Bab 7 - Kenapa Harus Jingga?

1519 Kata
“Kenapa malah bengong hanya karena takut didenda?” tanya Biru. “Denda hanya berlaku jika kamu melanggar aturan, untuk itu jangan pernah melanggar kalau nggak ingin kehilangan uang lima juta,” sambungnya. Sungguh, Jingga semakin curiga kalau Birulah sang perusak mobil kemarin. “Kamu resmi bekerja mulai besok. Untuk sekarang, kamu bebas jika ingin melihat-lihat dulu atau langsung pulang. Terserah kamu,” kata Biru lagi. “Kalau begitu saya pamit, ya,” sambungnya. Jingga tidak bertanya Biru akan ke mana karena di awal pembicaraan pria itu sudah menegaskan bahwa ada janji hari ini sehingga tidak bisa menjelaskan secara detail tentang aturan yang dimaksud. Janji dengan siapa? Jingga tidak tahu dan tidak mau tahu. Melihat Biru yang sudah bergegas turun ke lantai bawah, Jingga masih memperhatikan punggung pria itu. Jingga jadi penasaran … apa Biru sudah punya pacar? Jujur, dari wajah dan postur tubuhnya, Biru itu tipe Jingga banget. Jingga tak bisa memungkiri kalau dirinya tertarik pada Biru, terlepas dari Biru merupakan perusak mobilnya atau bukan. Jingga tadinya hanya ingin terhindar dari permintaan sang kakek dengan cara bekerja di bidang yang disukainya sekaligus mengembangkan karier menulisnya. Namun, jangan-jangan ada rencana tambahan yang mendadak masuk list … yaitu mengakhiri status jomlonya. Bisakah? “Astaga. Sepertinya pikiranku mulai eror,” gumam Jingga sambil bergegas menuruni tangga menuju lantai dua. Ia memang masih berada di lantai tiga. Sebenarnya lantai tiga ini sangat membuat betah karena Jingga bisa membaca novel apa pun yang diinginkannya. Namun, ada yang lebih penting dan harus Jingga periksa saat ini juga. Itu sebabnya ia akan langsung meninggalkan kantor ini dan akan kembali besok saat dirinya resmi bekerja. Di lantai dua, Jingga melihat Ujang sedang sibuk menatap layar komputernya. “Loh, aku pikir Pak Ujang nggak ada di sini karena tadi kesannya seperti pamit hendak pergi ke suatu tempat,” kata Jingga bingung. “Oh, iya saya memang piket menyiapkan makanan siang hari ini dan udah saya lakukan,” balas Ujang. “Jadi, saya memang punya resto andalan yang siap mengantarkan pesanan menjelang jam istirahat. Saya baru aja memesannya,” lanjutnya menjelaskan. Jingga mengangguk-angguk mengerti. “Itu sebabnya tadi saya nggak bisa melanjutkan office tour-nya karena harus buka komputer dan memesan semua ini,” ucap Ujang lagi. “Ngomong-ngomong gimana kelanjutannya?” “Aku resmi bekerja mulai besok dan sekarang aku mau pamit pergi.” “Kok pamit? Saya udah pesankan makanan buat kamu juga, Jingga. Saya pikir kamu mau lihat-lihat dulu tentang berbagai kegiatan di Aluna. Kamu juga belum bertemu Tayo, tadi kamu sendiri yang bilang ingin bertemu langsung.” “Maaf Pak Ujang, aku ada janji dan harus pergi sekarang juga.” “Setelahnya balik lagi ke sini, kan? Soalnya Mas Biru juga ada janji meeting dengan calon penulis, tapi menurutnya jam istirahat udah ada di sini lagi.” “Aku nggak bisa memastikan bisa balik lagi ke sini atau nggak. Untuk itu, berikan aja jatah makan siangku pada siapa pun. Aku nggak masalah.” Ujang mengangguk-angguk. “Baiklah kalau gitu. Sampai jumpa besok lagi ya, Jingga.” *** Jingga tertawa miris. Ia prihatin pada dirinya sendiri yang bisa-bisanya beranggapan bahwa menipu orang tak dikenal bukanlah masalah. Ya, Jingga pikir yang secara tak sengaja menabrak mobilnya di parkiran EL ICB adalah orang asing yang mustahil bertemu dengannya. Itu sebabnya Jingga bak orang tak punya dosa yang meminta ganti rugi dengan nominal kurang masuk akal. Sampai pada akhirnya, melalui CCTV terkuak bahwa sang penabrak itu bernama Biru. Pria yang saat ini menjadi bosnya. Apa-apaan ini? “Astaga,” ucap Jingga frustrasi. Saat ini ia sedang menaiki lantai dua EL ICB di mana toko buku milik Elina berada. “Udah menemukan yang kamu cari?” tanya Elina tepat saat Jingga menginjakkan kaki di lantai dua. “Mbak El, seperti yang aku ceritakan via telepon semalam bahwa aku mendadak jatuh miskin, itu sebabnya keinginanku untuk bekerja menjadi lebih besar dari sebelumnya. Dan sekarang aku resmi bekerja di Aluna. Aku sangat berterima kasih, tanpa orang dalam seperti Mbak Elina … aku belum tentu bisa diterima dengan mudah.” “Lalu tujuan kamu ingin melihat rekaman CCTV parkiran itu apa?” Tanpa pikir panjang, Jingga langsung menceritakan kekonyolan yang terjadi hingga membuatnya hampir menipu Biru. “Sumpah ya, aku cuma iseng doang. Aku pikir lima juta itu lumayan mengingat kondisiku yang mendadak begini. Aku masih syok dan perlu adaptasi. Aku spontan ingin meminta ganti rugi segitu,” kata Jingga. “Enggak dikasih pun aku nggak maksa loh.” “Dan ternyata orang yang hampir kamu tipu adalah Mas Biru. Bos Aluna. Parahnya lagi Mas Biru sadar kalau kamu pemilik mobil yang nggak sengaja dia tabrak itu.” Jingga mengangguk. “Kenapa aku harus mengalami kekonyolan yang datang bertubi-tubi?” “Minta maaf aja, jelaskan yang sesungguhnya,” saran Elina. “Aku memang berencana meminta maaf sekaligus menjelaskan semuanya. Aku harap Mas Biru memaafkanku karena jujur aja … aku nggak mau dipecat padahal baru mulai kerja besok. Mau diam aja pura-pura nggak terjadi apa-apa pun aku nggak bisa. Pokoknya aku harus minta maaf dengan benar.” “Saya maafkan, kok.” Suara Biru tiba-tiba muncul dari arah tangga. Sontak Jingga dan Elina menoleh ke arah Biru. Mereka berdua tidak tahu sejak kapan pria itu berada di sana, yang pasti sepertinya Biru mendengar semuanya karena mereka mengobrol di dekat tangga. “Mas Biru kenapa ada di sini?” tanya Jingga masih antara percaya tak percaya Biru yang tadi mengatakan ada janji dengan seseorang malah bertemu dengannya di sini. “Saya memang lebih dulu ke sini daripada kamu,” jawab Biru. Biru tidak bohong. Pria itu memang janjian dengan salah seorang penulis di kedai es krim-nya suami Elina yang terletak di lantai satu. Sayangnya ia yang sudah tiba lebih dulu mendadak mendapatkan kabar kalau penulis yang sedang dipinangnya untuk menerbitkan novel di Aluna malah batal datang karena punya urusan mendadak. Sebelum kembali ke kantor, Biru secara tidak sengaja melihat Jingga sedang berjalan naik ke lantai dua. Jingga spontan menatap Elina sebagai isyarat pertanyaan, kenapa Elina tidak bilang kalau Biru ada di sini? Tentu saja Elina mengerti dan langsung berkata pelan, “Aku nggak tahu Mas Biru ada di bawah. Dari tadi aku belum turun.” Jingga kemudian menghampiri Biru dan berhadapan dengannya. Dengan nada menyesal, wanita itu berkata, “Maaf ya, Mas Biru. Aku tahu aku salah, bisa-bisanya kepikiran untuk menipu. Aku nggak bohong kalau itu hanya iseng lantaran aku frustrasi.” “Ya, saya mendengar pembicaraanmu dengan Elina tadi bahwa kamu bukan hanya harus menerima kenyataan tentang bumper yang rusak, melainkan harus kehilangan mobilnya juga.” “Maafkan aku juga jika kata-kataku di telepon kemarin kurang mengenakkan. Aku menyesal dengan tindakan yang kulakukan tanpa berpikir panjang dulu.” “Mau es krim?” tawar Biru kemudian. Tentu saja Jingga mengernyit. Ia tidak salah dengar? “Anggap aja ini sebagai permintaan maaf saya karena kecerobohan saya di parkiran.” “Kamu kerasukan apa, Mas?” timpal Elina. “Terlepas dari Jingga yang hampir menipu saya, fakta kalau saya sudah menabrak mobilnya itu nggak bisa diabaikan begitu aja. Anggap aja saya membuat persoalan ini menjadi impas. Saya dan Jingga saling memaafkan,” kata Biru. “Selain itu, dia resmi bergabung sebagai tim Aluna, anggap aja traktiran es krim ini sebagai selamat datang dari saya,” sambungnya. “Saya tunggu di bawah kalau kamu mau.” Biru berkata sambil memutar tubuhnya dan turun ke lantai satu. “Jingga, jarang-jarang loh Mas Biru begini. Aku sarankan kamu ikutan dia ke bawah. Bukannya apa-apa, kapan lagi Mas Biru baik begini? Dia itu biasanya menyebalkan.” Jingga lalu mengangguk. “Aku turun dulu, ya. Jangan lupa pesanan novelku. Aku bakal ke sini lagi sebelum pulang buat ambil sekaligus bayar,” ucapnya. “Aman. Aku udah pisahin buat kamu, Ga,” balas Elina. “Ya udah sana, aku mesti lanjut rekap orderan nih.” Tak lama kemudian, Jingga benar-benar turun ke lantai satu. Matanya menyelidik ke sekeliling kedai es krim tersebut. Rupanya Biru sudah duduk dengan nyaman di meja paling ujung dan dekat jendela. Jingga kemudian menghampiri pria itu. Sungguh, Jingga tak pernah membayangkan akan makan es krim berdua dengan seorang Biru Langit Harsono. Bos sekaligus pria yang hampir ditipunya. Di antara semua hal tak terduga yang Jingga alami, boleh dibilang kali ini yang paling paling paling tak terduga. *** “Loh … Jingga mana, Mas?” Elina yang ke lantai satu untuk mengambil sesuatu langsung menghampiri Biru saat melihat pria itu hanya sendirian. Namun, di meja ada dua wadah bekas es krim yang sama-sama sudah kosong. “Udah pulang.” “Dasar. Bisa-bisanya dia lupa sama pesanan novelnya di atas.” “Dia buru-buru pergi setelah menjawab telepon,” kata Biru. Elina pun mengerti. “Tunggu, tunggu … gimana kalau pesanannya nitip sama Mas Biru aja? Selain karena kalian satu kantor, kalian juga tetanggaan.” Biru langsung mengernyit setelah mendengar kata terakhir yang Elina ucapkan. Tetanggaan? “Tetangga?” “Jadi Mas Biru nggak tahu? Jingga yang beli unit milik Sakina. Dalam kata lain, tempat tinggal kalian itu sebelahan.” Entah kenapa, Biru merasa aneh. Apa Jingga hanya kebetulan menjadi pemilik baru unit apartemen yang sebelumnya ditempati oleh wanita yang pernah mengisi hati Biru? Juga, kenapa harus Jingga?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN