Haidar menoleh ke arah Shadha yang duduk diam. Dia meraih tangan Shadha, menggenggam dengan erat membuat wanita itu menoleh.
"Ada masalah?" Tanya Haidar.
Shadha menghela nafas, "Mas Zanet selingkuh."
Kening Haidar mengerut. Shadha menoleh lalu terkekeh, dia lupa, pasti Haidar tidak tahu siapa Zanet. Karena saat pertemuan mereka di rumah, Zanet tidak ikut datang. Katanya ada urusan di luar kota, maka dari itu Haidar tidak mengenal secara pasti pria yang sudah menikahi Kakaknya. "Suami dari Mbak Shafa."
"Loh, Mbak Shafa udah nikah? Kok aku baru tahu?"
"Yeah baru tau lah orang Lo ngilang bertahun." Sewot Shadha.
Haidar menggelengkan kepalanya. "Terus gimana?"
Haidar tidak mau memperpanjang masalah yang menurutnya tidak perlu lagi di bahas. Dia sudah tahu kesalahannya dulu adalah meninggalkan Shadha, meninggalkannya pun bukan tanpa alasan. Haidar melakukan ini pun terpaksa, jika saja tidak ada sesuatu yang membuatnya berkeinginan pergi semuanya tidak akan seperti ini.
"Bunda juga pernah mergokin Mas Zanet keluar dari hotel sama perempuan." lanjut Shadha.
"Kok bisa? Bukannya dia udah jadi suaminya Mbak Shafa?" Shadha memutar tubuhnya secara spontan lalu memandang Haidar. Tautan tangan mereka terlepas akibat refleknya Shadha bergerak.
"Lo tau nggak? Beberapa hari yang lalu cewek Mas Zanet ke rumah dan lo tau dia ngomong apa sama gua?"
"Apa?"
"Dia bilang mau nikah sama Mas Zanet dan minta restu sama Mbak Shafa. Gila nggak tuh orang!" Ujar Shadha menggebu.
Mendengar ucapan Shadha tubuh Haidar menegang. Ada sesuatu yang ingin dia katakan pada Shadha namun sepertinya ini bukan waktu yang tempat. Shadha memiliki emosi yang meluap, dia akan melampiaskan apapun yang di rasakan olehnya. Jika Shadha menahan emosinya, saat itu pula lah orang yang ada di sampingnya menjadi sasaran beberapa jam ke depan. Haidar menghindari hal itu, mengingat beberapa hari ini dia tidak bisa menghubungi Shadha pun rasanya khawatir luar biasa. Bagaimana jika dia mengatakan niatnya sekarang, bisa-bisa Shadha langsung menendangnya keluar dari dalam mobil. Lebih baik nanti saja saat mood Shadha sedang baik.
"Kamu ada di sana waktu perempuan itu datang?" Tanya Haidar.
"Kan emang gua yang ngobrol sama dia."
"Mbak Shafa kemana?"
"Nangis." Shadha memang tidak pernah menyembunyikan apapun padanya.
Shadha akan bercerita dengan semua ekspresi yang di milikinya. Jika sedang menceritakan sesuatu yang membuatnya kesal wajahnya akan terlihat kesal, jika ada sesuatu yang membuatnya bahagia wajahnya akan menampilkan kebahagiaan, begitu pun ekspresi-ekspresi lainnya. Wajah Shadha sebenarnya gampang di tebak dari suasana hatinya. Namun karena dia memiliki dua kepribadian, membuatnya akan sulit di tebak untuk ukuran orang yang tidak tahu siapa dia.
"Terus kamu ngobrol apa aja sama dia?"
"Gua ancem dia." Haidar menoleh sebentar.
"Ngapain kamu ngancem dia? Kalau dia ngadu sama Suami Mbak Shafa gimana?"
"Orang Mas Zanet juga udah gua ancem." Haidar menggelengkan kepala.
"Lain kali kamu nggak usah ikut campur urusan rumah tangga orang lain sayang." Shadha memukul bahu Haidar kuat.
Shadha langsung melipat tangannya di depan d**a, "Tadinya gua juga nggak mau ikut campur tapi tuh orang emang kudu di kasih pelajaran. Nggak ada yah yang boleh nyakitin Mbak Shafa, siapapun itu." Ujar Shadha dengan kembali memposisikan tubuh menghadap depan.
Haidar tahu karena Shadha tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Shafa. Shafa mungkin tidak akan tahu Shadha bagaimana, karena wanita itu hanya tahu jika adiknya Shadha memiliki sifat anggun dan baik, nyatanya hal itu jauh dari semua pikiran orang lain. Haidar saja bisa tertipu dengan kesan anggun dan wajah lugu Shadha namun saat sudah mengenal jauh wanita itu, dia mengerti. Menyesal? Tidak ada kata menyesal dalam hidup Haidar, mendapatkan Shadha menjadi istrinya saja rasanya masih seperti mimpi baginya.
"Terus reaksi laki-laki itu gimana?"
"Nggak tau dan nggak mau peduli." Shadha dengan sifatnya, semaunya, sesukanya dan sekeinginanya.
Shadha seketika terbawa emosi saat percakapannya di meja makan. Rasanya dia ingin mengambil sambal lalu menuangkan semuanya pada mulut Zanet. Jika saja tidak ada orang tuanya mungkin habis sudah Zanet dengan kata-kata yang di lontarkan nya. Gemas rasanya untuk tidak membalas dendam pada pria menyebalkan itu. Seketika suasana di mobil hanya ada keheningan, Shadha dengan kekesalannya, Haidar dengan berbagai banyak pikiran. Haidar melirik Shadha lewat ekor matanya, dia menghela nafas. Bagaimana menyampaikannya?
Hanya tinggal hitungan hari namun dia belum memberikan kabar apapun pada Shadha. Hanya tinggal beberapa hari semuanya akan berubah. Marahnya Shadha tidak akan bisa di bujuk hanya dengan sebuah black card. Shadha akan menolak mentah-mentah apapun pemberian darinya untuk permintaan maafnya. Shadha bukan tipe wanita yang gampang di bujuk, sekalinya marah semua orang akan kena imbasnya. Baru saja bertemu rindu dengan pujaan hati, Haidar harus kembali membuat kekesalan pada Shadha. Sabarnya Shadha tidak akan bisa di balas dengan permintaan maaf. Setia Shadha tidak akan bisa hanya memberinya kebahagiaan seumur hidup. Cintanya Shadha tidak akan bisa terganti dengan kasih sayang yang berlimpah darinya. Semua yang di berikan Shadha padanya, rasanya tidak bisa dia balas.
Haidar ingin seperti pasangan umum lainnya. Berjalan kemana-mana tanpa takut akan anggapan orang lain. Haidar ingin memperlihatkan bagaimana dia mencinta wanitanya dengan caranya. Nyatanya posisinya begitu tidak menguntungkan. Jika saja dia tidak dalam keadaan yang masih menggantung seperti ini, semuanya pasti akan baik-baik saja.
"Astaghfirullahaladzim, Haidar." Teriakan Shadha membuat Haidar kembali ke dunianya. Matanya membulat lalu kakinya menginjak rem dengan kuat.
Haidar merentangkan tangannya menghalangi tubuh Shadha. Dia memandang ke arah depan dimana seorang pedagang kaki lima berdiri dengan rasa shock. Shadha terdiam, masih shock dengan apa yang barusan akan terjadi padanya jika dia tidak berteriak. Shadha menoleh, mulutnya terbuka untuk mengatakan sesuatu namun saat matanya melihat tatapan Haidar yang tidak biasa membuatnya menghela nafas. Shadha melepaskan tangan Haidar yang menahan tubuhnya, dia membuka safety belt nya lalu turun keluar dari dalam mobil untuk menghampiri sang Korban.
"Maaf, Pak. Apa bapak baik-baik aja?" Shadha memandang pria tua sekisar 60 tahunan membawa gerobak dagangan yang hampir di tabrak oleh Haidar.
"S-saya nggak apa-apa, Neng." jawab pedagang itu.
"Apa perlu kita ke rumah sakit, Pak? Saya takut ada sesuatu sama kondisi Bapak."
"Nggak perlu Neng, Bapak cuman shock aja." Shadha mendekat beberapa langkah lagi lalu membantu Bapak itu ke sebrang. Dia menarik gerobak dagangan bapak itu ke bahu jalan.
Shadha berjongkok bersamaan Bapak pendagang itu yang duduk di hadapannya. "Bapak saya minta maaf, saya bener-bener nggak sengaja."
"Nggak apa-apa, Neng. Lagian bapak juga yang tadi jalan nggak liat kanan-kiri." Shadha menatap Bapak pedagang itu dengan perasaan kasihan.
Shadha tersenyum dengan lembut. Dia berdiri dari jongkoknya lalu berjalan ke arah mobil. Saat membuka pintu mobil, Haidar masih terdiam kaku membuatnya menggelengkan kepala. Shadha merogok sesuatu di dalam tas selempang kesayangannya. Dia tersenyum saat menemukan benda yang di carinya. Kembali menutup pintu mobil, Shadha berjalan ke arah Bapak pedagang itu namun matanya langsung mengedar. Kemana bapak itu perginya? Shadha berjalan ke depan mobil lalu berputar mencari bapak pedagang itu.
"Tadi perasaan masih disini deh? Gua juga nggak lama kok ngambilnya." Shadha bergumam pelan.
Shadha mengangkat bahunya lalu kembali masuk ke dalam mobil Haidar. Saat dia sudah duduk, Shadha membalikan badannya memandang Haidar. "Kalau emang butuh istirahat harusnya Lo bilang sama gua, biar gua yang nyetir. Lagian sok-sokan banget sih jemput gua segala, biasanya juga nggak pernah kaya gini." Omel Shadha.
Sedangkan Haidar masih terdiam tanpa mendengarkan omelan dari Shadha. Kesal! Shadha menarik tas laptop miliknya bersama tas selempang nya, dia keluar dari mobil lalu menutup pintu mobil dengan kasar. Untungnya Tuhan memberikannya keberuntungan karena saat dia keluar ada sebuah taksi lewat yang kosong. Shadha menghentikannya lalu masuk ke dalam tanpa memikirkan bagaimana nasib Haidar. Bukan Shadha meninggalkan Haidar begitu saja, Haidar membutuhkan waktu sendiri dan hal itu tidak akan baik jika mereka terus bersama. Shadha yang memiliki emosi tidak terkontrol pasti akan mengamuk, maka dari itu dia sadar diri.