Sore ini, Jakarta di guyur hujan sejak pukul dua belas siang hingga sekarang, sudah menunjukkan waktu sore tepatnya pukul 18:00. Udara dingin semakin terasa menyeruak di tulang-tulang. Membuat Wina harus mengenakan jaket tipisnya guna untuk meringankan dingin.
Setelah berhasil membuat omelet untuk menu makan malam ini, Wina memilih duduk di sofa sambil menikmati secangkir teh hangat dan di temani oleh televisi.
Beberapa kali Wina mempererat genggamannya pada mug berwarna coklat itu, tetapi dingin masih sangat terasa ditelapak tangannya, membuat Wina semakin menggigil.
"Satria... sayang... sayang..." Suara seorang Wanita terdengar di kedua telinga Wina.
Sontak kepala Wina menoleh ke belakang dan ia tidak menemukan siapapun. Akhirnya Wina beranjak dari duduknya untuk melihat yang sebenarnya.
Saat Wina sampai di ruang tamu yang hanya berbataskan dinding dengan sofa yang baru saja dirinya duduki. Wina melihat seorang wanita disana. Wanita itu duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu duduk berleha-leha disana sambil berusaha melepaskan sepatunya.
Siapa wanita itu? Kenapa dia bisa masuk?
Dengan berani, Wina menghampiri Wanita itu sambil berkacak pinggang berlagak tegar. "Siapa kau?" Tanya Wina langsung.
Mendengar suara Wina, wanita yang sedang membungkuk itu lantas segera mendongak, memandang Wina dengan raut wajah bingung. "Hei, seharusnya aku yang bertanya. Siapa kau?" Kata wanita itu.
"Aku Wina." Jawab Wina polos.
Tiba-tiba pintu terbuka. Satria masuk kedalam. Wina mengangkat kepala memandang Satria dan wanita yang belum di ketahui nama serta statusnya itu menoleh ke samping tepat di pintu, letak Satria berdiri.
Wanita itu beranjak dan mengahampiri Satria lalu memeluk lelaki itu tanpa dosa, "Sayang... aku merindukanmu..." Ucapnya manja.
Satria tidak keberatan dengan pelukan wanita itu, ia bahkan membalas pelukan itu, membuat semakin erat dan seperti tidak ingin lepas. "Aku juga." Satria membalas dengan bisikan di telinga wanita itu.
Dan yang dilakukan Wina sekarang hanyalah berdiri di tempat, memandang adegan saling berpelukan, mengutarakan rasa rindu yang mendalam dari kedua belah pihak serta pikiran yang melayang-layang. Siapa wanita itu?
"Satria, siapa wanita itu?" Si-wanita yang barusan memeluk Satria tanpa aba-aba itu bertanya, menunjuk Wina yang sedang kebingungan.
"Dia pembantuku." Jawab Satria singkat, ia mengandeng wanita itu ke ruang televisi, tanpa memperdulikan Wina.
"Kenapa kau tidak bicara denganku? Aku juga bisa membantu membersihkan apartemenmu, di bantu oleh Maria juga. Kita akan membagi waktu untuk bekerja." Kata wanita itu.
Di balik dinding, Wina mendengar semua percakapan Satria bersama wanita itu. Dan saat wanita itu menyebutkan nama Maria, Wina terlonjak kaget. Ia sangat kenal dengan nama itu. Maria, dokter yang beberapa hari lalu mrngobati lukanya dan dia adalah pacar Satria. Saat Satria kembali berbicara, Wina memasang kedua telinganya kuat-kuat.
"Aku tidak akan membiarkan orang-orang yang aku cintai menjadi seorang asisten." Jawab Satria sambil terkekeh dan lelaki itu mengacak rambut wanita di sebelahnya.
"Tapi honey, aku takut kau jatuh hati pada pembantumu sendiri!"
Satria kembali terkekeh, "Olif, kau terlalu banyak menonton film drama. Aku tidak akan menyukainya. Di dunia ini, aku hanya mencintai tiga wanita, yaitu Ibuku, kau dan Maria."
Sekarang Wina sudah mengetahui faktanya. Wanita itu bernama Olif. Dan Satria, bos atau tuan mudanya itu ternyata mempunyai dua orang pacar sekaligus dan bagusnya kedua pacarnya itu saling akrab.
Wina keluar dari persembunyiannya, ia bediri di sebelah Satria yang sedang bermesraan dengan Olif. Tidak ada yang diucapkan dari mulut Wina, ia hanya mematung tak bisa berbasa-basi.
Menyadari bahwa ada Wina di sebelahnya, Olif melirik Wina, "Perkenalkan, namaku Olif." Ujar Olif tanpa mengulutkan tangan untuk bersalaman tetapi ia tersenyum.
Wina balas tersenyum. Satria mendongak, memandang Wina, "Dia pacarku." Katanya
Mata Wina sengaja di bulatkan seolah ia baru saja mengetahui yang sebenarnya, padahal ia sudah tahu sendiri. "A-ap,apa? Bukannya kau sudah punya pacar dan dia bernama Maria, seorang dokter?" Kata Wina, berusaha kaget.
"Dia pacar pertamaku dan ini yang kedua." Tunjuk Satria pada Olif dengan bangga. Olif tersenyum senang.
"Oh, maaf nona.. aku tidak bermaksud lancang tadi saat melihat kau di ruang tamu. Maafkan aku." Wina menunduk merasa bersalah.
Olif kembali tersenyum, "Tidak masalah. Siapa namamu?"
"Wina."
"Ahiya, maaf aku lupa."
Giliran Wina yang tersenyum, "Apa nona ingin minum?"
Kepala Olif menggeleng. Wanita itu memandang Satria, "Kita akan segera tidur." Katanya.
Satria tanpa basa-basi menggandeng Olif menuju kamarnya dan masuk bersama-sama.
Wina mencebikkan lidahnya, kesal. Ia sudah susah payah membuatkan omelet untuk makan malam ini dan wanita yang baru saja dikenalnya menghancurkan detik-detik Satria yang akan memuji masakannya nanti. Akhirnya Wina beralih ke pantry, berniat untuk memakan sendiri omelet yang dirinya masak.
Pukul satu dini hari Satria mengetuk pintu kamar Wina berkali-kali sambil menggumamkan nama Wina.
"Wina... Win..."
Wina yang sudah terlelap tak bisa di ganggu gugat lagi. Ia hanya mengganti posisi berguling ke kanan. Jaket hitam masih terbalut di tubuhnya.
"Wina buka pintunya..." Ucap yang ada diluar, berusaha membangunkan Wina.
Satria sudah tak kuat lagi menahan perutnya, ia akhirnya membuka pintu kamar Wina tanpa sepengetahuan sang pemilik. Setelah masuk, Satria duduk di tepi tempat tidur Wina. Tangan Satria menggoyang-goyangkan bahu Wina pelan. "Hei bangun..." Pintanya.
Tidak ada respon dari Wina. Satria mencoba membalikan tubuh Wina menjadi terlentang dan setelah berhasil, ia menepuk-nepuk pipi Wina sambil bergumam, "Wina bangun... aku lapar..."
Mata Wina mau tak mau harus terbuka dan yang pertama kali ia lihat adalah wajah cemberut Satria. Hendak saja Wina terteriak histeris, tetapi Satria mencegahnya dengan membekap mulut Wina kuat-kuat. "Ada Olif sedang tidur!" Bentaknya.
"Kau-kau, apa yang kau lakukan di kamarku?" Tanya Wina histeris, sambil membuka selimutnya, merabah diri sendiri dengan pikiran yang sudah melayang negatif.
"Aku hanya membangunkanmu! Cepat buatkan aku makan malam!" Jelas Satria dan beranjak keluar dari kamar Wina.
Tidak ada lagi yang bisa Wina masak selain mie rebus. Jika ia harus membuat telur ceplok atau omelet, pasti akan hancur dan berakhir di tong sampah.
Mangkok berisi mie isntan itu Wina sodorkan di depan Satria. Lalu ia memejamkan mata kembali dengan kepala yang sudah di jatuhkan ke meja bar. Sangat tidak peduli jika Satria sedang makan.
Mungkin sibuk memakan mie instan akan meredakan emosinya saat ini kepada Wina. Satria menuruti kata hatinya, ia memakan mie itu penuh nafsu.
"Hei bangun! Cepat cuci mangkoknya dan tidurlah kembali!" Ujar Satria setelah ia menghabiskan mie-nya dan beranjak dari duduknya menuju kamar untuk kembali tidur.
Wina tidak menggubris perkataan Satria, ia tetap tidur di tempat.
*
Satria kembali ke pantry pagi harinya. Matanya langsung tertuju pada seseorang yang tengah terlelap di meja bar. Wina. Wanita itu ternyata benar-benar melanjutkan tidurnya di tempat itu. Sangat di luar dugaan Satria.
Satria menghampiri Wina, duduk di kursi sambil memandang wanita di depannya. Beberapa kali Satria menggoyang-goyangkan bahu Wina tetapi sang empu tetap pada posisi yang sama. Belum ada tanda-tanda akan bangun.
"Hei, bangun... Jika kau terus berpura-pura tidur, aku pastikan detik ini juga kau akan kehilangan pekerjaanmu dan tempat tinggal!" Ujar Satria.
Kepala Wina terangkat, ia mengucek kedua matanya dengan tangan untuk memperjelas penglihatan.
"Kau sudah bangun? Maaf, aku sangat lelah." Ucap Wina lalu beranjak dari duduknya.
Wina membuka kulkas, mengambil dua telur dan dua sosis. Ia meletakan semua itu di sebelah kompor gas. Bergegas mengambil pisau.
Dan yang dilakukan oleh Satria hanyalah memandang Wina sedang memotong sosis menjadi ukuran kecil. Bagaimana dia bisa melakukannya? Bahkan dia belum mencuci wajah!
Pintu kamar Satria terbuka, Olif keluar dari kamar Satria, masih mengenakan piyama tidur berwarna dasar ungu dan bergambar bunga. Kaki Olif melangkah ke pantry. Saat melihat sosok Satria disana, ia segera mempercepat langkahnya dan memeluk Satria dari belakang. Kedua tangan Olif menggulung di leher Satria. "Good morning..." Ujarnya sambil memejamkan mata.
Satria yang masih terkejut hanya menjawab dari dalam hati. Ia melepas tangan Olif yang mengganggu pernapasannya dan menuntun Olif agar duduk di kursi sebelah.
"Kau sudah bangun." Ucap Satria sambil mengacak rambut Olif.
Setelah berhasil memindahkan omelet ke piring saji, Wina meletakan kreasinya di meja. Menyodorkannya kepada Satria dan Olif.
"Waow..., kau jago masak juga, ya?" Puji Olif, memandang masakan Wina penuh kagum.
Perasaan Wina saat ini adalah bahagia. Ia tersenyum, memamerkan giginya yang belum di gosok pagi ini. "Hehehe, terimakasih."
"Dia hanya bisa memasak ini," Sambil menunjuk ke piring yang berisi telur dadar, dan melanjutkan, "dan mie instan!" Celetuk Satria, tangannya mencuil omelet.
"Setidaknya dia berusaha, Sat... kau tau? Bahkan aku tidak bisa memasak air." Bela Olif untuk Wina.
Mau tak mau hati Wina harus berdebar bahagia, ia terus tersenyum kepada Olif dan berterimakasih dalam hati.
"Model tidak perlu harus bisa memasak." Jawab Satria.
Seketika Wina memelototkan matanya, mengarah kepada Satria yang sedang asik memakan omeletnya tanpa nasi. Pagi ini Wina lupa memasak nasi lagi. "Aku akan burusaha menjadi pembantu yang baik!" Tukas Wina dan melangkah meninggalkan pantry.
"Kau sudah membuatnya marah, sayang!" Kata Olif.
"Dia hanya merasa." Jawab Satria.
Wina terus menyumpah serapahi Satria sambil melangkah menuju kamarnya. Setelah sampai di kamar, ia duduk di tepi tempat tidurnya. Tangan Wina meraih ponsel yang tergeletak di atas kamar tidur. Memainkan benda itu sejenak dan menghempaskannya kembali.
*
Keadaan Linda semakin hari semakin parah. Tangisnya selalu terdengar saat malam dan pagi, kala pikirannya kembali di ingatkan oleh sosok Wina, anak bungsunya. Linda masih menempati bed Rumahsakit. Ini adalah hari keempat ia terbaring lemah di tempat itu.
Seseorang masuk tanpa permisi, berlari kearah Linda cepat-cepat. Tangannya menggenggam ponsel. Arga yang sedang menyuapkan sarapan untuk Linda berhenti sejenak, memandang Bima yang kegirangan.
"Ada apa Bim?" Tanyanya.
Bima masih dengan senyum lebar, memperlihatkan ponselnya ke wajah Arga. Linda hanya diam tak menghiraukan anaknya.
Mata Arga seketika melebar, memandang ponsel Bima. Disana, di layar ponsel Bima, terdapat pesan yang di kirimkan oleh Wina. Isinya memang sederhana.
Wina : Abang, wina disini baik baik saja. Aku harap kalian juga baik baik saja. Jangan cemaskan aku. Wina sudah punya tempat tinggal dan pekerjaan disini. Salam untuk Papa dan mamak.
"Syukurlah, Wina baik-baik saja." Gumam Arga.
Mendengar nama Wina disebut, Linda menolehkan kepalanya, memandang Arga penuh tanya. "Wina?" Katanya.
"Wina baik-baik saja Mak. Mamak tidak usah khawatir. Disana dia sudah punya tempat tinggal dan pekerjaan." Jelas Bima dan tersenyum.
Mata Linda berkaca-kaca, ia mengeluarkan tangisnya kembali. Kali ini bukan tangis sedih menahan rindu. Ini adalah tangis kebahagiaan karena mendapat kabar dari seseorang yang di rinduinya.
"Wina akan menelfon nanti malam, karena pagi ini dia harus kerja." Kata Bima.
*
Setelah membaca balasan dari Bima, jantung Wina serasa berhenti seketika. Ia baru saja di kabarkan oleh Bima bahwa Linda sedang di rawat di Rumahsakit sejak dirinya menghilang. Air mata Wina terjatuh ke lantai. Ini adalah kesalahannya. Jika saja Wina tidak bertindak senekad ini, Bunda-Nya jelas akan baik-baik saja dan keluarganya juga tidak akan secemas ini.
Wina terisak sejadi-jadinya. Suara tangisnya tak bisa di tahan lagi, hingga terdengar dari luar.
Hingga telinga Satria mendengar suara seseorang menangis. Satria berhenti mengunyah makanannya, memperdalam pendengaran. Siapa yang menangis sepagi ini? Tanyanya.
"Sat, kau dengar suara tangis?" Olif bertanya. Satria jawab dengan anggukan.
"Sepertinya ada di kamar pembantumu!" Kata Olif dan beranjak dari duduknya. Ia lari menuju kamar Wina.
"Wina... hei... ada apa denganmu?" Ketukan pintu sudah di lakukan Olif beberapa kali sambil bertanya kepada yang di dalam.
Tidak ada jawaban. Satria yang berdiri di belakang Olif hanya melipat kedua tangan di d**a sambil menahan amarah yang di sebabkan oleh Wina.
Kepala Olif melirik Satria, "Bagaimana ini?"
"Wina, buka pintunya atau kau akan kehilangan pekerjaanmu!" Teriak Satria sekali napas.
Pintu kamar Wina terbuka. Wina nampak disana, dengan wajah yang lusuh sambil menahan isakan. "Aku baik-baik saja."
"Siapa yang bertanya keadaanmu! Cepat bersihkan kamarku! Aku berangkat ke kantor dulu." Tukas Satria lalu merangkul Olif dan bergegas pergi.
Mata Wina tak lepas dari pandangan tubuh Olif. Wanita itu masih mengenakan piyama tidur. Apa mereka akan ke kantor dengan pakaian seperti itu?