"Dari mana aja, Sha?" Shadha tersenyum.
"Dari toilet, Bunda."
"Kok lama banget?"
"Salah jalur tadi hehe." Bunda Arini menggelengkan kepalanya.
"Mbak Shafa kemana, Bun?"
"Di ajak pergi ketemu sama temen-temen Mas mu." Bunda Arini menunjuk ke arah kemana perginya Shafa dan Zanet.
Shadha menyipitkan mata mencari sosok Shafa dan Zanet. Tadi saat di rumah awalnya Shafa menolak untuk ikut bersama bahkan dia mengatakan masih banyak pekerjaan. Namun Bunda Arini terus membujuknya, mau tidak mau Shafa akhirnya pergi. Shadha tahu apa yang di pikirkan Shafa dan hal itu menggangu dia sekali. Bisakah, Zanet menghormati keputusan yang Shafa inginkan? Dan lagi untuk apa Zanet sibuk ingin memamerkan kecantikan istrinya, di rebut baru tahu rasa dia. Tanpa Shadha sadari dia mendengus kesal membuat Bunda Arini menoleh kaget.
"Sha, kamu baik-baik aja kan?" Shadha terkejut.
"Eh, kenapa Bun?"
"Kamu menghela nafas kaya kesel gitu?"
"Masa sih Bun?"
"Iya. Kenapa? Ada masalah?" Shadha meringis.
"Nggak apa-apa, Bunda." Bunda Arini menatap Shadha dengan seksama.
Dia pun akhir-akhir ini merasa curiga dengan sifat Shadha. Secara tidak sengaja Shadha sering menampilkan raut tidak sukanya pada Zanet. Shadha tidak pernah seperti ini sebelumnya, sepertinya memang ada yang di sembunyikan Shafa dan Shadha tahu permasalahannya. Bunda Arini terkadang merasa jika kedua anaknya lebih memilih memendam perasaan mereka untuk bercerita padanya. Mereka lebih banyak diam jika memiliki masalah, padahal Bunda Arini sebagai Ibu merasa siap menampung apapun yang kedua anaknya ceritakan. Tapi, entah kenapa keduanya seperti sepakat untuk tidak menceritakan permasalahan mereka.
Shafa semenjak pulang dari pesantren beberapa tahun lalu pun dia lebih banyak menghabiskan diri dengan belajar, belajar dan belajar. Pernah suatu ketika saat itu Ustadzah dari pondok pesantren memberi tahunya jika Shafa memiliki masalah dengan santriwati hanya karena santriwan berniat untuk berta'aruf dengannya. Bunda Arini dan Ayah Banu sampai kaget mendengarnya. Kenapa Shafa tidak bercerita pada mereka? Kenapa Shafa diam saja jika di tanya? Dari sana lah Bunda Arini dan Ayah Banu mengerti jika Shafa lebih memendam perasaannya sendiri di bandingkan berunding dengan mereka. Bunda Arini tidak bisa melakukan apapun selain menunggu.
Jika Shadha, sejak kapan dia seperti ini? Sudah sejak lama, mungkin saat dia masih SMP. Shadha seperti perlahan menjauh dari mereka, menjaga jarak dengan mereka, banyak perubahan pada diri Shadha dan ini yang Bunda Arini sedang cari tahu. Kalau pun di tanya Shadha akan slalu mengatakan semuanya baik-baik saja. Hah, Bunda Arini sudah berusaha mencari celah namun tetap saja tidak bisa.
Bunda Arini meraih tangan Shadha lalu menggenggamnya. "Siapapun yang nyakitin kamu, kamu masih punya Bunda, Ayah dan Mbak Shafa."
Shadha tersenyum tipis, sangat tipis. Kalau pun gua berbagi cerita, Bunda sama Ayah nggak akan bisa bantu. Coba kalau gua nikah sama Haidar secara wajar pasti semuanya nggak akan kaya gini. Hah, udahlah Sha ini kan keputusan yang Lo ambil. Baik buruknya Lo harus terima, gimana pun sekarang Haidar suami Lo. Suami yang mesti Lo cintai seumur hidup. Ya Tuhan, cobaan ini begitu berat keluh hati Shadha. Shadha mengelus tangan Bunda Arini meyakinkan semuanya baik-baik saja.
"Mereka cocok yah, yang satu ganteng, yang satunya cantik." Celetuk Bunda.
Shadha yang mendengar itu seketika rasa mual di rasakan olehnya. Perkataan Bunda barusan rasanya pengen gua ilangin tapi mau gimana lagi Bunda udah ngomong jelas deket kuping gua.
"Nggak ah Bun ceweknya biasa aja." Balas Shadha.
Bunda menatap Shadha, "Iri yah kamu?"
"Hilih, iri kenapa Bun?"
"Yeah mereka udah nikah tapi kamu masih skripsi. Bunda denger pengantin wanitanya cuman beda setahun sama kamu, lebih tua kamu di banding dia."
"Masa?"
"Iya, nanti kita kenalan lebih deket deh sama pengantin wanitanya." Shadha mengerutkan kening lalu memalingkan wajah. Jangankan untuk berkenalan lihat mukanya saja Shadha tidak suka.
"Assalamualaikum, Bunda, Shadha."
"Wa'alaikumsalam. Masya allah Ayumi cantik sekali." Ujar Bunda Arini memuji Ayumi.
"Dari dulu Yumi mah udah cantik, Bun." Shadha pura-pura muntah membuat Ayumi memukul bahu wanita itu.
"Ayumi sama siapa kesini?"
"Sama seseorang, Bun."
"Pacar Ayumi?" Pertanyaan Bunda seketika membuat wajah Ayumi memerah.
Shadha memutar bola matanya, ingin sekali dia mengatakan sesuatu pada Ayumi namun ingat ada dimana sekarang dan dengan siapa.
Bunda Arini tertawa, "Iya Bunda paham."
Ayumi menggaruk pipinya, dia merasa malu mendengar ucapan Bunda Arini. Shadha yang melihat Ayumi malu-malu seperti itu langsung menendang kakinya, membuat Ayumi meringis lalu melotot pada Shadha. Siapa lagi pelaku yang berkelakuan bar-bar selain Shadha.
"Ayah Banu kemana, Bun? Nggak ikut?"
"Ayah lagi ke luar kota, palingan 2 hari lagi baru pulang."
"Oh gitu, terus Bunda cuman berdua sama Shadha?"
"Nggak. Mbak Shafa sama Mas Zanet juga ikut, tadi mereka pergi mau jumpa sama temen-temen Mas Zanet tapi sekarang mereka nggak tau pergi kemana." Ayumi menyenggol Shadha.
Shadha menatap Ayumi, tangan Ayumi bergerak memberi isyarat membuat Shadha menghela nafas.
"Bun, Shadha mau ketemu sama temen dulu di sana. Bunda nggak apa-apa kan disini sendirian?"
"Kamu ada yang kenal disini, Sha?"
"Ada, Bun. Sebenarnya bukan temen Shadha tapi temen Ayumi, iya kan, Yum?" Shadha menendang Ayumi.
"Ah iya Bun." Bunda Arini mengangguk.
"Ya udah kalau gitu tapi jangan lama yah, bentar lagi kita ketemu sama pengantinnya."
"Siap Bunda." Jawab Ayumi.
"Sebentar yah, Bun."
"Iya, sayang." Ayumi menarik Shadha dengan cepat.
Mereka berjalan keluar dari kerumunan orang-orang. Shadha tidak tahu apa yang akan Ayumi katakan, melihat Ayumi berjalan tergesa-gesa dia hanya mengikuti setiap langkahnya.
"Ada apa sih, Yum?" Tanya Shadha.
"Lo ikut gua aja." Ayumi terus menarik Shadha. Langkahnya semakin cepat membuat langkah kaki Shadha terseok.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi telinganya sudah mendengar Isak tangis seseorang. Langkah Shadha berhenti dan otomatis Ayumi pun menghentikan langkahnya. Apa Shadha tidak salah dengar? Suara ini? Shadha melepaskan tangan Ayumi lalu melangkah cepat ke arah sumber suara. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru.
"Di sana?" Ayumi menunjuk seseorang yang membelakangi mereka. Shadha melangkah cepat bahkan setengah berlari.
"Mbak Shafa?" Shadha memanggil seseorang yang terlihat begitu mirip dengan Kakaknya.
Shafa yang mendengar suara orang yang memanggil namanya, memutar tubuhnya. Seketika air matanya kembali meluncur membuat Shadha langsung bergerak duduk dan memeluk Kakaknya. Shafa menangis di pelukan Shadha, bahunya terguncang membuat Shadha mengusap punggungnya dengan pelan. Ayumi duduk di sebrang, ikut mengusap punggung Shafa.
"Ada apa Mbak?" Shafa menggeleng.
"Dimana Mas Zanet?" Tidak ada sahutan.
Shadha mengepalkan tangannya. Ayumi mengusap punggung tangannya dan mata keduanya bertemu.
"Tadi gua liat Mbak Shafa di marahin sama Mas Zanet, Sha." Wajah Shadha memerah.
"Mbak Shafa bahkan di tampar pipinya." Lanjut Ayumi.
Brengsek! Mau tuh cowok apa sih, heh? Gua udah baik-baik sama dia tapi dia malah lukai Shafa bukan cuman batinnya aja, dia udah berani main fisik, sialan.
"Kemana Mas Zanet pergi, Yum?"
"Gua nggak tahu, soalnya dia pergi bareng perempuan." Shadha menghembuskan nafas. Dia mencoba mengontrol emosinya untuk tidak lepas kendali.
"Gua boleh minta tolong, Yum?"
"Apa?"
"Tolong jaga Mbak Shafa, gua harus pergi." Ayumi menggelengkan kepalanya.
"Sha?" Ayumi menampilkan wajah memelasnya.
"Yum?" Ayumi menghela nafas lalu menganggukkan kepalanya.
"Mbak tunggu disini yah sama Ayumi." Shafa tidak menggeleng atau menganggukkan kepala. Dia masih merasa terkejut dengan Zanet yang berani menamparnya.
Shadha bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan Ayumi. Dia masuk kembali ke dalam ruangan dimana pesta sedang di gelar. Matanya mengedar mencari dimana sosok pria tinggi, gagah Zanet berada. Tidak lama matanya berpandangan dengan Haidar namun dengan cepat dia memalingkannya. Shadha kembali melangkah menjauh dari ruangan pesta, karena dia yakin Zanet ada di salah satu kamar hotel ini. Shadha masuk ke dalam lift, mengetuk kakinya di lantai, tangannya terlipat di depan d**a.
Haidar yang melihat wajah tidak enak Shadha mengerutkan kening. Ada apa? Kenapa Shadha berwajah murah? Apa terjadi sesuatu? Haidar sedari tadi memperhatikan setiap langkah Shadha. Bahkan Haidar menahan marah melihat Shadha tidak mempedulikan ancamannya untuk berganti pakaian. Haidar menghela nafas, Risa sedari tadi tidak pernah melepaskannya sedikit pun. Bahkan Haidar akan melangkah bertemu rekan kerjanya pun terus mengekor. Dengan kesal, Haidar melepaskan lilitan tangan Risa di lengannya. Risa terkejut dengan aksi Haidar, dia menatap suaminya dengan kening berkerut.
"Kenapa?"
"Saya harus pergi." Haidar akan melangkah pergi namun Risa kembali menahan lengannya.
"Pergi kemana? Ini kan pesta pernikahan kita, kamu nggak bisa pergi gitu aja."
"Saya nggak peduli."
"Tapi keluarga kita yang jadi taruhannya, Haidar." Haidar menarik nafas, lalu menghembuskan nya perlahan.
"Saya harus ke kamar mandi." Ucap akhir Haidar.
"Hanya ke kamar mandi kan?" Tanya Risa memastikan.
"Hmmm."
"Jangan lama-lama, aku nggak mau nyapa tamu undangan cuman seorang diri." Haidar tanpa menjawab, dia melepaskan lengan Risa. Bukan lagi berjalan namun Haidar berjalan setengah berlari.
Risa menyipitkan matanya. Ada apa dengan Haidar? Sejak tadi Haidar seakan sedang memperhatikan sesuatu namun saat dia menatap ke arah yang pria itu lihat tidak ada siapa-siapa selain para tamu undangan. Risa menatap ke sekeliling dimana semua para tamu undangan menikmati acara pernikahannya. Senyum lebar terbit dari bibirnya, sekarang Sultan Haidar Hakim telah menjadi miliknya. Risa tidak perlu repot-repot lagi untuk merengek ke pada kedua orang tuanya, tidak perlu mengejar-ngejar Haidar karena pria itu sudah menjadi suaminya. Risa patut berbangga pada dirinya sendiri, karena sekarang semua wanita akan merasa rendah di hadapannya. Karena sekarang Risa Hermawan sudah menjadi seorang Istri dari Sultan Haidar Hakim.