Let's Love 7

2524 Kata
"Ternyata menghilangnya elo dua tahun ini nggak ada artinya sama sekali. Semua rencana tetap akan berjalan seperti 2 tahun lalu." Menghela nafas untuk kesekian kalinya. Menatap ke arah yang sama dengan pandangan kesal. Shadha kembali menghela nafas, sesuatu yang mendesak di pelupuk matanya mulai siap pecah. Namun sebisa mungkin Shadha menahannya dengan terus menerus menarik nafas. Baru beberapa Minggu bertemu dengan bahagia yang meluap lalu sekarang dia mendapatkan sesuatu yang menyakitkan. Shadha memalingkan wajah enggan untuk menatap sang lawan bicara. Tidak lama setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Rasa sesak membuat pertahanannya tubuh seketika. "Jangan nangis." Jangan menangis? Dua kata yang membuat Shadha ingin mengamuk sekarang juga. Dua kata yang membuatnya ingin sekali melemparkan barang yang ada di hadapannya. Jangan menangis katanya? Mana bisa. Semua wanita jika ada di posisinya pun akan menangis sama seperti halnya Shadha. "Sayang?" Haidar mencoba meriah tangan Shadha namun di tepis oleh wanita itu. "Aku janji, semuanya akan baik-baik aja. Ini cuman masalah waktu dan aku hanya perlu mengulur waktu supaya semuanya cepat kembali ke keadaan semula." Bujuk Haidar. "Tapi kenapa harus kembali ke rencana dulu, Haidar?" ujar Shadha tanpa menoleh ke arah Haidar. "Karena ini satu-satunya cara supaya aku bisa leluasa ngambil alih kembali perusahaan itu." "Apa nggak ada cara lain? Misalnya bakar perusahaan itu, mungkin." "Yah mana bisa, sayang. Kamu mau kita jatuh miskin?" Shadha menoleh. "Kalau miskin ngapain ngajak-ngajak gua segala, sendirian aja sana." "Jadi kamu mau enaknya aja?" "Iyalah, dimana-mana tuh cewek nikmati hasil bahagianya, kalau susah yah siapa juga yang mau." Dumel Shadha. Haidar tidak menjawab, dia tidak akan mungkin mendebat Shadha di kala wanita itu sedang dalam keadaan marah. Bukan Haidar tidak bisa marah pada Shadha namun untuk apa, semuanya percuma. Shadha menghela nafas, lalu memutar kepalanya menghadap Haidar. "Berapa lama?" "Berapa lama apanya?" "Nikahnya lah." "Aku nggak tau." Brak! "Masa lo nggak tau sih? Lo sendiri kan yang mau jalaninnya." Shadha dengan amarahnya memang mengerikan. "Astaghfirullah, Shadha, Lo berdosa banget." Celetuk Surya. "Terserah!" Shadha menarik tasnya lalu pergi meninggalkan Haidar tanpa mengatakan apapun. Haidar menatap punggung Shadha yang pergi begitu saja. Helaan nafas terdengar berat membuat Surya meringis. Jika dia ada di posisi Haidar, sepertinya tiada hari mereka akan bertengkar, begitu sabarnya pria itu menyikapi kelakuan Shadha yang sudah di luar batas. Bucin-nya Haidar sudah bukan lagi level pertengahan namun tingkat lebih tinggi. "Lo baik-baik aja kan?" Tanya Surya. "Gua baik." "Akhir-akhir ini emosi Shadha sering naik turun. Kemarin aja Ibnu dapet bogem dari dia cuman gara-gara nggak sengaja nginjek sepatunya." ujar Surya menjelaskan. Haidar bangkit dari duduknya. Dia meraih ponselnya, "Tolong bilang bang Keenan buat bujuk Shadha." "Lo mau kemana?" "Gua ada urusan, gua pergi." Surya menganggukkan kepalanya. Haidar pergi meninggalkan rumah tempat dimana mereka berkumpul. Jika saja semuanya tidak serumit ini pasti akan baik-baik saja. Semuanya masalah yang menghampirinya, menguras otaknya untuk berpikir, cara bagaimana lagi yang mesti di lakukan nya? Entahlah, untuk sekarang Haidar akan melakukan dengan cara yang sama. Bagaimana dengan Shadha biarkan nanti di pikirkan. ??? "Sha." "Hmmm." "Asli nggak mau bantu gua?" "Nggak, Bang." "Yakin?" "Yakin gua." "Ya udah gua minta bantu Ayumi aja buat ke pesta pernikahannya laki Lo." Mendengar itu sontak Shadha langsung bangkit berdiri. "Gimana,gimana, Bang?" "Biar Ayumi aja yang ke sana." "Jangan gitu ih. Gua bener-bener nggak rela laki gua nikah Bang." Keenan tertawa saat melihat wajah sengsara Shadha. Sudah beberapa hari ini semenjak pertengkaran Shadha dan Haidar, pasangan itu sama sekali tidak mencari satu sama lain. Haidar sibuk bertanya pada Keenan bagaimana kondisi Shadha, begitu pun Shadha. Mereka bahkan tidak berani untuk bertanya satu sama lain selain bertanya pada orang di sekitarnya. Terkadang Keenan merasa lucu dengan kelakuan mereka. Shadha yang terlalu berapi-api dan Haidar yang terlalu tenang membuat keduanya terlihat sempurna. Keenan ikut bahagia dengan kebahagiaan yang mereka miliki. Setidaknya hanya ini yang bisa Keenan berikan pada Haidar, kebahagiaannya bersama wanita yang di cintai nya. "Makanya punya laki yah di jaga, berjuang sama elu nikah sama cewek lain." Ledek Keenan. "Nggak lucu yah, Bang." Mood Shadha langsung terjun seketika. Shadha benci hari ini. Dia akan mencatat tanggal, bulan, tahun, detik, menit, jam dan hari dimana hal itu mengerikan bagi hidupnya. Shadha menangis beberapa hari ini setelah pertemuannya dengan Haidar. Bayangkan oleh kalian, pria yang berjuang bersamanya dari nol malah menikah dengan wanita lain? Shadha tidak bisa mengatakan apapun selain air matanya terus mengalir. Dia kesal, benci dan tidak mau di ganggu. Wanita mana yang tidak menangis mendengar jika orang yang di cintai nya menikah? Wanita mana yang mau di madu? Semua wanita juga tidak ingin termasuk dia. Mendengar kemari Shafa mendapat gangguan seperti itu amarahnya memuncak, bagaimana ini yang sudah menikah? Shadha menarik kedua kakinya lalu menangis di lipatan tangannya. Keenan yang melihat Shadha menangis hanya bisa menghela nafas. Shadha sendiri yang memberikan izin pada Haidar untuk menikah tapi sekarang dia yang uring-uringan. Sebenarnya Keenan pun tidak setuju dengan usulan Shadha karena tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Keenan percaya penuh pada Haidar tapi untuk percaya sepenuhnya pada Shadha sepertinya tidak bisa. Dulu Shadha mengatakan dengan enteng namun sekarang, dia baru merasakan bagaimana rasa sakitnya di duakan. Entahlah, yang menjadi pikiran Keenan sekarang, dulu otak Shadha pergi kemana saat dia setuju akan permainan ini. "Gua pengen pergi dan nge bom itu hotel sekarang juga." Keenan tersenyum geli mendengarnya. "Iya dan laki Lo ikutan mati di sana." "Yah gua culik dulu sebelum pengeboman." "Udah deh lebih baik sekarang Lo balik ke rumah terus dandan yang cantik." "Ngapain dandan? Gua lagi patah hati gini, gimana mau dandan?" "Orang tua Lo pasti di undang sama keluarganya Haidar dan itu waktu yang bagus buat Lo masuk ke dalam keluarga itu untuk curi hati mereka." "Iya setelah itu gua di jodohin sama si b******k Rafael gitu, enak aja." "Rafael nggak akan pernah sudi nerima wanita yang punya agama tinggi kaya keluarga elo." "Kenapa?" Keenan tidak menjawab. Dia kembali sibuk dengan berkas yang ada di atas meja. Shadha mengusap air matanya. Jika dia pulang sekarang Bundanya pasti khawatir karena melihat matanya yang bengkak. Tadi pagi memang dia pamit, niatnya mau pergi bersama Ayumi. Namun sepertinya tidak akan terlaksana karena Keenan menyuruhnya untuk pergi ke pernikahan Haidar. Demi Tuhan! Keenan emang cari mati dengannya. Bagaimana nanti saat dia datang ke pesta pernikahan itu, tiba-tiba karena cemburu Shadha menodongkan pistolnya pada istri Haidar dan menembaknya saat itu juga. Ya Tuhan, Shadha tidak tahu bagaimana nanti saat dia berada di sana. Shadha memang wanita pencemburu maka dari itu dia tidak bisa melakukanya. "Udah sekarang Lo pulang terus dandan yang cantik. Pake baju yang selama ini di larang Haidar buat Lo pake." Shadha yang mendengar itu tertegun. Tidak lama bibirnya menyeringai. Yeah, dia tahu sekarang kenapa Keenan menyuruhnya datang ke pesta pernikahan Haidar. Lihat saja, jangan panggil dia Shadha jika tidak bisa membuat Haidar dua kali lipat dari rasa cemburunya. Shadha bangkit berdiri lalu mendekat, setelah itu memeluk Keenan dengan erat. "Makasih, makasih banyak karena Lo mau bantu gua Bang." Keenan mengganggu kan kepalanya, mengusap rambut Shadha yang halus. "Udah sepantasnya gua lakuin sesuatu buat kalian." Keenan melakukan hal ini memang tujuannya sama. Keenan masih bagian keluarga Haidar hanya saja banyak yang tidak tahu keberadaan pria itu selama ini. Keenan menghilang 12 tahun lamanya saat usianya masih remaja. Sekarang sudah waktunya dia mengambil alis semuanya. Aset Haidar sudah atas nama Shadha tinggal sisanya dia akan mengambil alih atas nama orang lain. Mereka harus menekan perusahan itu untuk menjual sisa sahamnya. Maka sebisa mungkin Keenan memasukan Ayumi untuk masuk ke perusahaan itu. Ayumi, wanita menyebalkan itu walaupun memiliki tingkah pecicilan namun otaknya tidak kalah licik sebanding dengan Shadha. Keenan maklumi karena dua wanita ini memiliki ikatan yang kuat sedari sekolah dasar. ??? Haidar menatap ponselnya. Resmi sudah dia menjadi suami dari Risa Hermawan. Ada rasa kesal di dalam hatinya mengingat sekarang dia memiliki status lain dengan wanita yang bahkan tidak di harapkan olehnya. Haidar sedari tadi mengurung diri di kamar tanpa mau keluar setelah acaranya selesai. Dia benci harus berhadapan dengan orang tuanya. Dia ingin sekali mengeluarkan pistolnya lalu menembak mereka sampai mati. Dia menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Hatinya berdenyut ngilu saat semalam mendengar isakan keluar dari mulut Shadha. Walaupun mereka sedang dalam mode tidak baik, namun Haidar tidak bisa melepaskan Shadha dalam kondisi yang sedang kacau. Dia ingin memeluk dan menenangkan wanita itu untuk tidak menangis. Namun sialnya dia hanya bisa menatap Shadha dari balik jendela kamar wanita itu. Shadha sendiri yang bilang untuk menerima pernikahan ini nyatanya dia juga yang menangis. Haidar menganggap Shadha hanya merengek manja untuk membatalkan pernikahan ini. Tapi dia mendengar sendiri jika Shadha tidak sanggup dan menangis. Dia melemparkan ponselnya dengan kesal sampai pecah berkeping-keping. Tidak peduli dengan benda mahal itu, yang pasti sekarang emosinya sedang tidak stabil. Bunyi ketukan di pintu sama sekali tidak membuatnya beranjak. Sebentar lagi mereka akan mengadakan pesta di ballroom hotel miliknya. Pernikahan ini impian Shadha tapi wanita itu harus mengalah demi nya. Haidar memegang jantungnya yang berdetak kuat. Hatinya berdenyut ngilu setiap mendengar tangisan Shadha. Jika saja dia tidak egois semuanya tidak akan seperti ini. 2 tahun menghilang tanpa kabar dan setelah pulang membawa kabar buruk ini. Keenan tahu dia dimana, hanya saja pria itu diam tidak banyak membantu Shadha yang uring-uringan bahkan mengumpat mengatakannya b******k. Setiap Shadha mengutuknya Haidar tahu karena tanpa wanita itu tahu Keenan menyambungkan sambungan telepon padanya. Pernikahan ini memang sudah lama di rencanakan sebelum dia menghilang selama 2 tahun, bahkan Shadha pun sudah mengetahuinya. Mengingat wajah cantik Shadha yang berwajah sayu slalu membuatnya tidak tahan untuk memeluknya dengan erat sekarang juga. Haidar mendapatkan Shadha tidaklah mudah. Dia membutuhkan 1 tahun untuk meyakinkan wanita jika perasaan yang di milikinya tidaklah main-main. Butuh 1 tahun Haidar menjadi bagian hidup wanita itu. Butuh perjuangan mendapatkan Shadha yang slalu menghindar darinya. Dan sekarang setelah dia mendapatkan wanita itu, Haidar harus menyakitinya dengan pernikahan sialan ini. Haidar mengepalkan tangannya, dia tidak akan tinggal diam. Tidak boleh ada yang menyakiti Shadha siapapun itu. Suara ketukan di pintu kembali terdengar. Dia menarik nafas untuk menetralisir kemarahannya. Haidar memang pria dingin yang tidak akan pernah bisa di sentuh oleh siapapun. Bahkan Haidar slalu membentengi diri dari banyaknya orang yang mendekat padanya. Tidak ada yang bisa mengartikan keinginannya selain Shadha. Tetap wanita itu yang tahu segala sesuatu tentangnya. Bahkan Shadha berani bertaruh nyawa demi melindunginya. Mengingat itu hatinya kembali berdenyut pilu. Bangkit dari ranjang lalu berjalan ke arah pintu. Dia memutar kuncinya, menekan gagang pintu lalu menariknya. Di sana berdiri Risa yang tersenyum dengan Gaun penggantinya. "Kamu belum ganti baju?" Dia hanya diam. "Kalau begitu biar aku bantu." Risa akan masuk ke kamar miliknya. Namun Haidar langsung menghadang wanita itu. "Tidak perlu. Saya bisa memakainya sendiri, kamu bisa pergi lebih dulu." "Tapi aku pengen bantu kamu." "Saya tidak butuh bantuan kamu." "Aku ini istri kamu jadi biarin aku masuk." Haidar menghembuskan nafas, dia membuka pintu kamarnya lalu membiarkan Risa masuk. Setelah wanita itu masuk dia menutup pintu lalu pergi berjalan menjauhi kamar miliknya. Yeah, Haidar memilih pergi di banding harus satu ruangan dengan wanita itu. Dia masuk ke ruangan lain di kamar hotel ini. Suara ketukan kembali terdengar, dia mendegus ada apa lagi wanita menyebalkan itu? Haidar tidak memperdulikannya dia sibuk dengan keheningan di ruangan itu. Ketukan yang awalnya pelan menjadi brutal. Haidar kesal, dengan cepat bangkit dari duduknya. Haidar akan melontarkan bentakan namun tertahan saat melihat sebuah senyuman manis yang sering di lihatnya berdiri di hadapannya. Haidar menoleh ke sana kemari lalu menarik wanita itu masuk ke dalam kamarnya, tidak lupa mengunci pintunya. "K-kamu ... Kenapa kamu pakai baju itu?" Haidar menatap marah pada wanita yang ada di depannya. "Kenapa? Toh, nggak terlalu keliatan lekuk tubuh gua." Haidar mendekat lalu menyentil kening wanita itu dengan keras. "Awww kenapa di sentil sih?" "Karena kamu udah langgar semua peraturan yang aku buat." "Peraturan ada buat di langgar." "Ganti baju kamu, aku nggak suka." "Bodo amat." "Shadha." "A-apa?" Yeah wanita yang datang ke kamar miliknya Shadha. Haidar tertegun melihat mata itu yang berkaca-kaca. Dia meraih Shadha ke dalam pelukannya lalu memeluknya dengan erat. "Jangan nangis." "Nggak bisa." "Kamu bilang ini cuman sementara kan, jadi kamu harus percaya sama aku." "Gua slalu percaya sama Lo tapi rasa takut ngalahin kepercayaan gua." Haidar mengangguk paham. Dia merenggangkan peluknya lalu mengusap air mata yang menetes di pipi Shadha. "Ini nggak akan lama. Aku janji setelah semuanya beres, aku bakal akhiri semuanya." "Gua nggak suka di kasih janji, Haidar. Lo slalu ingkari janji itu dan akhirnya gua kembali terpuruk buat kesekian kalinya." Haidar menghela nafas. Matanya mendadak sayu lalu dia mencium Shadha dengan segenap perasaan miliknya. Haidar tahu selama ini dia terlalu banyak mengumbar janji pada Shadha. Sudah banyak janji yang di ingkari nya. Shadha slalu percaya padanya apapun yang di lakukan olehnya. Shadha slalu mendukungnya tanpa banyak bertanya. Haidar tidak akan berjanji sekarang, dia akan melakukanya dengan cepat. Apapun yang terjadi nanti dia akan menanggung semuanya. Shadha sudah terlalu banyak menanggung rasa sakit itu. Haidar bisa saja menghentikan semuanya namun Keenan mengatakan tidak sepantasnya mereka berhenti di tengah jalan. Setengah akar itu sudah tercabut dari tanah dan hanya tinggal beberapa persen lagi mereka bisa mencabut akarnya. Semua batang, daun dan buahnya sudah di lumpuhkan. Hanya tinggal akar yang membutuhkan kekuatan penuh. Haidar melepaskan ciumannya lalu menempelkan keningnya. "Aku nggak janji bisa slalu bahagiain kamu sayang. Aku cuman minta kamu percaya dan bertahan di samping aku. Karena selama ini aku bertahan sama kamu yang slalu ada di samping aku." Shadha menganggukkan kepalanya. "Janji nggak akan jatuh cinta?" "Janji." "Nggak akan kasih dia harapan?" "Janji." "Nggak akan ngasih perhatian?" "Janji." "Nggak akan nurutin orang tua kamu yang minta cucu?" "Janji." "Nggak akan nyentuh dia?" "Kalau itu nggak janji." Mata Shadha melotot dia akan membuka mulutnya namun Haidar dengan cepat menutupnya dengan bibirnya. "Asalkan setiap aku pengen di layani sama kamu, kamu harus mau." Nafas Shadha tersengal. Dia memukul punggung Haidar. "Setiap Lo minta kapan gua nolak coba." Haidar tersenyum lalu mencium kening Shadha. Seakan ingat sesuatu Haidar menatap Shadha, "Sayang tolong ganti yah bajunya." tidak rela rasanya saat sesuatu miliknya begitu saja di lihat orang lain. "Males ah udah bagus ini." "Sayang?!" Rengek Haidar. "Kalau Lo honeymoon gua harus di ajak yah, nggak mau tau." "Iyalah. Kamu kan istri aku, yah kali aku honeymoon sendiri." "Kan ada si madu." "Ohh jadi aku boleh nyentuh dia nih?" Haidar tersenyum jahil. "Silakan. Tapi siap-siap aja aset masa depan Lo gua tebas." Haidar terkekeh lalu kembali memeluk Shadha dengan erat. "Aku cinta kamu, Shadha." "Gua juga cinta sama elo." Beginilah perjalanan cinta Haidar dan Shadha. Mungkin Shadha bersikap terlalu kekanak-kanakan, slalu berlaku sesuka hatinya. Namun tetap saja, jika ada masalah seperti ini, Shadha pula yang akan mendekat. Pertengkaran mereka memang bisa di katakan masih terbilang biasa saja. Sudah biasa bagi mereka berjauhan, sudah biasa mereka bertengkar, karena bagi keduanya seperti inilah cinta mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN