13 - Tespek?

1774 Kata
Clara sedang menyelesaikan pekerjaannya, tangannya membuka lembar demi lembar dokumen yang membutuhkan tanda tangannya. Tiba-tiba saja dia ingin dibuatkan secangkir kopi, dan berniat untuk menyuruh Anggi untuk membuatkannya. Menelpon Anggi, tetapi telepon darinya tak diangkat. Tak mungkin juga dia menyuruh Arya, dia sedang tak ingin dekat-dekat dengan Arya. Jika berdekatan dengan lelaki itu, jantungnya selalu berdegup kencang. Dan hal itu sangat tidak baik untuk dirinya, dan bisa menyebabkannya mati muda. Keluar dari ruangan, dan melihat meja Anggi, ternyata wanita itu tak ada di sana. Karena sudah keluar dari ruang kerjanya, Clara berniat menuju pantry dan membuat kopi sendiri. Saat di sana dia bertemu dengan Anggi, yang kebetulan sedang ada di sana. "Nona!" Anggi membungkuk sopan. Clara hanya tersenyum, lalu dia mengambil gelas dan hendak membuat kopi tapi diambil alih oleh Anggi. "Biar saya saja, Nona." "Baiklah." Clara menunggu Anggi selesai membuatkan kopi untuknya, sambil menyandarkan tubuhnya pada meja. Entah kenapa akhir-akhir ini dia merasa aneh, seperti ada yang terlewatkan, tapi apa? "Kenapa Nona sampai membuat kopi sendiri?" tanya Anggi sambil menyerahkan segelas kopi pada Clara. "Tadi saya telpon kamu, tapi nggak diangkat. Pas saya periksa keluar, kamu nggak ada, ternyata lagi di sini." Anggi tersedak saat mendengar jawaban Clara. Dia benar-benar merasa bersalah, karena sudah membuat atasannya sampai ke sini. Tapi, biasanya juga Clara akan minta dibuatkan kopi pada Arya, tapi kenapa sekarang tiba-tiba minta dibuatkan olehnya? "Maaf, saya tadi ke pantry mau bikin teh manis hangat, Nona. Kalau sedang datang bulan, perut saya suka sakit, dan minum teh manis hangat membuat perut saya lebih baik." Anggi bercerita tentang datang bulannya yang terkadang menyiksanya. Wanita itu merasa nyaman saat sedang bersama Clara, karena atasannya itu orang yang mudah bergaul, dan tidak sombong karena memiliki jabatan yang tinggi. "Iya, saya juga seperti itu. Kalau lagi datang bulan suka sakit perut, dan biasanya suka minum teh manis hangat bikin perut sedikit nyaman. Dasar cewek ya, datang bulan sakit, nggak datang bulan panik." Clara terkekeh sendiri, dan Anggi pun ikutan tertawa. Sadar apa yang baru saja ia ucapkan membuat Clara menghentikan tawanya. Dia baru sadar, jika dia belum datang bulan. Sudah telat berapa lama? Kenapa dia baru sadar sekarang? Sial! Clara langsung kembali ke dalam ruangannya, dan membuat Anggi pun terpaksa mengikutinya karena khawatir. Masuk ke dalam ruang kerjanya, dan mengambil kalender yang ada di atas mejanya. Menghitung sudah berapa lama ia telat datang bulan. Wajahnya seketika berubah pias, saat tau hampir dua minggu dia telat datang bulan. Kesibukannya membuat dia lupa akan tamu istimewa yang biasanya datang setiap bulan. Kepalanya dipenuhi oleh kejadian malam itu. Apakah dirinya hamil? Tapi, mereka hanya melakukannya sekali. Dan Clara pun hanya melakukannya dengan Arya saja. Clara menghela napas, dia baru sadar jika dirinya bisa saja hamil. Apalagi Arya menyemburkan benihnya di dalam, tanpa pengaman pula. Ih, tapi masa sekali tusuk langsung jadi? Astaga, Clara hampir gila! Terdengar ketukan pintu dari luar, dan Clara menyuruhnya masuk. Ternyata si Arya yang masuk, sambil membawa dokumen. Lelaki itu masuk, dengan elegan. "Ada apa?" tanya Clara ketus. Kesal, gara-gara lelaki itu, dia jadi telat datang bulan. Tapi, bisa saja dia memang tidak hamil. Karena kecapean, jadi membuatnya telat datang bulan. "Nanti ada jadwal makan malam dengan Pak Jagat, mengenai iklan produk kita." "Bisa diundur?" tawar Clara. "Tidak bisa, Nona." "Baiklah, lakukan apa yang kamu mau." Setelah selesai memberi tau perihal makan malam, Arya tak kunjung keluar. Lelaki itu malah menatap Clara dengan intens, sampai-sampai membuat Clara gugup sendiri. "Kenapa? Ada apa lagi?" "Apa Anda baik-baik saja, Nona?" tanya Arya khawatir. "Apa aku terlihat tidak baik-baik saja, Ar?" . "Iya, wajah Anda terlihat pucat, Nona." Clara hanya tersenyum, kemudian dia menggeleng. Memberi isyarat jika dia baik-baik saja, dan Arya tak perlu khawatir tentang itu. Arya pun pamit keluar dari ruang kerja Clara, dan kembali ke ruangan kerja miliknya. Tiba-tiba saja perutnya kembali bergejolak saat mencium parfum milik Anggi. "Kamu pakai parfum apa?" tanya Arya sambil menutup hidungnya. "Saya? Seperti biasa, yang ini." Anggi menunjukkan botolnya. "Lain kali kamu nggak usah pakai parfum! Pakai ste*la aroma jeruk saja!" Setelah itu Arya pergi, meninggalkan Anggi yang terlihat kaget. Tidak biasanya Arya mengomentari parfum yang dia gunakan. Dan apa tadi katanya? Pakai ste*la? Pengharum ruangan? Apa Arya salah minum obat? Anggi hanya geleng-geleng kepala sambil menatap Arya yang sudah hilang dibalik pintu. Arya masuk ke dalam ruangannya, sambil menghirup pengharum ruangan aroma jeruk, yang ia beli saat dalam perjalanan ke rumah Clara. Hal ini benar-benar membuatnya tersiksa. Sampai-sampai pikiran negatif memenuhi kepalanya, apakah dia mengidap penyakit langka? Umurnya sudah tidak lama lagi? Astaga, besok dia harus pergi ke rumah sakit. Memeriksakan kesehatannya, yang sudah cukup lama ia abaikan, karena sibuk membantu Clara. ******** "Baik, terimakasih sudah mau bekerja sama dengan kami." "Tidak, harusnya saya yang berterima kasih." Clara tersenyum, sambil menjabat tangan Pak Jagat. Setelah mencapai kesepakatan final, mereka akhirnya mentanda tangani kontrak kerja sama. Clara tersenyum puas, tetapi senyuman itu sekita sirna saat ingat jika sudah hampir empat minggu dia telat datang bulan. Dengan cepat dia pergi dari restoran, sambil diikuti oleh Arya di belakangnya. Masuk ke mobil, dan membuka ponselnya, mencari tau alat tes kehamilan dari internet. "Ar, nanti kita ke apotek dulu, ya." "Apa Nona sakit? Mau ke dokter saja?" tanya Arya sambil menatap dari kaca spion atas. "Tidak, kita ke apotek saja." "Baik, Nona." Mobil melaju membelah jalanan. Langit sudah sepenuhnya gelap, Clara sudah benar-benar lelah. Bukan lelah karena pekerjaan, melainkan pikirannya. Memikirkan berbagai macam kemungkinan, yang terjadi pada dirinya. Bagaimana jika dia hamil? Apakah harus menikah dengan Arya? Apakah lelaki itu mau bertanggung jawab? Apakah lelaki itu akan meragukan bayi yang sedang ia kandung? Astaga, dia benar-benar lelah! "Kita sudah sampai, Nona." Arya memberi tau, kini mobil yang mereka tumpangi sudah terparkir di depan apotek 24 jam. Clara hendak turun, tetapi ditahan oleh Arya. "Biar saya saja, Nona. Anda mau beli obat apa?" tanya Arya. "Udah, biar aku aja." Clara menolak, dia khawatir akan membuat Arya malu, dengan menyuruhnya membeli alat tes kehamilan. "Tidak apa-apa, Nona." "Kamu yakin?" tanya Clara memastikan. "Saya yakin, Nona," jawab Arya mantap. Clara kembali menyandarkan punggungnya, dan melepaskan masker yang ia kenakan. "Anda ingin membeli obat apa?" tanya Arya, sambil melepaskan seat belt. "Belikan aku tespek." Clara mengecilkan suaranya saat mengucapkan kata tespek. "Apa? Respek?" Arya mengulang, dia tak tak terlalu mendengarnya dengan jelas, hanya mendengar bagian akhirnya saja, pek. "Tespek, Arya! T - E - S - P - E - K!" Clara mengejanya. "Maaf, Nona. Saya tidak mendengarnya dengan jelas, mungkin telinga saya sedikit bermasalah." Setelah mengatakan itu, Arya keluar dari mobil dan masuk ke dalam apotek. Di dalam apotek tak terlalu ramai, hanya ada dua orang ibu-ibu, dan satu orang lelaki muda. "Permisi, saya mau beli tespek," kata Arya dengan suara yang cukup kencang, karena pegawai apoteknya sedang berada di belakang, mengambil obat untuk para pembeli sepertinya. Kedua ibu-ibu itu langsung menatap ke arah Arya, sambil tersenyum ramah. "Buat istrinya, ya?" tanya salah satu dari mereka. "E - eh ...." Arya bingung, wajahnya bersemu merah. "Wah, kayaknya dia pengantin baru," imbuh ibu yang satunya lagi. "Bukan!" bantah Arya dengan cepat. Mereka saling pandang, jika bukan untuk istrinya, lalu untuk siapa? Kekasihnya? Begitu pikir ibu-ibu itu. "Aduh, dasar anak muda jaman sekarang. Mainnya nggak pakai pengaman, sih! Jadi gini, kan? Pas bikinnya aja enak, giliran udah jadi kalian buang!" cibir salah satu ibu-ibu itu. Lalu keluar keluar tiga orang pegawai apotek, yang satu melayani si lelaki muda, dan yang dua lainnya melayani dua ibu-ibu tadi. "Mau beli apa, Mas?" tanya pegawai apotek pada lelaki muda. "Saya mau beli sutra, Mbak," bisik lelaki itu tapi tetap terdengar oleh ibu-ibu yang ada di sebelahnya. "Nah, kalau mau main api, jangan lupa pakai pengaman, kayak si mas yang satu ini, nih!" kata ibu itu sambil menepuk pundak lelaki muda itu. Setelah mendapat apa yang dicari, lelaki muda itu langsung bergegas keluar. Dan salah satu pegawai apotek tadi menghampiri Arya. "Nyari apa, Mas?" tanya salah satu pegawai apotek. "Saya cari tespek, Mbak." "Oh, mau yang strip atau digital, Mas?" Arya bingung sendiri, ko jadi seperti ini? Apakah Clara tidak menyuruhnya untuk membeli obat? "Kalau yang strip sama digital, lebih bagus mana?" tanya Arya, tanpa tau fungsi kegunaan tespek itu sendiri. "Keduanya sama-sama bagus, Mas. Mau yang mana?" Susah memang ya jika kita membeli sesuatu, tetapi kita sendiri tidak tau benda jenis apa yang sedang kita beli ini. Sama halnya dengan Arya, dia tak tau apa yang akan ia pilih. Karena jujur saja, dia sendiri tidak tau tespek itu benda jenis apa. Ternyata selama ini, Arya hidup di dalam gua, Guys! "Saya mau dua-duanya saja, Mbak." Pegawai itu pun mengambilkan apa yang Arya minta, dua buah tespek dengan jenis yang berbeda. "Ini, Mas." Arya mengamati dua bungkus tespek dengan perasaan yang familiar, rasa-rasanya ia pernah melihat benda itu, tapi di mana? "Ini cara pakainya gimana?" tanya Arya pada pegawai apotek. "Ini, nanti dicelupkan ke dalam urine, Mas. Dan tunggu hasilnya beberapa menit, setelah itu akan muncul hasilnya. Jika hasilnya dua garis merah, berarti positif dan jika garis satu, berarti negatif." Pegawai apotek itu menjelaskan. Arya dibuat bingung. Garis dua merah hasilnya positif dan jika garis satu hasilnya negatif? Sebenarnya benda jenis apa tespek ini? "Positif, negatif? Apakah benda ini sejenis alat yang bisa kita gunakan swab mandiri di rumah? Tanpa harus pergi ke rumah sakit?" Pertanyaan Arya membuat pegawai apotek itu terkejut, kemudian dia terkekeh. Ternyata ada ya, lelaki yang seperti itu, yang tak tau tespek itu benda untuk apa. "Bukan, Mas. Ini alat tes kehamilan. Kalau boleh tau, memangnya ini untuk siapa?" "Untuk ... teman! Iya, untuk teman!" Tidak mungkin dia bilang untuk atasan, kan? "Oh, seperti itu, ya? Temannya wanita?" "Iya." "Tanyakan saja lebih jelasnya kepada teman Anda, Mas." Setelah itu Arya membayar, dan keluar dari apotek. Dia menerka-nerka, kenapa Clara beli alat itu? Masuk ke dalam mobil, dan duduk di bangku penumpang di sebelah Clara, bukan di belakang kemudi. Menyerahkan tespek itu padanya. Saat Clara akan mengambilnya, Arya menarik kembali tespek itu. "Ini, untuk apa, Nona?" Arya ingin mendengar penjelasan dari atasannya langsung. "Bukannya kamu sudah tau?" "Tapi saya ingin mendengar jawabannya langsung dari Nona!" pinta Arya. Clara membalas tatapan mata Arya, kemudian dia menghela napas. Arya harus tau mengenai - kemungkinan - kehamilannya. "Itu alat tes kehamilan, Ar." Arya masih tak bergeming, dia menunggu Clara menyelesaikan kalimatnya. Dia yakin, jika Clara belum selesai berbicara. "Aku sudah telat hampir dua minggu tidak datang bulan. Dan seperti yang kamu tau, mungkin saja aku ... hamil." Arya menghela napas, dia sudah memprediksi kemungkinan buruknya, Clara hamil. Entah kenapa dia tak merasa menyesal karena sudah membuat Clara hamil. "Kalau aku beneran hamil, gimana?" tanya Clara khawatir. "Ya seperti yang Nona katakan waktu itu, kita menikah. Jadi, kapan kita akan menikah, Nona?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN