Sekarang mobil Satria dibuka basement apartemen. Ia keluar, tanpa memperdulikan Wina.
Masih dengan wajah ceria, Wina keluar dari mobil, menghadap Satria yang masih berdiri menunggunya. Setelah melihat Wina sudah keluar dari mobil, Satria mulai melangkah dan Wina mengekori lelaki itu.
Berkat memasuk angkat ke lantai 13 dalam diam. Dalam gaya, Satria yang bersender ke mesin angkat sambil memasukkan kedua dimasukkan ke saku. Sementara Wina di sebelah Satria hanya berdiri tegak, diberikan napas karena gerogi.
Pintu lift terbuka, mereka keluar dan kembali, Wina mengekor lagi di belakang Satria hingga Satria sampai di pintu kamarnya. Sejenak, ia memasukkan kode kamarnya lalu dibuka pintu.
"Cepat masuk!" Bentak Satria saat melihat Wina masih berdiri di luar.
Lalu Wina masuk. Matanya langsung menghadap ke ujung sampai ke pojok ruangan putih itu. "Kau tinggal di apartemen ini?" Tanyanya. Kepala Satria mengangguk.
Mata Wina memandang Satria yang berdiri di sebelahnya, "Aku tidur dimana? Kerja Dimana?"
"Kau tidur di gudang sebelah kamarku." Jawab Satria dingin.
Memelototkan mata, sambil memegangi lutut, Wina menyahut, "Kau! Hei, aku ini wanita. Bagaimana pun, aku takut dengan tikus, kecoa dan ... ih, hal yang menjijikan!"
"Gudangku tidak seburuk yang kau tanyakan. Disana tidak ada kecoa atau tikus, malah debu malah. Tapi kalau kau tidak mau, aku tidak masalah, kau hanya perlu pergi dari sini dan jangan minta tolong kepadaku lagi!"
Tidak ada pilihan lagi, selain Wina harus tinggal di apartemen milik lelaki angkuh itu. "Dibutuhkan. Kalau pekerjaan? Kamu tidak lupa kan?"
"Kau akan menjadi pelayan di sini."
Senyum Wina mengembang, "Oh, pembantu. Aku siap. Eh tapi ... apa yang harus ku lakukan sehari-hari?"
"Kau harus memasak setiap pagi dan malam, membersihkan seluruh apartemenku, mencuci pakaianku, membereskan kamarku, dan yang paling penting, jangan lupa membersihkan kamar mandi yang ada di kamarku!" Jelas Satria sangat lantang dan tegas.
Melongo. Itu diungkapkan yang dikeluarkan oleh wajah Wina, "Hei, disini sudah ada petugas yang membersihkan lantai dan kamar mandimu!"
"Mulai besok, aku tidak akan pergi lagi, karena aku sudah memilikimu, sebagai pembantuku! Jika kau mau, tolong keluar dan cari pekerjaan lain." Tegas Satria.
"Membantu, aku setuju saja. Ah ya, malam ini kamu tidak perlu makan ya? Aku lelah harus mulai bekerja sekarang juga."
Kepala Satria mengangguk, "Aku sudah makan." Lalu Berjalan meninggalkan Wina. Lelaki itu masuk ke kamarnya sendiri.
Mata Wina masih menatap lurus ke depan, menghadap pintu kamar milik Satria. Beberapa detik kemudian, Wina tersadar dan berjalan menuju kamar barunya.
Sekarang dibuka pintu kamar sebelah Satria, sekarang sudah resmi menjadi kamarnya, Wina melihat pemandangan serba putih. Dinding putih, lemari putih dan tempat tidur yang di balut kain putih pula. Di sekitar tempat tidur ada beberapa kardus-kardus. Wina segera mengubah kardus menjadi kamar tidur rapi. Setelah itu ia merebahkan di tempat tidur, nikmati kamar barunya.
Beberapa menit kemudian, Wina akan menemukan sesuatu, ia bangun dan keluar dari kamar. Sekarang Wina sudah mulai di depan pintu kamar Satria, mulai terlihat gelisan. Tangan kanannya ingin melayang, mengetuk pintu tapi agak ragu. Sejenak, Wina menghela napas dan mengetuk pintu beberapa kali. "S-sa-Satria .. Satria buka pintunya dong ..."
Pintu kamar Satria terbuka, terbuka tubuh lelaki hanya memakai celana boxer dan bertelanjang d**a.
"Astaga!" Pekik Wina sambil mengalihkan pandangannya ke Arah yang lain.
Satria mengacak rambutnya, "Ada apa?" Tanyanya.
"Ak-ak-eh, emmm ... tas-ku masih di mobilmu."
Meninggalkan Wina, Satria kembali lagi, melemparkan kunci mobil ke tangan Wina. Sontak Wina bertarung objek yang tepat sasaran. Ia berterimakasih lalu keluar dari apartemen menuju basement
*
Paginya, Wina bangun pukul 06:30, ia segera keluar dari kamar sambil membawa krim pencuci wajah. Karena di kamarnya tidak ada kamar mandi, jadi wina harus disimpan di kamar mandi dekat pantry .
Selesai melakukan itu, Wina menuju pantry. Berniat membuat uang untuk Satria dan jika perlu juga untuk dirinya.
Beberapa kali Wina, Hanya laci, ia tidak ditemukan disebut bahan masakan yang akan ia masak. Wina beralih mencarinya di kulkas. Matanya melotot tak percaya saat ia hanya menemukan satu kemasan sereal dan s**u kotak menerima satu liter.
"Sereal? s**u?" Gumamnya, sambil mengangkat sereal dan s**u.
Terpaksa, Wina harus membuat bahan itu menjadi sarapan pagi. Ia membagi sereal itu di dua mangkok dan mencampurkannya dengan s**u.
"Ehmm .." Deheman seseorang membuat Wina mendongak, ia melihat wajah Satria.
"Eh, em .. ma-maaf, aku-aku hanya bisa membuat sereal. Bahan masakan di sini sudah jadi semua. Hanya tersisa ini." Jelas Wina, menunjuk ke arah sereal yang sudah siap makan.
Kepala Satria mengangguk, ia merogoh saku celananya, mengambil dompet dan mengluarkan semua uang yang ada di dompetnya. Hanya bernominal seratus ribu.
"Ini, untuk belanja kebutuhan dapur. Kamu bisa belanja di supermarket dekat sini." Katanya, letakkan uang di meja dan ia duduk.
Setelah mendapatkan uang di meja bar, Wina mengerutkan dahi, mencari uang itu, "Hei! Uang seratus ribu itu hanya bisa untuk membeli bumbunya saja! Kau kan bos di kantor! Dasar, pemuda kere!"
"Aku belum resmi menjadi bos! Aku masih magang di sana, karena Orangtuaku masih tak percaya denganku." Jelas Satria, suaranya agak meninggi karena pagi-pagi sudah menghadapi wanita itu.
Senyum sinis Wina keluar, "Hanya orangtuamu saja yang tidak percaya dengan hasil."
Selesai dihabiskan sereal, Satria beranjak dari duduknya dan dikirim Wina begitu saja. Wajahnya masih terlihat murka, napasnya naik turun.
"Satria, aku tidak tau dimana supermaketnya!" Teriak Wina, masih di tempat tapi berjalan Satria berjalan.
Kaki Satria lantas berhenti, berbalik badan dan bertemu lagi dengan wajah itu, "Dua meter dari sini!" Ketusnya. Kepala Wina mengangguk.
*
Satu hari Wina meninggalkan rumah, Linda jatuh sakit karena tak tahan memegang rindu dengan anak bungsunya.
Wardoyo mengelus rambutnya yang terbaring lemah di tempat tidur rumahsakit. Keluarkan pagi-pagi sekali sudah disetujui di dalam ruangan serba putih itu.
"Mak, Mamak makan yah?" Ujar Wardoyo yang kesekian dihadiri, membujuk Linda untuk makan.
Kepala Linda menggeleng lemah, "Pa, mana Wina? Mamak kangen ..." Jawabnya.
"Wina akan segera pulang, Mak." Kata Bima.
Linda semakin terisak, sambil bergumam, "Tapi kapan, Bima? Mamak ingin bertemu Wina sekarang juga. Apa kalian tidak menerima mana dia akan tidur? Mamak takut Wina kenapa-kenapa."
*
Bermodalan sandal milik Satria yang tergeletak di lantai begitu saja, Wina berjalan kaki menuju supermarket. Itu tidak akan menggunakan angkot atau sejenisnya, karena hal itu akan mengurangi uang bantuan dari Satria untuk kebutuhan dapur.
Butuh waktu sekitar tiga puluh menit, untuk Wina sampai di supermarket itu. Akhirnya ia sampai. Langsung saja Vienna mengambil troli dan berjalan menuju tempat sayuran.
Setelah semua terbeli, Wina mendorong troli menuju kasir untuk membayar.
"Semuanya sembilan puluh ribu empat ratus, Mbak." Ujar kasir.
Saat itu juga, hidup Wina kembali bersemangat. Berkali-kali naikatkan do'a dalam hati dan hasil tak sia-sia. Tuhan masih menyayanginya. Wina mengirimkan uang seratus ribu dan menerima kembalian uang itu.
Sepulangnya dari supermarket, Wina senang menata belanjaannya di kulkas. Ia menata beberapa telur di sana dan sayuran. Setelah itu ia berganti menyusun lima belas bungkus mie instan di laci untuk kebutuhan mendadak.
Jam sudah menunjukkan pukul 05:30, Wina terbelalak seketika. Kakinya berlari gontai keluar dari kamar menuju pantry, membuat makan malam untuk Satria, sebelum lelaki itu menampakkan dirinya di apartemen.
Hal pertama yang Wina lakukan adalah mengambil beberapa butir telur di kulkas. Setelah itu memecahkan telur di dalam mangkok dan mencampurnya dengan sedikit garam lalu menuangkan semuanya ke dalam wajan yang sudah dididih.
Pengetahuannya memang kurang mengerti tentang apa yang harus diperbaiki, membuat Wina mendorong kepalang jika di hadapkan untuk membuat makanan. Selama pulang dari supermarket dan selesai menata bahan masakan, Wina mengumumkan di dalam kamar, sibuk dengan ponsel hanya untuk mencari resep masakan yang akan ditanyakan. Dan yang bisa membuatnya peragakan sama seperti di internet membuat omelet.
"Selesai ..." Serunya, setelah berhasil dipindahkan telur yang sudah matang di piring.
Wina meletakan menu masakannya malam ini di meja bar. Sambil menunggu Satria pulang, ia berniat mencoba dulu masakannya malam ini. Tapi deheman ada yang membuat urung untuk melakukan hal itu.
Saat menginap mendongak, Wina melihat Satria di sana. Berdiri di tempat, masih memakai pakaian dan mencangking tas kerja.
"Jangan sekali-kali mencolek makananku!" Ujar Satria lalu membalik badan.
Ekspresi Wina hanya biasa-biasa saja. Tidak percaya juga, ia mencoba mencoba makanan majikannya setelah dia sendiri memesan makanan itu di meja. Mungkin jika masih dalam masa pengolahan, Wina bisa saja mencicipinya.
Satria kembali menampakkan gerakan lagi dihadapan Wina. Lelaki itu sudah berdiri dihadapan Wina dan diambil duduk di tempat. Kepala Satria menunduk, ia melihat telur dadar di sana.
"Apa ini?" Tanyanya.
"Menu makan malam hari ini." Jawab Wina, polos.
Mata Satria memandang tak percaya pada Wina. Seharian kerja, puas dengan bentakan dan ucapan-ucapan kasar dari Papinya, pulang hanya di suguhkan dua butir telur? Satria menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
"Jangan gila, aku memberimu uang seratus ribu dan kau hanya memasakkanku telor seperti ini?"
"Harusnya kau bersyukur, malam ini akhirnya aku bisa membuat telur dadar. Setiap minggu aku selalu buat membuat dadar di rumah, selalu selesai mengenalkan, selalu gosong. Tapi lihatlah sekarang, aku bisa membuat omlet tanpa cacat." Balas Wina lalu tersenyum.
Mulut Satria mengaga pandang wanita di hadapannya. "Kalau kamu tidak bisa memasak, kenapa kamu mau jadi pembantu !?" Bentaknya.
"Aku butuh pekerjaan! Sudahlah, kau makan saja telur ini. Besok aku akan mencoba masakan baru" Kata Wina, menyodorkan lebih dekat piring yang berisi telur.
"Di mana nasinya?"
Mendengar pertanyaan itu, refleks Wina menepuk dahinya sendiri. Ia lupa memasak nasi. "Ya ampun, Satria ... aku lupa!" Katanya.
Akhirnya Satria memilih untuk sibuk menghabiskan, ia terlalu sayang dengan tenaganya jika hanya untuk berdebat dengan seseorang.
"Besok aku akan memperbaiki masakanku. Aku tidur dulu." Ucap Wina dan berlari ngribrit ke kamarnya, meninggalkan Satria yang makan dengan perasaan jengkel setengah mati.
*
Sesuai dengan ucapannya, pagi-pagi Wina sudah berdiri di depan kompor. Dan yang ia lakukan sekarang ini menyalakan kompor yang belum menyala. Menunggu datangnya ide.
"Bagaimana aku akan memasak? Aku tidak bisa memasak apapun selain memasak telur, memasak air dan merebus mie!" Keluhnya, sambil menggaruk tengkuk.
Kaki Wina melangkah menuju kulkas, mencari sesuatu di sana. Wina mengambil kemasan s**u dan s**u satu liter. Mungkin hari ini Wina akan membuat sereal saja. Ia tidak bisa memasak apapun karena keterbatasan ide.
Tepat saat Satria menampakkan dirinya di pantry, Wina sudah selesai membuat serealnya. Ia meletakan dua mangkok sereal di meja bar, setelah Satria duduk di menerima.
"Maaf ya, Satria ... aku kembali membuat sereal saja. Aku tidak bisa membuat apa-apa. Otakku masih penuh dengan mimpi-mimpi indah semalam." Jelas Wina, proses memelas.
"Jangan bicara! Aku sudah muak dengan omong kosongmu!" Bentak Satria lalu makan enak.
Setelah menyobek serapahi Satria di dalam hati, Wina berlari meninggalan Satria, masuk ke dalam kamar.
Dikamar, Wina mengambil ponsel yang terletak di sebelah tidur kamar tidurnya. Helaan napas keluar, saat melihat ponselnya mati tak berdaya, kekurangan batrai.
Wina keluar dari kamar, menghampiri Satria lagi yang masih sibuk menghabiskan sarapan paginya. Ia berdiri di depan Satria, berbatasan dengan meja bartender.
"Satria, aku-aku mau pinjam charger, ada?" Tanyanya, gugup.
Kepala Satria menongak, "Ambil saja di kamarku." Jawabnya dan lagi sibuk dikonsumsi.
"Satria?"
"Apa lagi? Jika kamu butuh charger , ambil saja di kamarku!" Satria membentak.
Sebelum mengutarakan, Wina memejamkan mata, "Apa yang bisa saya ambil gajiku lebih dulu? Aku butuh uang untuk membeli pulsa ..."
"Aku sedang tidak punya uang saat ini."
"Tapi aku butuh pulsa untuk membeli keluargaku di medan. Mereka pasti mencemaskanku."
Tangan Satria merogoh saku celana. Saat itu juga, Wina berhasil menang. Tapi setelah mengetahui apa yang Satria keluarkan dari dalam saku, Wina mengerutkan dahinya, "Aku butuh uang, bukan ponselmu!"
"Catat nomor ponselmu, aku akan mentransfer pulsa saja." Jelas Satria.
Walau ogah, Wina menyambar ponsel Satria dan menyimpan nomor ponselnya di sana. Setelah ia mengembalikannya ke Satria, "ini,"
"Wina?" Ujar Satria, membaca nama yang dibuka di nomor ponsel Wina.
Kepala Wina mengangguk, "Namaku Wina Putri Wardoyo." Katanya, bangga.
"Aku tidak bertanya nama panjangmu!" Ketus Satria lalu ia beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Wina di sana seorang diri.
Wina Membuka pintu kamar Satria penuh hati-hati, lalu ia masuk. Warna coklat s**u langsung menyapa mata Wina. Ini adalah pertama kali Wina masuk ke kamar Satria dan Wina sangat mengagumi kamar lelaki itu. Kamar Satria cukup luas, dengan tempat tidur yang disediakan kingsize, kamar mandi, dan juga beberapa bingkai foto di meja kerja Satria. Sangat nyaman dan pantas jika ini milik lelaki.
Kembali ke niatnya, Wina melangkah menuju nakas kecil di sebelah kamar tidur. Disana terdapat fas bunga berisi bunga mawar dua tangkai yang masih segar dan charger- sebuah ponsel. Wina meraih charger ponsel itu dan langsung keluar dari kamar Satria.