akrab. Terkadang menyebalkan juga, sih.
“Iya, Pak Ujang,” balas Jingga tak kalah ramah.
“Berhubung masih pagi dan sepi, mau langsung office tour?” tawar Ujang. “Tenang, kamu udah pasti diterima di sini, kok.”
Jingga ingat kata Elina saat semalam meneleponnya. Elina bilang, jika Ujang mengajak office tour jangan pernah berpikiran buruk bahwa Ujang adalah om-om omes yang akan macam-macam. Elina sangat mengenal Ujang dan pria itu sangat mencintai istri dan anaknya sehingga mustahil melakukan hal buruk pada Jingga.
“Ayo,” balas Jingga antusias.
“Kamu tahu sendiri dong Aluna Publishing ini bertempat di rumah berlantai tiga yang disulap menjadi kantor. Jadi jangan berharap kerja di gedung tinggi pencakar langit dan naik lift, ya. Sejak dulu Aluna di sini dan nggak kepikiran pindah ke tempat lain.”
“Karena pernah ke sini, jelas aku tahu dan ingat. Lantai satu itu semacam lobi utama, betul? Seingatku di lantai satu juga ada gudang dengan pintu besar yang langsung mengarah ke luar.”
“Betul. Posisi gudangnya memang sengaja dibuat seperti itu agar saat novel-novel yang selesai dicetak datang, bisa langsung dibongkar dan disusun di gudang. Setelah itu, barulah di-packing untuk dikirim pada para pemesan,” jelas Ujang. “Meskipun di percetakan sudah melalui tahap quality control, tapi kami biasanya tetap mengeceknya sekali lagi sebelum benar-benar didistribusikan.”
Ujang lalu membuka pintu yang menghubungkan ruang tamu dan gudang novel. Jingga langsung memperhatikan sekeliling yang didominasi oleh novel-novel terbitan Aluna. Ruangannya cukup besar dan bisa menampung ribuan eksemplar novel.
“Ini novel-novel ready stock yang bisa dipesan kapan aja di website resmi Aluna dan beberapa marketplace,” kata Ujang. “Di pojok sengaja disediakan desk sekaligus komputer untuk mencatat data-data stok novel, pengiriman dan lain-lain.”
Jingga mengangguk-angguk paham seraya menoleh pada seperangkat meja kerja yang di dekatnya terdapat rak khusus berisi tumpukan kertas untuk print, plastik, lakban dan buble wrap.
“Mau langsung ke lantai dua?”
“Boleh,” balas Jingga.
Mereka pun beralih ke lantai dua yang menjadi ruang kerja utama Aluna. Ada empat perangkat meja kerja dengan posisi masing-masing dua meja berdampingan dan membelakangi meja yang berdampingan lainnya.
“Salah satu hal yang nggak banyak orang tahu tentang Aluna adalah … tim redaksinya cuma tiga orang. Berbeda dengan penerbit lain yang tim-nya lebih dari lima atau bisa jadi lebih dari sepuluh, kami tetap bertahan bertiga,” kata Ujang. “Tapi jangan salah, meskipun bertiga kami semua berkompeten sehingga bisa melaksanakan tugas sebaik mungkin. Astaga ralat ya, mulai sekarang tim menjadi berempat kalau kamu sungguh bergabung.”
“Aku memang sangat ingin bergabung di Aluna.”
“Kenapa?”
“Penerbitan novel adalah bidang yang aku sukai,” kata Jingga. Tidak mungkin ia memberi tahu Ujang kalau sedang kepepet dan sangat butuh pekerjaan.
“Kamu juga penulis, kan? Elina memberi tahu saya.”
Jingga mengangguk. “Gimana kalau kita lanjut office tour-nya, Pak?”
“Boleh,” ujar Ujang bersemangat. Ia lalu menunjuk ke arah meja kerja, “Itu tempat saya mengurus pekerjaan administrasi sekaligus menjadi customer service yang siap membalas chat terkait pemesanan, pengiriman atau tanya-tanya seputar Aluna. Di samping meja saya itu tempat Sutaryo atau biasa dipanggil Tayo. Dialah tangan di balik kerennya desain layout dan cover novel-novel Aluna.”
“Wah, jadi ingin bertemu langsung orangnya.”
“Nanti pasti ketemu dan setiap hari ketemu. Asal jangan jatuh cinta aja soalnya udah ada pawangnya,” kekeh Ujang.
“Lalu dua meja di belakang meja kalian … itu tempat siapa?”
“Yang rapi banget itu meja Mas Biru. Sedangkan satunya meja kosong alias yang akan kamu tempati,” jelas Ujang.
“Oh Mas Biru. Aku ingat. Dia editor, kan? Dulu waktu ke sini kami sempat bertemu sekilas.
“Sebelumnya dia memang editor, tapi sekarang dia udah menjadi orang nomor satu di kantor ini. Oke, dia memang masih editor … tapi terkadang dia juga jadi bos, leader, HRD, supervisor dan banyak deh. Dia bisa jadi apa aja di Aluna, sesuai yang dia inginkan.”
“Kok bisa?”
“Tentu bisa. Dia orang nomor satu di sini. Dia pemilik Aluna.”
“Bukannya Pak Erzha? Suaminya penulis Sakina Adriana?”
Ujang menggeleng. “Itu dulu. Sejak Mas Erzha menikah, Aluna diserahkan sepenuhnya pada Mas Biru.”
Jingga mengerti sekarang. Ujang lalu mengajak Jingga ke ruang meeting dan pantry yang juga ada di lantai dua.
Sampai pada akhirnya mereka naik ke lantai tiga di mana koleksi novel-novel bagus berbaris rapi di rak. Ini adalah tempat yang sudah pasti disukai penulis dan pembaca. Ada ratusan atau mungkin ribuan novel yang bisa dipilih untuk dibaca.
Jingga pun diperbolehkan melihat-lihat sambil Ujang menjelaskan beberapa hal yang perlu Jingga ketahui. Selagi Ujang menjelaskan, Jingga sudah berdiri di depan sebuah pintu berwarna cokelat.
“Ini pintu apa, Pak Ujang?”
“Baru aja saya mau memberi tahu,” balas Ujang. “Itu rest room. Untuk tidur atau sekadar rebahan.”
“Boleh lihat ke dalam….” Jingga terkejut karena pintu rest room tiba-tiba dibuka dari dalam. Wanita itu refleks mundur.
“Lah, Mas Biru udah datang?” tanya Ujang mendekat.
“Oh, ini dia orangnya. Orang nomor satu di sini,” batin Jingga. Ia sebetulnya pernah bertemu Biru sebelumnya, lebih tepatnya satu kali, tapi kenapa ada perasaan yang tak bisa Jingga mengerti saat bertemu pria itu lagi? Apa karena ketampanan Biru membuat Jingga agak silau?
“Kelihatannya?” balas Biru pada Ujang. “Oh ya, menu hari ini apa?”
“Ya ampun! Maaf Mas Biru, saya tadi buru-buru ke sini karena harus menyambut tim baru kita ini, saya sampai lupa kalau hari ini saya yang kebagian piket menyiapkan makanan,” kata Ujang merasa bersalah.
“Kalau begitu saya pergi dulu, Mas Biru,” pamit Ujang kemudian. “Jingga, ini Mas Biru yang saya ceritakan tadi. Maaf office tour-nya sampai di sini dulu.”
“Saya yang akan melanjutkan office tour-nya,” timpal Biru.
Hanya satu kalimat seperti itu yang Biru ucapkan sudah berhasil membuat jantung Jingga berdetak tak wajar. Sebenarnya ada apa? Jingga tak pernah begini sebelumnya. Bahkan, berhadapan dengan Bian omes pun Jingga tak sampai begini.
Sial! Kenapa Jingga jadi deg-degan?