Chapter 1 : Kepergian

2190 Kata
     Matahari kembali menyinari dunia. Satu persatu, keluarga Wardoyo bangun dari tidurnya dan kembali beraktifitas seperti biasa. "Mak, mana Wina?" Wardoyo bertanya tanpa bertanya kepada Linda. Lelaki yang sibuk membaca koran sambil menikmati kopi di pagi hari. "Masih di kamar." Jawab Linda. "Panggil sana." Linda beranjak dari kursi meja makan, berangkat mencari untuk membangunkan Wina. Beberapa kali Linda mengetuk pintu kamar Wina tetapi sama sekali tidak ada sahutan dari dalam. Hati Linda sudah tak enak lagi, mengingat kejadian semalam. Pikiran negatif masuk begitu saja dalam otaknya. "Wina ... ayo sarapan dulu sayang ..." Seru Linda. Pintu sebelah terbuka, menampakkan wajah ceria milik Bima. Lelaki itu menghampiri Mamaknya dan bertanya, "Kenapa Mak?" Wajah Linda mulai terkejut, "Ini Bim .. Wina tidak bangun-bangun .. coba kau yang bangunkan." Katanya, mempersilahkan Bima mengetuk pintu kamar Wina. Bima mengangguk dan memgetuk pintu sambil memanggil nama Wina. "Wina .. bangun ... Menangkan ..." Lama tidak ada sahutan dari dalam, Bima memutuskan untuk mendobrak pintunya. Setelah pintu terbuka, ruang kamar Wina sepi. Pemilik tidak ada di ranjangnya. "Menangkan ..." Seru Bima. Linda Membuka pintu kamar mandi, melihat apakah anak sulungnya sedang atau tidak dan memang tidak ada. Kamar mandi sepi, tapi shower menyala. "Mak, Wina kabur!" Pekik Bima di belakang Linda. Tubuh Linda membalik, berhadapan dengan telanjang, "Maksudmu?" Tangan Bima menyerahkan secarik kertas kepada Linda. Linda meraih kertas itu dan mulai membaca, Papa , Mamak, Bang Arga, Bang Bima dan Mba Nessa. Wina pamit pergi. Wina Janji, sama Papa. Semua hutang Papa akan Wina lunasi. Selamat tinggal, Medan Linda meneteskan air mata setelah selesai membaca surat itu. *      Jakarta. Kota yang tak perah sepi akan kegiatan warganya. Jalanan selalu ramai dengan mobil dan motor yang saling kejar-kejaran. Gedung menjulang tinggi, membuat kota Jakarta menjadi lebih indah di pandang mata, tetapi tidak dengan polusinya. Di balik gedung-gedung yang tinggi, ada seorang wanita yang memegang isakannya dan selalu gagal mendapatkan pekerjaan di semua perusahaan yang memiliki gedung tinggi itu. Wina. Berkali-kali Wina keluar di beberapa perusahaan, tetapi tidak ada yang menerima kerja. Sekalipun Wina meminta jabatannya hanya menunggu OG, semuanya menolak Wina mentah-mentah. Dengan setengah tenaga, Wina kembali mencari pekerjaan di perusahaan lain. Keinginannya masih sama, hanya ingin menjadi OG di perusahaan. Mata Wina memandang gedung perusahaan yang memiliki gedung tinggi. Disana, di kaca besar terdapat tulisan 'Lowongan Pekerjaan'. Kaki Wina melangkah cepat menghampiri pintu kaca itu. Hati berdebar tak karuan. Wina menghampiri Satpam di sana. "Maaf, Pak apa di sini sedang ada lowongan pekerjaan?" Wina bertanya kepada Satpam. Bukannya menjawab, satpam yang melihat penampilan Wina penuh selidik, dari atas hingga bawah. Penampilang Wina sangat sederhana, ia memakai celana jeans panjang, kemeja kotak-kotak biru tua dan sepatu kets, serta tas ransel sederhana yang dapat diterjemahkan pakaian. "Iya benar, disini butuh sekertaris untuk CEO." Jawab satpam. "Kalau OG?" Satpam menggeleng, "Tidak perlu." Wina sangat putus asa, ia memandang wajah satpam di hadapannya penuh sendu. Ia meninggalkan satpam dan berdiri di pintu kaca. Ini adalah satu-satunya cara yang memang cukup umum . Wina akan menunggu pemilik kantor ini dan berlutut menunggu. Satu jam menunggu, Wina masih tetap berdiri di sana. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas, terik matahari membuat Wina harus sabar mengelap peluhnya. Saat Wina sedang mengelap peluh menggunakan bahunya, seseorang berdehem. "Ehmm .." Wina mendongak. Pandangannya langsung tertuju pada lelaki bertubuh tegak nan tinggi, pakai jas dan mata yang tutup oleh kacamata hitam. Mungkin dia pemiliknya . Pikir Wina. Tricknya langsung dilaksanakan. Wina memeluk lutut lelaki kekar sambil bergumam, "Pak .. tolong saya Pak, tolong tolong saya pekerjaan ... saya mohon ... apa saja pekerjaannya, saya nggak peduli yang penting halal dan saya bisa bantu tumpangan tidur. Saya mohon .. " Lelaki itu mengernyit tak mengerti, "Siapa kau?" Tanyanya. Wina mendongak, menatap wajah lelaki itu. Wajahnya agak tidak jelas, karena sulit oleh kacamata. Dan saat kacamata hitam di buka, Wina meminta bantuan. "Pak, saya mohon ... tolong Pak ... saya dari Medan dan ke Jakarta untuk mencari uang, Ayah saya banyak uang di sana." Kata Wina. Lelaki yang seharusnya bernama Satria tidak menggubris rengekan Wina. Satria menggoyang-goyangkan kaki kanannya yang dipeluk oleh Wina. "Lepas!" Wina sadar, ia berdiri, mengelap udara dengan lengan kanan. Kedua mata Wina menatap indah ke Satria, "Saya mau kok jadi OG, di suruh-suruh apa saja, saya mau." Ujarnya. Satria Buka kaca balik lalu menjawab, "Di sini tidak sedang mencari OG! Dan sekarang, kau pergi dari kantor ini!" Mata Wina kembali berkaca-kaca. Hal seperti itu sudah terjadi beberapa kali saat diminta meminta pekerjaan di perusahaan sebelumnya. Walau masih tenang dan sebal, Wina pindah dari tempat itu. Ia akan kembali mencari pekerjaan. Apapun, yang penting halal. * Wardoyo masih tak percaya dengan kaburnya Wina. Atas dasar apa, lolos itu memilih kabur dari rumah? Saat ini, Wardoyo memutuskan untuk meminta bantuan kepada polisi, agar Wina cepat ditemukan. Tapi Arga tidak setuju dengan ide Wardoyo itu. "Jangan berhubungan dulu dengan polisi. Kalau nanti Wina tidak memberi kabar dan kami tidak menemukan dia, Papa baru hubungi polisi." Kata Arga. Wardoyo setuju, "Ya sudah, tunggu kabar dari Bima, dia tinggal di rumah sahabatnya Wina." * Kaki Wina terus melangkah, walau sudah lemas untuk menopang pertarungan. Beberapa kali ia terpotong oleh kerikil jalan kecil, tapi tak di hiraukan. Wina Tetap berjalan dengan mata menarik membaca beberapa spanduk di jalan. Hari sudah cukup sakit, Berharap saat ini juga sedang harus mendapatkan pekerjaan. Langkah wina terhenti, ia mengerutkan dahi, "Dicari, karyawan, untuk perempuan di bagian pelayan!" Katanya, membaca sebuah spanduk kecil di seberang sana. Selesai membaca itu, tanpa menoleh kanan kirinya, Wina berjalan ke arah spanduk itu sampai kebetulan mengenaskan menimpanya saat itu juga. Baru saja Wina di tabrak oleh sebuah mobil yang melintas. Untung saja, si-pengemudi segera menancap rem. Namun tetap saja, Wina terjatuh duduk diatas aspal. Pengemudi membuka pintu mobilnya, Menghampiri Wina yang sedang sakit di depan mobilnya. "Heh, bodoh! Kalau mau menyabrang, lihat kanan-kiri! Kau pikir ini jalanan nenek moyangmu!" Bentaknya. Mendengar suara tinggi milik lelaki, Wina mendongak, menatap lelaki yang berdiri di hadapannya dengan angkuh. Lelaki yang terlonjak saat melihat wajah Wina. Ia menggeram marah, "Ternyata kau! Perempuan gila yang meminta-minta pekerjaan di kantorku!" Katanya. Jelas, lelaki itu bernama Satria Putra Aditama. Wina masih tidak merespons ocehan Satria. Ia berusaha mengingat-ingat wajah lelaki dihadapannya. Dua menit kemudian, ingatan Wina kembali cerah. Ia ingat dengan lelaki di hadapannya. Satria! Beberapa jam yang lalu mengusirnya di depan kantor. Walau susah payah, Wina terus berusaha untuk berdiri. Ia baru bisa berdiri setelah menghabiskan waktu empat menit, itupun ia harus menopang paha kanannya yang patut dicengklak. Mata Wina memandang tajam manik mata Satria. "Kau pikir aku tidak punya mata !? Tadi jalanan sepi, jadi aku rasa, hal menengok kanan kiri itu tidak perlu kulakukan!" Tukas Wina, marah. Alis Satria terangkat satu, "Kau memang gila." Gumamnya dan kembali badan untuk kembali masuk ke mobil. Melanjutkan perjalanannya menutu apartemen untuk tidur dan bermanja-manja di sana. Namun, terhenti, begitu ada yang mencekal diundang. Satria membalik badan lagi. Dan lagi, ia melihat wajah Wina. Sangat tidak enak, wajah Wina jika dilihat oleh mata. "Apalagi? Lepaskan tanganmu!" Satria membentak. Sontak Wina membuka cekalan di tangan Satria dan menatap tajam lelaki itu, "Aku tidak mau tau! Sekarang, kamu harus bertanggung jawab atas tindakanmu! Obati lukaku!" Katanya. "Itu bukan kesalahanku! Kau sendiri yang ingin membunuh dirimu sendiri!" Jawab Satria. Sesaat, Wina menghela napas dan kembali beradu mulut, "Kalau kau tidak mau, aku akan melaporkan kejadian ini ke polisi! Kau akan di penjara." Napas Satria terhenti saat mendengar ucapan dari mulut Wina. Bola Mata Satria berputar, menentang kekesalannya terhadap gadis di hadapannya. "Sebenarnya, apa mau mu?" Suara Satria sedikit rendah. "Aku mau, kau obati lukaku!" "Baik, kau masuk ke mobilku." Masuk ke dalam mobil Satria. Ia duduk di kursi belakang. Matanya masih memandang Satria penuh kesal, begitupun dengan Satria, ia lebih kesal. Mobil Satria berhenti di sebuah Rumahsakit. Terlihat sangat beda dengan Rumahsakit lainnya. Ini lebih mirip istana, tidak layaknya Rumahsakit. "Turun!" Perintah Satria kepada Wina. Tanpa menjawab, Wina Membuka pintu mobil dan turun lebih dulu. Kakinya terpincang-pincang berjalan di belakang Satria. Mengekori lelaki yang berperan menyebalkan itu. Sampai di sebuah pintu kamar, Wina ikut masuk ke dalam ruangan yang masuk masuk oleh Satria. Setelah membahas ruang itu, Wina bingung di buatnya. Bingung bukan karena kemegahan ruangan itu. Melainkan Wina bingung dengan tingkah Satria yang semena-mena. Lihat, lelaki itu dengan enaknya duduk di sofa, tanpa menyapa lebih dulu pemilik ruangan itu. Sementara pemiliknya sedang sibuk mengobrak-abrik etalase yang menyediakan obat-obatan. "Sayang, tolong obati wanita itu." Suara Satria terdengar. Saat melantunkan kata itu, sambil memandang Wina yang berdiri kesakitan tak jauh darinya. Wanita yang sedang berdiri membelakangi Satria berhenti mengobrak-abrik etalase. Ia membalikan tubuh dan terlonjak saat melihat Satria terduduk di sofa. Lalu wanita itu menoleh ke arah Wina. Menatap Wina penuh selidik. "Siapa dia?" Tanyanya, untuk Satria. "Dia wanita gila yang berusaha mencari perhatianku dengan cara melepaskan dirinya di tabrak oleh mobilku." Jelas Satria sangat mengada-ngada. Hampir saja Wina lepas bola, jika ia tidak menetralkan emosinya saat itu juga. Wina meneguk salivanya dan memandang Satria penuh amarah, lalu menatap wanita yang saat ini sedang menatapnya. Samar-samar, Wina bisa membaca NameTag di dada kiri wanita itu. Ternyata ia bernama Maria Nicole. "Maaf nona, suamimu jelas sangat menyukai." Kata Wina. Maria terlihat mengerutkan dahi, ia melirik Satria untuk meminta penjelasan kepada lelaki itu. "Dia yang pulih, sayang. Sejak aku berpacaran denganmu selama dua tahun, aku belum pernah mengerti kan? Pecayalah." Satria melirik Wina sekilas. Wina sempat terlonjak saat Satria menggantikan kata 'pacar. Dan barusan ia salah, membatalkan status orang. "Satria, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa menabrak dia?" Telunjuk Maria mengarah ke Wina, melainkan beralih Satria penuh tanya. Ternyata dia bernama Satria! Batin Wina. "Mengubah, aku menabraknya tidak sengaja. Cepat kau obati dia, aku sudah muak melihat perubahan." Jelas Satria. Kaki Wina sudah mulai sedikit untuk menampar pipi Satria, tetapi ia gagal. Maria sudah lebih dulu menyeretnya untuk duduk di ranjang. "Mana yang luka?" Tanya Maria, lembut. Tidak menjawab, Wina malah asik mengabaikan wajah Maria. Wanita yang sedang berdiri tepat dihadapannya itu sungguh cantik dan menawan. Sangat betah untuk dilihat. Kulit putihnya, bibir tipisnya, hidung mancungnya dan rambut hitamnya yang panjang membuat Maria lebih pantas di panggil bidadari. Oke, ini sangat berlebihan. Sekali lagi Maria bertanya kepada Wina, "Mana yang luka? Aku harus obati kau, sebelum Satria mengamuk karena aku bertele-tele." Wina tersadar, "Maaf, aku sibuk memandangi wajahmu. Lukaku hanya di lengan." Ia meninggalkan lengannya yang terluka karena aspal jalanan. Tangan Maria meraih lengan Wina, mengambil luka itu, "Ini hanya luka ringan. Apa hanya ini lukanya? Kaki kau tadi terpincang-pincang." "Kakiku bukan apa-apa. Aku sengaja meminta pertanggungan jawab kepada pacarmu. Karena dia sudah mengusirku di kantornya saat aku melamar pekerjaan di sana." Jelas Wina, sedikit melunakan suaranya agar Satria tidak terdengar dari ujung sana. Senyum Maria terukir dari bibir manisnya. Tangannya mulai lincah memberi obat di luka Wina. "Dia memang angkuh, tapi aku mencintainya." Kata Maria, masih dengan pengobatan luka Wina. Selesai di obati, Wina dari tempat tidur, berjalan mengambil langkah Maria yang akan menghampiri Satria. Dan benar saja, Maria duduk di sebelah Satria yang sedang sibuk dengan ponsel. " Oleh , dia sudah aku obati." Ujar Maria. Kepala beralih menoleh ke Maria dan tersenyum. Tangannya mengacak rambut Maria sok romantis. Lalu tatapannya beralih ke Wina yang menghadap jijik kearahnya. Wina membuang pandangan ke arah lain saat melihat Satria memergokinya. "Kau sudah pulih kan? Jadi, sekarang kau keluar dari sini! Jangan menampakkan wajah kusammu di hadapanku lagi. Kau mengerti?" Tutur Satria. "Satria, kamu tidak perlu berlebihan memarahinya. Dia akan pergi tanpa kamu minta." Sahut Maria, melirik Wina. Wina yang mengertu itu, ia berdiri dan melangkah keluar dari ruangan itu. Saat itu juga hati Satria bisa lebih lega. Setelah melepaskan Kepergian Wina, ia menoleh ke Maria dan memeluk manja pasangannya. "Kau tau? Dia itu gila!" Katanya dan tertawa. "Jangan bicara sembarangan Sat, dia baik-baik saja. Oh iya, ngomong-ngomong, darimana kau tau apakah aku masih ada di Rumahsakit?" "Aku selalu tau." * Tidak segampang itu, bagi seorang Wina, menyerah dengan usahanya. Setelah di usir oleh Satria, Wina memang keluar dari ruangan itu. Namun ia tidak akan keluar dari daerah Rumahsakit. Seperti saat ini, Wina sedang berdiri di sebelah mobil milik Satria, menunggu si-pemilik datang. Lama menunggu, akhirnya Satria menampakkan dirinya. Wina segera memasang wajah garangnya. Saat melihat seseorang berdiri di sebelah mobilnya, Satria mengerutkan dahi, langkahnya mulai cepat. Dan lagi, harus melihat wajah Wina. "Kamu?" Tunjuknya ke Wina. "Kenapa? Kamu takut?" "Sedang apa kau di sini?" "Aku menunggumu! Bego!" Satria tidak menggubris jawaban Wina. Lelaki itu beranjak membuka pintu mobil dan masuk. Saat dikembalikan membuka pintu mobil kembali, ia di cegat oleh Wina. "Kau harus bertanggung jawab lagi!" Bentak Wina. Lalu ia memutari mobil Satria dan membuka pintu depan, masuk dan duduk di sebelah Satria. "Apa yang kamu lakukan?" Nada suara Satria meninggi. "Kamu harus bertanggung jawab! Kakiku masih sakit dan di Jakarta, aku tidak punya saudara setuju!" "Itu tidak ada yang disetujui denganku!" "Kau harus memberiku tempat dan pekerjaan! Apapun pekerjaannya. Ku mohon ... aku siap di perbudak oleh kau, tapi tolong, beri aku tempat tinggal dan terima aku selama aku bekerja." Suara Wina tidak seperti biasanya, kali ini ia mengeluarkan suara halus untuk Satria, selama mereka bertemu. Mata Satria melebar, "Kau pikir aku bodoh? Aku tau, umurmu masih belasan tahun, dan aku tidak akan mau dibodohi oleh anak kecil sepertimu!" Wajah Satria sudah merah. "Aku sudah dua puluh tahun. Aku mohon ... beri aku kesempatan untuk membahagiakan kedua orangtuaku ... aku menyayanginya dan juga kakak-kakakku ... hiks ..." Air mata sekarang sudah membasahi pipi Wina. Ia benar-benar menangis saat ini. Ini karena dia membahas tentang keluarga. "Kenapa kamu tidak meminta pada kakakmu saja? Aku bukan siapa-siapamu. Apa aku tidak mengenalmu." "Akan aku ceritakan semuanya tentang diriku, tapi nanti, setelah kau mau memberiku tempat tinggal dan pekerjaan untukku. Ku mohon ... saat ini hanya kau-lah satu-satunya orang yang ku kenal." Hanya helaan napas yang keluar dalam diri Satria. Ia mulai mengendarai mobilnya tanpa menjawab.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN