Dua tahunan yang lalu, Jingga pernah bertemu dengan Biru. Hanya bertemu sekilas dan perkenalan yang relatif singkat. Saat itu Jingga diajak oleh Elina untuk berkunjung ke Penerbit Aluna. Pertemuan mereka pun terbilang konyol. Jingga yang hendak masuk ke toilet, mendapati seseorang sedang terkunci di dalam. Jingga pun menolong membukakan pintu untuk Biru lalu mereka berkenalan. Se-singkat itu.
Status Jingga saat itu penulis yang mungkin akan menerbitkan karyanya di Aluna, tapi sampai saat ini wanita itu masih betah hanya menerbitkannya di platform berbayar saja.
Kalau boleh jujur, dalam perkenalan singkat mereka dua tahunan yang lalu, Biru tertarik pada Jingga. Namun, bukan tertarik dalam artian menyukai orangnya. Biru bisa dikatakan hanya tertarik pada nama Jingga. Sekadar nama. Apa mungkin karena bermakna sebuah warna seperti namanya sehingga Biru merasa terhubung? Atau jangan-jangan karena Biru bertemu Jingga tepat setelah dirinya ditinggal menikah oleh wanita yang disukainya? Sangat absurd, tapi itulah kenyataannya.
Saat itu Biru beranggapan jika dirinya dan Jingga dipertemukan lagi setelah pertemuan pertama tak terduga mereka di depan toilet, mungkin Biru akan melakukan pendekatan sebagai teman. Sementara hanya teman untuk semakin mengenal lebih jauh. Namun, Biru tak pernah bertemu Jingga lagi setelah hari itu.
Sebenarnya mereka juga sempat berpapasan di EL ICB kemarin. Hal yang membuat Biru merasa tak asing dengan wajah Jingga. Itu sebabnya Biru langsung mengiyakan saat Elina mengatakan ada yang ingin bergabung dengan tim Aluna.
Namun, setelah tahu Jingga hampir menipunya terkait biaya perbaikan mobil, Biru jadi menyesal pernah hampir tertarik pada wanita itu. Biru rasa Jingga adalah wanita yang sebaiknya ia hindari. Sayangnya ia sudah telanjur mengatakan iya pada Elina untuk menerima Jingga di Aluna tanpa lamaran resmi.
Dan hari ini tepatnya sekarang … setelah dua tahun berlalu mereka akhirnya dipertemukan kembali dan berdiri saling berhadapan. Jika dulu mereka bertemu saat Jingga hendak ke toilet, kali ini Biru tiba-tiba muncul di rest room. Sampai pada akhirnya, beginilah posisi mereka sekarang. Biru menggantikan Ujang mengajak Jingga menyusuri setiap sudut yang belum sempat Jingga masuki.
Meskipun deg-degan, Jingga tetap berusaha terlihat tenang seraya mengikuti Biru masuk ke rest room. Rupanya ada sofa dan tempat tidur yang kelihatannya nyaman. Tempatnya juga bersih dan rapi.
Jingga bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuatnya deg-degan dan canggung begini? Padahal mereka sebetulnya pernah berkenalan sekalipun itu dua tahunan yang lalu, tapi bukankah seharusnya Jingga bersikap biasa saja seperti saat berinteraksi dengan Ujang tadi?
“Tempat ini untuk istirahat,” kata Biru memecah keheningan. “Bahkan seharusnya saya nggak perlu menjelaskan fungsi ruangan ini. Tapi ini SOP jadi mau nggak mau saya menjelaskannya.”
“Ruangan mana yang belum kamu masuki?” tanya Biru kemudian.
“A-aku rasa udah cukup, Mas,” jawab Jingga sedikit gugup.
“Elina bilang, kan, kalau kamu langsung diterima tanpa lamaran resmi?”
“Iya, Mas.”
“Tapi ada hal yang nggak kalah penting dan harus kamu tahu. Status kamu di sini masih percobaan. Kurang lebihnya selama enam bulan. Kalau kinerja kamu oke, bakal lanjut menjadi tim tetap, tapi kalau nggak oke … ya maaf kamu harus stop.”
Jingga mengangguk-angguk. “Aku mengerti dan aku akan bekerja sebaik mungkin.”
“Kamu tahu apa tugasmu di sini? Elina juga memberi tahu, kan?”
“Social media specialist,” jawab Jingga.
“Ya, Aluna memang sedang membutuhkan itu,” balas Biru. “Tapi asal kamu tahu, tim Aluna ini bisa fleksibel mengerjakan apa aja. Bisa bantu Ujang, Sutaryo bahkan saya. Kamu nggak akan keberatan kalau bekerja di luar pekerjaan social media specialist? Karena jujur aja, di Aluna nggak ada job desk tertulis.”
Memang benar apa yang Biru katakan. Aluna itu bekerja santai dan suka-suka, tapi bukan berarti mengabaikan tanggung jawab. Aluna itu bebas, se-bebas-bebasnya. Ada waktunya sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan ada waktunya kompak melakukan pekerjaan dengan gotong royong.
Melakukan tugas tidak sesuai pekerjaan utama? Itu bukan hal aneh. Biru yang menjadi leader saja tidak keberatan untuk mencuci gelas bekas kopi. Bahkan, Biru juga masuk ke dalam list piket menyiapkan makanan.
Jabatan itu seakan hanya gelar karena nyatanya mereka tidak jauh berbeda. Hanya karena Biru berstatus bos dan yang lainnya bawahan, bukan berarti Biru menjadi gila hormat. Apalagi bekerja dengan Ujang dan Sutaryo sudah bertahan-tahun, membuat Biru terbiasa dengan mereka sehingga mereka berinteraksi selayaknya teman. Ketiganya pun sudah hafal dengan karakter satu sama lain.
Biru kembali berbicara. “Seperti yang kamu tahu, di Aluna ini hanya terdiri empat orang termasuk kamu. Jadi harus serba bisa. Kamu nggak keberatan?”
“Tentu aku nggak keberatan,” jawab Jingga. “Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini,” lanjutnya yang kali ini sudah mulai bisa bicara lebih santai, detak jantung tak wajarnya sudah mulai bisa dikendalikan seiring pembicaraan mereka yang mengalir bagai air.
“Kamu sangat ingin bekerja di sini?”
Jingga mengangguk.
“Alasannya?”
Jingga mustahil jujur kalau dirinya bekerja untuk menghindari apa yang kakeknya inginkan dan soalnya ia malah gagal diterima di Sunrise Media, padahal ia harus secepatnya mendapatkan pekerjaan. Namun, sekalipun hanya pilihan kedua yang kepepet, Jingga tidak menyesal masuk Aluna karena bekerja di sini bukanlah sesuatu yang buruk. Malah Jingga rasa bisa menyenangkan.
“Mas Biru pasti tahu aku ini seorang penulis, kan? Menurutku, bekerja di penerbitan sangat cocok untukku. Selain mendapatkan gaji, aku juga bisa sekalian mempelajari banyak hal di sini. Tentunya belajar tanpa mengabaikan tugas dan tanggung jawabku.”
“Tapi kamu nggak keberatan menjadi satu-satunya perempuan di sini?” tanya Biru lagi.
“Bukan masalah. Justru aku akan merasa menjadi yang paling cantik.”
“Baiklah, kalau begitu selamat datang di Aluna Publishing,” kata Biru.
“Udah? Gitu doang?” batin Jingga.
Jingga lalu tersenyum. “Terima kasih.”
“Jangan senang dulu.”
Jingga mengernyit. “Eh?”
“Meskipun bekerja di sini terbilang santai, tapi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi serta target yang perlu dicapai. Detailnya kamu akan tahu sendiri saat udah terjun langsung di Aluna,” jelas Biru.
“Apa nggak sekalian dijelaskan detailnya sekarang?”
“Saya ada janji hari ini. Jadi nggak bisa,” balas Biru. “Dan satu lagi yang perlu kamu tahu. Jika ada yang terbukti melanggar aturan di Aluna atau melakukan sesuatu yang merugikan Aluna … akan dikenakan denda sebesar lima juta rupiah,” sambungnya sengaja memberi penekanan pada tiga kata terakhir.
Kenapa harus lima juta? Jingga jadi ingat lagi dirinya sempat hampir menipu seseorang yang menabrak mobilnya di parkiran.
Bagi Jingga versi sekarang, uang lima juta sangatlah berarti. Itu sebabnya ia tidak akan melanggar peraturan. Apa pun itu.
“Lima juta? Baiklah, aku akan berusaha nggak melanggar apalagi sampai merugikan Aluna,” jawab Jingga kemudian.
“Ya, lima juta. Segitu saya masih baik. Harusnya lima juta dua ratusan, tapi saya sengaja memberi keringanan dengan membulatkannya jadi lima juta aja.”
Tunggu! Jingga merasa familier dengan kata-kata Biru. Bagaimana tidak, itu adalah kalimat yang Jingga katakan pada sang perusak mobil.
Jangan-jangan … Birukah orangnya?
Seketika Jingga panik. Bagaimana kalau Biru sungguh orang yang merusak mobilnya? Mobil yang bahkan sudah bukan milik Jingga lagi.
“Astaga. Mati aku kalau Mas Biru adalah pria perusak mobil.”
Jingga harus bagaimana? Ia bahkan baru resmi diterima bekerja.