Saat sedang makan es krim bersama Biru, tiba-tiba ada panggilan masuk ke ponsel Jingga. Jika saja yang meneleponnya bukan orang kepercayaan sang kakek, yang tak jarang berpihak pada Jingga, mungkin ia tidak akan menurut untuk bertemu dengan orang yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri. Sampai pada akhirnya di sinilah Jingga berada, di restoran yang berjarak sepuluh menit dari EL ICB.
“Kamu naik taksi ke sini?”
“Iya, Tante. Mobilku, kan, disita sama kakek.”
“Jingga, menurut saya … sebaiknya kamu penuhi aja permintaan kakekmu. Ini udah waktunya kamu mengalah. Mengingat Pak Ruly sampai menyita mobil bahkan menyetop uang bulanan padahal kamu adalah kesayangannya, saya rasa beliau tidak main-main.”
Wanita berusia akhir tiga puluhan itu melanjutkan, “Selain itu, kamu belum tentu mendapatkan pekerjaan, bukan? Asal kamu tahu, Jingga … tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan, apalagi yang sesuai dengan keinginanmu. Saya dengar kamu ditolak di Sunrise Media?”
“Ya, Tan. Aku gagal diterima SM.”
“Seperti yang kamu tahu, selama ini saya memang membelamu. Banyak memberi kebebasan untukmu agar bisa melakukan ini dan itu. Saya juga tak jarang memohon pada Pak Ruly untuk membiarkanmu semuanya sendiri selagi membuatmu senang. Hanya saja, izinkan saya memberi peringatan mulai sekarang. Saya tidak bisa terus mendukungmu karena saya sadar yang kamu lakukan justru bisa menyulitkanmu di masa depan.”
“Tante….”
“Ingat Jingga, Pak Ruly sudah mengambil langkah yang sulit saya lobi lagi. Saya tidak bisa membujuknya untuk mengembalikan berbagai fasilitas yang disita. Jadi bisakah kamu menurut setidaknya demi saya yang selalu membelamu? Ini demi kebaikanmu, Jingga.”
“Tante makasih banyak, ya. Tante selalu ada untukku dan rasanya nggak heran kalau aku menganggap Tante seperti ibuku sendiri,” balas Jingga. “Sayangnya aku harus minta maaf karena nggak bisa mengikuti saran Tante untuk mengalah pada kakek.”
“Ya ampun, Jingga. Kamu terbiasa dengan berbagai fasilitas yang Pak Ruly kasih. Sejak lahir hingga 26 tahun usiamu sekarang, kamu selalu hidup bergelimang harta. Jujur, saya takut kamu akan kesulitan beradaptasi.”
“Tante tenang aja ya, aku udah dapat kerjaan, kok,” jawab Jingga dengan nada tenang. “Tante juga jangan lupa kalau hobi menulisku bisa menghasilkan uang.”
“Kamu serius udah dapat kerjaan?”
Jingga mengangguk. “Aku masuk kerja di Aluna Publishing mulai besok. Mungkin kantornya nggak sebesar Sunrise Media, tapi setelah office tour hari ini … aku merasa jatuh cinta pada Aluna ini.”
“Terlepas dari ada penghasilan tambahan dari novel-novelmu di platform berbayar, tapi kamu yakin gajinya akan cukup untuk kehidupanmu sehari-hari? Karena Pak Ruly sudah mewanti-wanti agar saya jangan sampai membantumu secara finansial. Kamu mengerti, kan, maksud saya?”
“Tentu saja aku paham,” jawab Jingga. “Untuk itu terima kasih udah mengkhawatirkan aku. Tante memang yang terbaik.”
“Kamu yakin tidak akan berubah pikiran?”
Jingga menggeleng. “Jujur awalnya aku juga sempat cemas tentang kelangsungan hidupku sampai-sampai terbesit untuk menipu orang demi mendapatkan uang. Aku yang bahkan nggak tahu berapa total pengeluaranku karena nggak pernah menghitungnya … akan berusaha menjadi mandiri dan hemat. Anggap aja ini kesempatan belajar bagiku dalam mengelola keuangan. Berapa pun gajiku dan income menulisku, semoga cukup.”
“Kalau ternyata tidak?”
“Ada paylater dan pinjol,” canda Jingga.
“Kamu ini.”
“Aku bercanda, Tante. Pokoknya aku bakalan berusaha cukup-cukupin.”
“Kamu udah se-yakin itu. Saya tidak bisa memaksa. Semoga kamu tidak menyesal dengan keputusanmu.”
Jingga mengangguk. “Iya, Tante.”
“Dan jangan lupa, Pak Ruly melakukan semua ini agar kamu menyerah lalu mengabulkan permintaannya. Untuk itu, saat jalan yang kamu ambil sudah terasa buntu … kamu bebas kembali kapan aja karena Pak Ruly sangat menantikan itu. Saya pun sama.”
Jingga tersenyum. “Tolong bilangin sama kakek, ya. Kalau cucunya ini pasti bisa hidup mandiri.”
“Semangat ya, Jingga. Dan tolong juga jangan pernah berpacaran dengan suami orang, oke?”
“Tante pasti belum nonton unggahan klarifikasinya? Istrinya Mas Yogi udah meminta maaf karena salah sangka mengira aku pelakor.” Jingga memang tidak sengaja menontonnya di internet saat dalam perjalanan ke restoran ini.
“Meskipun dalam video viralnya wajahku nggak terlihat sehingga nggak begitu berpengaruh dengan hidupku, tapi aku tetap merasa lega perempuan itu tahu kenyataannya.”
“Semoga hal-hal semacam itu jangan sampai terulang ya, Jingga. Memangnya kamu ingin Pak Ruly langsung menikahkanmu dengan seseorang?”
“Ah, ancaman itu lagi. Memangnya kakek ingin menikahkanku dengan siapa, sih? Bukannya apa-apa, kakek itu hampir selalu mengatakan tentang perjodohan. Belakangan ini bahkan lebih sering menggunakan ancaman tersebut.”
“Kamu mau bertemu dengannya?”
“Dengan siapa?”
“Laki-laki yang dijodohkan denganmu.”
“Ya ampun, Tante jangan ikut-ikutan padahal itu cuma ancaman kakek. Padahal nggak ada yang namanya perjodohan.”
“Bagaimana kalau itu bukan sekadar ancaman?”
“Aku lihat-lihat dulu, kalau nggak cocok ya no!”
“Dasar. Kamu ini. Sekali lagi awas ya, jangan nakal apalagi berbuat aneh-aneh.”
***
“Biru! Biru! Bangun,” kata Erzha setengah berteriak. “Kenapa lo tiba-tiba mabuk, sih?”
Biru yang masih antara sadar dan tidak sadar hanya diam dan tak menjawab apa pun.
Ini sudah malam dan Erzha tiba-tiba mendapatkan kabar dari salah seorang temannya yang mengenali Biru. Temannya itu mengatakan kalau Biru sedang mabuk parah di sebuah klub malam. Tentu saja Erzha langsung ke sana untuk melihat sendiri kondisi sahabatnya itu.
Dengan bantuan petugas keamanan, Erzha lalu membawa Biru yang teler ke mobilnya. “Gue antar lo pulang sekarang,” ucapnya sambil bersiap mengemudikan mobilnya.
Selama beberapa saat hanya ada keheningan. Biru masih memejamkan mata sedangkan Erzha tetap fokus menyetir dengan kecepatan sedang.
Sampai kemudian Biru mulai bersuara, “Apa menjadi duda itu suatu aib?”
Erzha mengernyit. “Kenapa tiba-tiba nanya itu? Padahal lo udah sekitar enam tahun menduda.”
“Jawab aja,” balas Biru, masih sambil memejamkan mata.
“Apa lo habis bertemu salah satu keluarga lo?”
“Ya.”
“Pantesan. Lo disuruh nikah?”
“Begitulah.”
Erzha menggeleng tak habis pikir. “Lo mabuk parah karena disuruh nikah?”
Kali ini Biru membuka matanya, “Ini udah kesekian kalinya gue dipertemukan dengan seorang perempuan. Keluarga gue ingin gue menjalin hubungan serius dengan perempuan tersebut. Dan gue nggak mau. Meskipun dia cantik, tapi perasaan nggak bisa dipaksa, bukan?”
Erzha mengangguk mengerti.
“Ini bukan berarti gue belum move-on dari Sakina, ya. Jangan panik, gue udah nggak ada perasaan apa-apa lagi sama istri lo itu,” sambung Biru.
“Gue tahu.”
“Gue sengaja mabuk parah supaya perempuan itu ilfeel melihat gue. Gue harap ini terakhir kalinya keluarga gue berusaha menjodohkan gue.”
“Sebelum menjadi suami Sakina, lo tahu gue juga duda, kan?” balas Erzha. “Duda itu bukan aib dan menikah lagi itu bukan seperti sedang kejar setoran. Ada waktu yang tepat dan tentunya dengan orang yang tepat pula.”
“Lo bener. Ditambah lagi gue udah enam tahunan menyandang status ini, sampai-sampai gue terbiasa dan merasa nggak menikah lagi pun bukan masalah,” kata Biru. “Sial, kepala gue berat banget.”
“Lo merem aja. Gue bangunin kalau udah nyampe.”
Beberapa menit kemudian, mobil yang Erzha kemudikan sudah tiba di depan lobi. “Gue antar lo sampai depan pintu, bila perlu sampai tempat tidur.”
“Jangan berlebihan, Zha. Gue bisa sendiri. Gue udah nggak se-parah tadi.”
“Gue khawatir lo nyasar atau salah masuk.”
“Mana mungkin salah masuk? Kartu akses ini hanya untuk masuk ke tempat tinggal gue.” Biru menunjukkan kartu akses miliknya pada Erzha.
“Tapi lo masih kelihatan mabuk banget.”
“Makasih tumpangannya.” Setelah mengatakan itu, Biru langsung turun dari mobil Erzha. “Hati-hati di jalan, Bro.”
Erzha sebenarnya ingin mengantar Biru. Hanya saja, tepat setelah Biru turun ia menyadari ada beberapa panggilan tak terjawab dari Sakina. Istrinya itu bahkan mengirimkan chat yang meminta agar Erzha segera pulang lantaran anak mereka terbangun lalu menangis mencari Erzha. Tanpa pikir panjang, pria itu langsung pulang dengan keyakinan bahwa Biru pasti tiba di tempat tinggalnya dengan selamat. Kalaupun Biru ambruk lagi, akan ada petugas keamanan yang membantu.
***
Meskipun antara sadar dan tidak sadar, tapi Biru bisa berjalan tanpa terjatuh. Saat tiba di lantai yang ditujunya, Biru yang naik lift sendirian berjalan keluar lalu melewati lorong apartemen yang sepi.
Tiba di depan sebuah pintu, Biru menempelkan kartu akses miliknya pada pintu agar terbuka. Sayangnya kartu aksesnya tidak cocok sehingga pintu tak berhasil terbuka. Padahal Biru sudah sangat ingin melemparkan tubuhnya ke tempat tidur.
Ya, kartu aksesnya mustahil bisa membuka pintu karena Biru memang keliru. Sebenarnya pintu miliknya yang seharusnya Biru buka adalah pintu di unit sebelah. Biru salah pintu.
Dengan sisa-sisa kesadarannya, Biru menekan beberapa digit angka yang digunakannya sebagai password dan setelah mencobanya beberapa kali karena sempat salah, tak lama kemudian pintu pun terbuka. Ya, terbuka padahal itu bukan tempat tinggalnya. Sontak Biru yang mengira itu tempat tinggalnya langsung masuk.
Sementara itu, Jingga yang berada di kamarnya dan siap-siap tidur, tiba-tiba merasa ada yang masuk ke unit tempat tinggalnya. Tunggu, Jingga yakin tidak ada yang tahu kata sandi pintunya karena semenjak pindah ke sini Jingga tak pernah memberi tahu sandinya pada keluarga terutama kakeknya. Selain itu, mustahil ada yang datang ke sini kalau bukan pemilik lama karena Jingga memang belum mengganti sandinya karena menganggap itu angka yang cantik dan unik.
Masalahnya adalah … penghuni lama juga mustahil datang ke sini untuk alasan apa pun, apalagi sampai berani masuk tanpa permisi. Itu jelas tidak mungkin. Untuk itu, Jingga keluar dari kamarnya dengan waspada agar bisa melihat dan memastikan sendiri apakah ia salah dengar atau sungguh ada yang datang.
Sungguh, betapa terkejutnya Jingga karena yang masuk adalah Biru. Biru yang terlihat oleng dan sempoyongan khas orang mabuk.
“Mas Biru?” Jingga masih merasa ini tak masuk akal. Bagaimana caranya Biru bisa masuk ke sini?
"Jingga, siapa kamu sebenarnya? Bahkan, saat mabuk begini bisa-bisanya bayangan kamu muncul di hadapan saya.”
Jingga mengernyit. "Bayangan Mas Biru bilang?"
“Tunggu, kamu bisa menjawab dan artinya kamu bukan bayangan.”
“Aku tanya … gimana caranya Mas Biru masuk?” tanya Jingga lagi.
"Itu seharusnya menjadi pertanyaan saya.” Biru menjawab seperti itu karena sangat yakin ini tempat tinggalnya.
Sementara itu, Jingga masih berusaha memahami situasi ini. Berkali-kali memikirkannya pun Jingga tetap kebingungan.
“Kenapa kamu tiba-tiba muncul di hidup saya?" Biru malah kembali bertanya.
Jingga semakin tak mengerti. Maksud pria di hadapannya ini apa, sih?
“Bahkan, kamu berani masuk ke sini,” kata Biru lagi. “Apa karena saya duda sehingga kamu nggak sungkan untuk menggoda saya?”
“Hah? Aku yakin Mas Biru mabuk. Makanya omongannya semakin melantur. Padahal….”
"Mau tidur dengan saya?" potong Biru.