“Papa!”
Kirana berlari kemudian menabrak kedua kaki Ferdy yang baru saja pulang kerja. Dia berjongkok kemudian meletakkan bungkusan dari tangannya. Setelah itu dia mengangkat tubuh Kirana.
“Ini janji Papa buat beliin putu mayung kesukaan kamu,” ucap Ferdy memberikan bungkusan makanan sering Kirana minta.
“Asyik!” Kirana menerima makanan itu, kemudian berlari menuju ke meja dapur.
“Amah, Amah! Papa beli putu mayung!” teriak Kirana memanggil neneknya buat bergabung dengannya.
Fera baru saja selesai melipat baju di kamar, kemudian dia ikut bergabung ke meja dapur. Kirana membuka bungkusan itu secara hati-hati. Fendy meletakkan tas kerjanya di sofa, kemudian dia melepaskan kaus kakinya. Dia pun ikut bergabung dengan putri cantiknya itu.
“Gimana kerjaannya?” Fera bertanya pada Ferdy.
“Biasa saja, Ma,” jawab Fendy seraya membersihkan sisa gula menempel di sudut pipi Kirana.
“Papa, tadi Amah bawa Kirana ke rumah teman Amah loh,” cuap-cuap Kirana sembari memasukan kue itu ke mulutnya.
“Oh ya? Ngapain saja ke sana?” Fendy bertanya, seakan itu jawab yang sangat seru sekali dari putrinya.
“Kata Amah, Papa mau dikenalin sama anak teman Amah. Memang Papa punya teman perempuan?” jawab Kirana dengan sikap yang lucu sekali.
Ferdy diam sejenak atas jawaban dari putrinya, sebaliknya dengan Mega. Ibunya Fendy. “Mama ke sana lagi?” kali ini Fendy benar-benar serius bertanya.
Mega senyum, “Iya.”
“Ngapain sih, Ma?” Fendy bukan melarang Mega bergaul dengan siapa saja. Dia hanya ingin membatasi pergaulan dengan orang luar sana, walaupun tetangga atau teman dekat Mamanya.
“Cuman main-main saja, kebetulan tadi Mama ke pajak, terus gak sengaja jumpa kawan lama, sekalian saja ngobrol-ngobrol,” kata Fera jujur.
“Buat Mama, kamu yakin gak mau nikah lagi?” Kali ini Mega bertanya serius pada Fendy.
“Jangan bahas sekarang, gak enak ada Kirana,” ucap Fendy, beranjak dari duduknya. Dia mau bersihkan diri.
Kirana baru saja selesai makan putu mayung, dia cuci tangan dan membuang bungkusan ke tempat pembuangan. Fera tidak memaksa putranya untuk segera menjawab. Mega sangat mengerti keadaan. Fera tidak bermaksud mendesak putranya untuk segera menikah lagi, dan mencari pengganti mama baru untuk Kirana.
****
Bella baru sampai di rumah, sungguh hari ini sangat melelahkan baginya. Dia hampir saja lupa beli obat dipesan oleh mamaknya tadi. Kalau sampai kelupaan mungkin dia akan dapat ceramah sangat panjang.
“Mbak sudah pulang,” sambut seorang wanita baya yang umurnya sudah hampir sebaya dengan mamaknya. Tapi wanita ini sudah lama bekerja di rumah orang tuanya.
“Iya, Bi. Mama mana?” sahut Bella serahkan belanjaan kepada wanita baya itu.
“Lagi di ruang santai, lagi nonton, Mbak,” jawabnya membawa belanjaan ke dapur.
Bella pun hendak ke ruang santai menemui mamaknya. Di sana seorang wanita sudah tidak muda lagi, Jenni, itu mamaknya. Meskipun sudah lanjut usia, rambut Jenni masih hitam hanya terlihat beberapa rambut berwarna putih.
“Kamu sudah pulang, gimana acara kumpul-kumpulnya?” Jenni bertanya setelah dia mendengar suara derapan kaki dari putrinya.
“Ya, begitulah. Mama sudah makan? Ini obatnya, tadi Bella hampir lupa beli,” kata Bella, lalu serahkan obat kepada Jenni.
Jenni pun menerima dan meletakkan ke meja depan. Dia meletakkan remote televisi ke meja itu juga. “Sudah, tadi Bibi Umi beli di depan warung,” jawabnya.
“Gimana kaki Mama? Sudah lebih baik?” Bella sangat memperhatikan keadaan mamaknya. Apalagi usia seperti Jenni harus dijaga sebaik mungkin.
Meskipun Bella mempekerjakan seorang pembantu di rumah. Bella tidak sepenuhnya bisa berada di rumah. Karena pekerjaan di toko sangat ramai. Apalagi Leni pasti kewalahan untuk menjaga dan melayani pembeli.
“Sudah lebih baik. Oh ya, tadi Mama jumpa kawan lama di pajak. Sempat ngobrol lama sih,” cerita Jenni kepada Bella.
“Oh ya? Seru dong?” respons Bella.
Bella jarang sekali dengar cerita dari mamaknya. Apalagi bahas soal teman lamanya. Bella memang tidak pernah melarang mamaknya ke mana pun, hanya saja dia mengkhawatirkan keadaan, apalagi kakinya kadang suka kumat.
“Iya, terus dia bawa seorang cucu yang cantik banget. Mama gak sengaja tanya sih, terus, kamu gak mau nikah? Anak kawan Mama ternyata ada yang masih singel. Tapi dia duda muda. Sudah punya anak satu,” kata Jenni memberitahukan kepada Bella.
Bella tidak menanggapi, dia malah milih diam. Dia sudah bosan dengan pertanyaan dari mulut mamaknya. “Belum kepikiran, Ma,” jawab Bella.
“Setidaknya kenalan dulu. Mama lihat anaknya baik kok, apalagi cucunya sopan banget,” ucap Jenni. Jenni berharap jikalau Bella mau mengiyakan keinginannya.
“Lain kali saja, Ma. Kerjaan Bella banyak. Apalagi sekarang sudah mau jelang akhir tahun. Banyak barang yang masuk,” tolak halus oleh Bella.
Jenni sedikit kecewa, namun Jenni tetap akan memaksa putrinya memberi waktu untuk kenalan dengan seorang. “Kerjaan seperti itu bisa dilepas dulu, ada Leni bisa bantu. Setidaknya bagikan waktu kosong. Toh, Mama gak maksa kamu buat terima atau gak. Mama cuman kasih tau, sisanya terserah kamu,” tuding Jenni, kemudian dia pergi begitu saja.
Bella bisa apa, hanya menghela pendek. Dia bukan tidak ingin, memang waktu saja tidak cukup untuk membagikan waktu. Kadang inilah membuat dirinya malas bertemu dengan lain. Dengan kesibukan sendiri adalah pilihan tepat.
****
Fendy baru saja menidurkan Kirana, usai bermain dengannya. Sekarang dirinya kembali ke kamar, melanjutkan pekerjaannya. Fera belum tidur, dirinya sempat melihat putranya yang begitu melelahkan.
“Jadi gimana? Mau gak, kenalan dengan anak teman Mama? Seenggaknya kenalan dulu, cocok atau gak, belakangan saja,” kata Fera sekali lagi.
Fendy duduk disebelah Fera sembari melihat sebuah foto diberikan olehnya. “Dia baik kok, punya usaha sendiri, gak jauh dari tempat kamu kerja. Jangan dilihat usia, kalau cocok jalani, kalau gak jadi teman,” ucap Fera, setelah dia berikan selembar foto kepada Fendy.
Ferdy hanya melihat saja, kemudian dia memijit pelipisnya. “Ya, Ma. Nanti Fendy usahain buat ketemu. Memang dia buka usaha apa?” tanyanya.
Ferdy tentu tidak akan mengecewakan mamaknya, dia akan ikuti permintaannya. Walau dia harus menemui langsung. Meskipun dia masih ragu.
“Dia buka usaha baju anak-anak, nama tokonya, sebentar, Mama ada catat. Ah, ini,” Fendy membaca tulisan Fera. Dikertas itu tertulis BABY BELL SHOP.
Ferdy merasa tidak asing dengan nama toko ini, dia sering lewat di jalan dekat sambas. Terus, dia juga sempat mendatangi tempat itu saat mencari kostum buat Kirana waktu sekolah mengadakan hari tujuh belas agustus tahun kemarin. Sekali lagi Fendy melihat selembar foto, seorang wanita tengah duduk sembari mengangkat dua jari sebagai gaya posenya.
Sementara Bella baru saja selesai mandi, dia membuka hapenya. Ada beberapa pesan dari Leni. Semua pesan itu dari pelanggaannya. Tidak lama, panggilan telepon dari Leni.
“Ya, Na,”
“Mbak Bella, besok aku izin off ya,”
“Kenapa?”
“Ini, anak aku rewel, tiba-tiba demam, besok aku mau bawa dia ke dokter. Oh ya, Mbak, itu aku ada kirim beberapa pesanan dari pelanggaaan tetap kita. Mereka mau beberapa barang, semua sudah tercatat rapi, sudah aku packing sebagian tadi, tinggal dikirim sama kurir saja,”
Bella mengecek hapenya, dan juga data file di kirim oleh Leni lewat email, “ Oke, beres itu, cepat sembuh ya untuk si adiknya.”
“Iya, Mbak, Makasih. Maaf ya, Mbak,”
“Iya, gak apa-apa,”