Suara pintu lift terdengar, Shadha siapa melangkah untuk keluar namun langkahnya tertahan saat melihat orang yang di carinya ada di hadapannya saat ini. Ternyata Tuhan masih berbaik hati padanya untuk tidak perlu repot mencari pasangan ini. Shadha tersenyum lembut, lalu matanya memandang ke arah samping dimana seorang wanita cantik bertubuh langsing berdiri di sampingnya. Wanita yang sama, wanita yang datang ke rumahnya, wanita yang meminta izin menikah dengan Suami Shafa. Shadha melangkah lalu mendorong mundur satu pasangan itu, tidak lama pintu lift tertutup dan di lorong itu hanya ada mereka bertiga.
Tanpa aba-aba Shadha melayangkan tangannya ke arah pipi Zanet dan setelah itu kembali tangannya melayang ke arah pipi sang wanita. Pekikan wanita itu membuat Shadha menarik rambutnya kasar, menyedot kan kepalanya pada dinding, lalu mendorongnya terjatuh kelantai. Zanet yang melihat itu terkejut, dia akan menolong kekasihnya tapi sebelum hal itu terjadi perutnya sudah mendapat tendangan kuat dari kaki Shadha. Zanet tersungkur ke lantai, dia belum mempersiapkan diri sama sekali. Shadha menarik nafas, tidak lama dia kembali menendang kakinya ke arah wajah Zanet.
Teriakan wanita itu membuat Shadha muak, dia berbalik lalu menarik rambut panjang wanita itu dengan kasar. "Gua bahkan dengan baik memperingati lo tapi lo malah seenaknya masih kaya gini. Ini peringatan buat lo, sekali lagi lo macem-macem sama Shafa gua nggak akan pernah kasih ampun buat jadiin lo p*****r di rumah bordil."
Shadha melepaskan jambakan nya, menendang kaki wanita itu dengan kasar. Shadha sama sekali tidak peduli saat wanita itu menangis akibat ulahnya. Dia menatap ke arah Zanet yang terduduk dengan lemah, sudut bibirnya berdarah. Shadha berjongkok di hadapan Zanet, dia menepuk pipi pria itu namun Zanet langsung menepisnya kasar.
Shadha tersenyum sinis, "Ini peringatan buat kalian berdua, sekali lagi lo berdua nyakitin fisik dan batin Mbak Shafa, kalian akan mendapatkan hal yang lebih buruk dari ini, camkan itu."
Shadha bangkit berdiri, melangkah pergi meninggalkan pasangan itu. Namun baru beberapa langkah suara Zanet terdengar.
"Saya akan melaporkan hal ini pada orang tua kamu, Shadha." ujar Zanet.
Shadha membalikan badannya, "Silakan, adukan aja tapi jika hal ini terjadi saat itu juga gua akan bongkar semua kelakuan bejad Lo beberapa tahun lalu. Dasar pembunuh!"
Zanet bungkam saat mendengar ucapan terakhir Shadha. "Jangan kira gua diem, gua nggak tahu masa lalu lo. Jangan kira ancaman gua cuman sekedar omong kosong belaka, cowok kaya lo itu mesti di kasih pelajaran."
Zanet mengepalkan tangannya. Dia benar-benar terkejut saat Shadha memukulnya begitu keras. Zanet pikir ancaman Shadha hanya sekedar omong kosong belaka namun nyatanya sekarang dia mendapat akibatnya. Pukulan Shadha begitu kuat, sudut bibir dan sudut matanya berdenyut. Matanya memandang Mia yang tidak kalah kacau sepertinya. Make Up Mia berantakan akibat air matanya yang terus mengalir dari mata ke pipinya.
"Dan buat lo?" Mia terkejut saat Shadha menunjuk nya. Baru kali ini Mia di perlakukan seperti ini dan itu sesama wanita. Kekuatan yang Shadha miliki tidak sebanding dengannya. Mia memang sering kali berbuat keributan dengan banyak teman wanitanya namun tidak pernah sampai babak belur seperti ini.
Mia menatap Zanet dengan pandangan benci. Gara-gara Zanet dia mendapatkan kekerasan seperti ini. Zanet mengatakan ancaman Shadha tidak akan berlaku tapi lihat? Sekarang wanita itu berdiri di hadapannya seperti malaikat pencabut nyawa. Mia menggelengkan kepala, dia memandang Shadha dengan air mata bercucuran dan wajah bengkaknya. Pelipisnya bahkan berdarah akibat kepalanya menghantam dinding.
"A-aku ... bukan salah aku. Zanet, dia yang mengatakan semuanya akan baik-baik aja. Zanet mencari ku ke luar negeri dan dia juga yang kembali membawa ku ke Indonesia."
"Terus kenapa Lo mau di ajak sama dia, heh?"
"K-karena Zanet bilang akan menikahi ku." Tiba-tiba Shadha bertepuk tangan. Mia memundurkan tubuhnya menjauh, dia tidak ingin mendapatkan kekerasan lagi dari Shadha.
"Bagus! Kalau begitu biarkan gua mengantar kalian ke jenjang pernikahan." Zanet dan Mia saling berpandangan.
"Menikah dalam neraka!" Zanet terkejut saat melihat Shadha memegang sebuah pistol begitu pun Mia yang membulatkan matanya tidak percaya.
"Gua nggak akan ikut campur, sungguh. Tapi, gua nggak suka kalau Lo main kekerasan kaya gini. Jangan karena Mbak Shafa memilih menutup wajahnya lo berlaku kaya gini sama dia. Ingat Zanet seorang suami lebih memilih kecantikan istrinya hanya di pandang olehnya seorang. Suami akan menjaga kecantikan istri untuk dirinya sendiri. Istri bersolek cukup hanya untuk Suami dan Suami memiliki istri cantik bukan untuk di pamerkan. Kalau Lo emang membutuhkan seorang Istri untuk memamerkan kecantikan pada pria lain, Lo nggak akan pernah tahu kalau salah satu dari mereka menyimpan perasaan sama istri Lo sendiri. Ringkasnya, saat Lo mencintai wanita cantik dan saat dia mengalami sesuatu hal yang tidak di inginkan, apa Lo bakalan tetep bisa memperlihatkan kecantikannya pada orang lain sedangkan istri Lo mengalami kerusakan pada wajahnya dan semua dokter wajah nggak ada yang bisa memperbaikinya? Apa yang akan Lo lakukan?"
Zanet terdiam mendengar ucapan Shadha begitu pun juga Mia. "Dan lo?"
Shadha menunjuk Mia, "Zanet bilang lo bisa memuaskannya di atas Ranjang dan Lo merasa bangga dengan hal itu?"
"Sadar, Mia. Seorang wanita tidak sepantasnya mengumbar auratnya pada seorang pria yang bukan mahramnya. Jangankan Aurat, sehelai rambut pun terlihat oleh seorang yang bukan mahramnya itu sudah dosa besar. Dan lebih parahnya lagi Lo menggoda suami orang, Lo memberikan tubuh Lo pada suami orang yang belum tentu akan memberikan Lo kebahagiaan sepenuhnya. Lo sekarang boleh berbangga diri, merebut suami orang tapi yang perlu Lo sadar, di atas kebahagiaan Lo ada satu orang yang menangis melihat kalian, satu orang yang terluka fisik dan batinnya. Suatu saat Lo akan tahu rasa sakit yang Mbak Shafa rasakan, rasa sakit saat seorang wanita muncul di rumah tangganya. Dan yang perlu Lo inget, hukum karma akan slalu berjalan, seperti halnya hidup yang kita jalani."
Shadha menarik nafas, "Gua cuman minta satu sama kalian berdua. Kalau memang kalian udah sepakat buat menikah, tolong selesaikan ini secara kekeluargaan. Berikan Shafa kemudahan untuk meraih kebahagiaannya. Semuanya akan mudah dengan Lo jujur sama keluarga. Semuanya nggak akan runyam seperti ini kalau kalian jujur dari awal dan gua nggak akan mungkin memperlakukan kalian kaya gini. Sekarang karena semuanya udah terlanjur terjadi, pikirkan baik buruknya ke depan bagaimana. Ini terakhir kalinya gua ikut campur, semoga kalian masih punya hati untuk memikirkan bagaimana jalan terbaiknya." Shadha kembali menarik pistolnya. Dia melangkah pergi meninggalkan satu pasangan itu.
Namun baru beberapa langkah dia berhenti, "Bertaubatlah, sebelum semuanya membuat kalian sengsara."
Setelah mengatakan itu Shadha menghilang di balik lift. Dia tidak peduli dengan Zanet dan Mia, yang pasti semua amarahnya sudah tumpah. Shadha menatap dirinya di dinding lift, matanya berkaca-kaca lalu tubuhnya merosot kebawah. Kenapa? Kenapa Shafa harus mendapatkan hal menyakitkan seperti ini? Shafa bukan wanita yang banyak tingkah, namun kenapa takdir hidupnya harus seperti ini.
"Kamu udah berusaha, aku yakin semuanya akan baik-baik aja." Shadha seketika mendongak.
"Huaaaaaaaaaaaaaa." Shadha menangis keras seperti anak kecil.
Haidar yang melihat itu berjongkok lalu mengusap kepala Shadha. Shadha tidak mau mendengar apapun lagi. Dia ingin melampiaskan kekesalannya dengan menangis. Pikirannya masih berkelana, bagaimana nasib Shafa setelah ini? Bagaimana pun Shadha menyayangi Shafa begitu besar. Melihat Shafa mendapatkan kesakitan seperti ini membuatnya pun ikut terluka. Kenapa Tuhan? Di saat gua berlaku seperti ini, kenapa harus Mbak Shafa yang mendapatkan kesakitan ini? Apa ini karma yang harusnya gua terima melalu Mbak Shafa?
"K-kenapa lo disini?" Tanya Shadha dengan suara serak.
"Aku khawatir karena kamu tadi pergi gitu aja." Jawab Haidar.
"Barusan lo liat?" Shadha menatap Haidar yang juga menatapnya. Haidar menganggukkan kepala.
Yeah! Haidar melihat apa yang dilakukan Shadha. Dia meringis ngeri melihat ke brutalan Shadha. Bagaimana jika hal itu terjadi pada Risa? Membayangkan nya saja rasanya Haidar lebih baik mencari aman. Bisa-bisa Risa di buat meregang nyawanya.
"Nggak sengaja, sumpah. Habisnya gua kesel!" Adu Shadha.
"Tolong yeah lain kali jangan berbuat anarkis seperti itu. Kalau terjadi sesuatu sama mereka gimana?"
"Nggak masalah, biar manusia kaya mereka berkurang." Haidar menghela nafas.
Tadinya dia akan mencoba membantu pasangan yang mendapatkan perlakuan tidak baik dari Shadha. Namun jika membantu akan menyulitkan Shadha nanti kalau mereka menyuruhnya untuk menjadi seorang saksi. Akhirnya Haidar hanya terdiam diri di sudut, menonton apa yang di lakukan Shadha walaupun jantungnya hampir melompat saat melihat Shadha menodongkan pistol. Ingatkan Haidar jika mereka bertemu nanti dia harus merampas barang itu dari tangan Shadha. Haidar menatap Shadha, kondisi Shadha sedang kurang baik, dia tidak akan mungkin melepaskan wanita ini begitu saja. Helaan nafas kembali terdengar dari mulut Haidar.
"Jangan pulang, kamu disini aja sama aku."
"B-bunda?"
"Kamu bisa bilang sama Bunda kalau Ayumi minta di temenin sama kamu."
"Terus Mbak Shafa gimana?"
"Mbak Shafa bisa pulang bareng sama Bunda."
"T-tapi ...." Shadha tidak melanjutkan kata-katanya, dia hanya menganggukkan kepala.
"Ayo kita pergi ke kamar mandi buat benerin Make-up kamu yang hancur." Ujar Haidar bangkit berdiri.
"Jelek banget?" Shadha mendongak menatap Haidar.
"Nggak." Jawab Haidar. Shadha menyipitkan mata, Haidar mengulurkan tangannya.
"Bilang aja gua jelek." Gerutu Shadha sambil bangkit berdiri.
Haidar terkekeh mengecup ujung hidung Shadha. "Udah yuk kita benerin dulu make-up kamu."
Sebenarnya tanpa di rias pun Shadha sudah cantik, hanya saja terlihat terlalu pucat. Haidar mengusap kepala Shadha yang tertutup hijab. Semakin hari Haidar merasa khawatir saat Shadha semakin beringas. Shadha terlalu di biarkan bebas begitu saja dan itu membuatnya sedikit liar. Haidar tidak menyukai Shadha yang seperti ini, di tinggal selama 2 tahun Shadha sudah semakin tidak beraturan. Untungnya sekarang Haidar ada di samping Shadha setidaknya dia bisa mengontrolnya supaya tidak terlalu liar seperti ini.