Seperti yang di perintahkan Satria pagi tadi. Setelah membersihkan tubuhnya, Wina masuk ke kamar Satria untuk membereskan kamar lelaki itu.
Walau malas, Wina tetap melakukan kewajibannya. Ia mulai memindahkan bantal-bantal di tempat tidur ke lantai dan menarik sepreinya lalu di gulung. Mengganti sprei baru yang sudah di sediakan.
Selesai itu, Wina beralih ke kamar mandi. Saat menutup pintu kamar mandi, matanya tertuju pada gantungan dibalik pintu. Disana ada sebuah bra berwarna pink yang mencolok. Dari segi warna, Wina sudah menduga bahwa benda itu adalah milik Olif. Wanita yang semalam tidur bersama Satria.
Bahu Wina terangkat acuh, ia segera mengabaikan benda itu dan mulai membersihkan toilet, lantai kamar mandi hingga pakaian-pakaian milik Satria yang tergantung begitu saja di dinding-dinding. Tapi tidak dengan bra yang ada di balik pintu. Wina tetap membiarkan benda itu menggantung disana.
Dua jam, waktu yang di habiskan Wina untuk membereskan kamar Satria dan mencuci pakaian. Wina menghempaskan tubuhnya diatas sofa, tangannya menggenggam gelas berisi air putih dingin.
"Wina?"
Suara lembut bak sebuah kapas itu terdengar di gendang telinga Wina. Sontak, Wina berhenti meneguk minumannya dan segera menoleh ke belakang, untuk melihat siapa seseorang yang memanggil namanya.
"Ma-ma-Maria...?" Seketika suara Wina menjadi gagap, masih belum percaya dengan siapa yang datang.
Segera Wina beranjak dari duduknya dan menghampiri Maria yang berdiri dengan jarak satu setengah meter darinya.
"Maaf Maria... maaf... ini bukan seperti apa yang kau pikirkan. Aku tidak merebut pacarmu. Aku disini hanya menjadi pembantunya, tidak lebih." Wina sudah berlutut di hadapan Maria penuh dramatis, dengan mata terpejam.
"Apa yang kau lakukan? Hei.. bangunlah.." Maria membantu Wina agar beranjak berdiri.
"Aku tidak memikirkan apa yang kau katakan tadi. Aku sudah tau semuanya, Satria sudah menceritakan kepadaku." Jelas Maria, tangannya masih memegangi kedua bahu Wina.
Kepala Wina mendongak, berhenti terisak, "Kau tidak marah?" Tanyanya.
"Marah?" Wina mengangguk.
"Aku senang, Wina. Dengan kau bekerja disini, berarti Satria tidak akan kerepotan lagi mengurus apartemen ini."
Sambil membatkan minum untuk Maria, Wina mempersilahkan Maria untuk duduk lebih dulu.
Beberapa menit kemudian Wina kembali, membawa satu gelas jus jeruk lalu meletakannya di atas meja.
"Silakan diminum. Maaf, aku hanya bisa memberimu minum seperti ini." Kata Wina.
Menanggapi ucapan Wina, Maria tersenyum dan menggelengkan kepala, "Aku bahkan merepotkanmu."
"Tidak. Aku senang bisa berjuma denganmu lagi." Jawab Wina seraya mengambil posisi duduk di sebelah Maria. Nampannya, sejenak ia letakan di lantai. Tangan Wina meraih remote TV dan menyalakan TV.
"Aku juga."
Mereka asik mengobrol. Menceritakan kehidupan masing-masing. Sesekali tawa Wina terdengar nyaring di seluruh sudut ruangan. Hingga keduanya tidak sadar bahwa Satria ada di belakang, berdiri disana.
"Ehmm." Satria berdehem cukup keras.
Bersmaan menoleh dan terkejut. Wina dan Maria beranjak dari duduknya. "Satria." Gumam Wina, takut.
"Kau sudah pulang? Ini kan masih jam dua." Ujar Maria sambil menghampiri Satria.
"Aku sedang bertengkar dengan Papa." Jelas Satria.
"Kau melakukan kesalahan lagi?" Tanya Maria.
Kepala Satria mengangguk, "Aku gagal membujuk perusahaan sebelah untuk bekerja sama. Aku masuk dulu." Lalu Satria berlalu.
Satria melintasi Wina begitu saja. Membuat Wina merasa bahagia atas keterpurukan lelaki itu.
"Wina, kau bisa membuatkan teh untuk Satria? Dia sepertinya sedang lelah. Aku akan mengobrol sebentar di kamarnya" Kata Maria.
"Aku segera buatkan."
Satu cangkir teh manis buatan Wina sudah siap di sajikan. Sampai di depan pintu kamar Satria, Wina mengetuk pintu itu sejenak. Sampai terdengar suara 'masuk' dari dalam, Wina baru masuk.
Saat Wina masuk, matanya melihat Satria sedang setengah berbaring di atas tempat tidur. Wina tidak melihat keberadaan Maria disana, mungkin wanita itu sedang di kamar mandi.
Wina berjalan hati-hati menuju nakas sebelah tempat tidur Satria. Ia meletakan secangkir teh disana, tepat saat pintu kamar mandi terbuka dan nampak seorang Maria.
"Wina, maaf aku merepotkanmu lagi." Kata Maria, seraya berjalan menghampiri.
"Dia pembantu disini." Celetuk Satria.
Kepala Wina menoleh ke samping, memandang sengit Satria, "Aku tau, aku disini pembantu!" Katanya lalu kembali memandang Maria yang kini sudah duduk di tepi tempat tidur Satria, hanya berjarak setengah meter dengan tempat Wina berdiri. "Aku senang bisa membantumu Maria. Aku keluar dulu." Lalu Wina melangkah pergi.
*
Beberapa kali Wina melempar ponselnya ke atas tempat tidurnya. Ia di landa kebingungan, antara akan menelfon Bima atau tidak. Jika Wina melakukan itu otomatis ia harus bisa mencari alasan yang pas jika di tanya mengapa memilih kabur dari rumah.
Ponsel Wina berdering, menandakan ada seseorang yang menelfonnya. Segera Wina melirik ponselnya yang beberapa detik lalu dirinya lempar. Disana tertulis jelas nama 'Bima'. Wina meraih ponsel dan mengangkat telepon dari Bima.
"Ha-ha-hallo?" Sapa Wina, sedikit ragu.
"Hallo Wina, Wina kau baik-baik saja?" Terdengar suara Bima disana.
"Wina baik Bang. Bagaimana dengan kalian?"
"Wina, Mamak rindu denganmu. Ayolah, nak... pulang. Mamak mohon..." Kali ini suara Linda, terdengar menahan isakan.
Kembali meneteskan air mata, Wina segera menghapusnya. "Wina tidak akan pulang sebelum uang Wina cukup untuk membayar hutang Papa. Wina janji akan pulang secepatnya, Mak." Jawabnya.
"Papa tidak akan memaksa kau untuk menikah lagi, Wina... kami hanya ingin kau pulang dan melanjutkan kuliahmu."
"Bagaimana dengan hutang Papa? Wina akan tetap disini mencari uang dan berusaha untuk bisa melajutkan kuliah disini." Wina meraih tisu di sebelahnya yang sudah ia sediakan sebelumnya.
"Baiklah. Jangan lupakan kami. Itu pesan Mamak."
"Wina akan selalu ingat. Ya sudah, Wina tidur dulu. Mamak jaga kesehatan. Salam untuk semuanya."
"Hati-hati jika bekerja. Do'a Mamak selalu menyertaimu."
Tangis Wina menggelegar. Ia menelungkupkan wajahnya di bantal agar tangisnya tak terdengar kemana-mana. Takut-takut jika hal pagi tadi terulang kembali.
"Wina..." Maria berseru dari luar.
Segera Wina beranjak dari tempat tidur, menghapus sisa-sisa air matanya dan membuka pintu. "Maria?"
"Aku pamit pulang."
"Pulang? Ini sudah jam delapan malam. Kau tidur saja bersama Satria." Kata Wina.
Senyum Maria terurai, "Aku harus pulang. Besok harus berangkat ke Rumahsakit." Lalu tangan Maria menepuk bahu Wina beberapa kali dan berbalik badan.
Saat Maria hendak melangkah, Wina mencekal pergelangan tangan Maria. "Kenapa?" Tanya Maria.
"Emm... apa kau, apa kau...apa yang kau lihat di kamar mandi Satria?" Pertanyaan Wina membuat dahi Maria berkerut.
"Maksudmu... bra?" Kepala Wina mengangguk.
"Itu milik Olif. Kau pasti sudah mengenalnya. Dia adalah pacar kedua Satria."
"Kau tidak marah?"
Terdengar helaan napas dari Maria, "Awalnya aku marah. Tapi setelah aku tau sifat Olif yang baik dan ramah, aku mencoba menerima, dengan memberi satu syarat kepada Satria."
"Syarat apa?"
"Aku memberi syarat, suatu saat nanti dia harus memilih salah satu dari kami untuk menjadi istrinya."
"Satria setuju?" Maria mengangguk.
"Olif?" Maria kembali mengangguk.
"Hei, sudah jangan bertanya-tanya! Kasihan pacarku!" Tukas Satria. Lelaki itu sudah berdiri di sebelah Maria.
*
Sarapan pagi ini, Wina membuatkan nasi goreng. Ia mencoba mencari resep nasi goreng di internet. Kali ini Wina tidak lupa untuk memasak nasi.
"Aku langsung berangkat saja." Suara Satria terdengar.
Wina yang saat ini telah selesai memindahkan nasi goreng ke piring saji, menoleh dengan tatapan berkobar. Ia setengah berlari menuju meja dan menyodorkan nasi gorengnya tepat di hadapan Satria. "Aku sudah bisa memasak."
Masih belum percaya dengan apa yang kali ini di buat oleh Wina. Satria tidak menanggapi perkataan Wina. "Kau antarkan saja makanan ke kantorku siang nanti. Aku sudah kesiangan." Katanya.
Sontak mata Wina melotot, "Tidak mau!"
"Kau pembantuku! Lakukan apa yang aku perintahkan!" Tukas Satria kesal.
"Aku tidak punya uang untuk pergi ke kantormu!"
Tangan Satria merogoh saku celana hitamnya dan mengeluarkan uang seratus ribuan dalam bentuk lucek. "Jangan habiskan! Ini untuk membeli beras." Jelasnya dan berlalu, setelah meletakan uang itu di meja.
"Hei! Pria kere! Ini tidak cukup untuk membeli beras lima kilo dan membayar taksi!" Teriak Wina tapi tidak di hiraukan oleh Satria. Lelaki itu terus berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi hingga menghilang dibalik pintu.
*
Beberapa kali Wina mencari-cari resep masakan di internet untuk dirinya tiru.
"Tempe mendoan?" Ucapnya, membaca tulisan di layar ponsel.
Setelah memikirkan, pilihan Wina jatuh di menu masak tempe goreng. Kebetulan di kulkas ia masih mempunyai satu batang tempe dan satu kilo terigu.
Tidak lama untuk Wina menotong-motong tempe menjadi bentuk tipis. Wina berganti mengolah terigu menjadi adonan dan mulai memasukkan irisan tempe kedalam baskom yang berisi adonan.
Kini Wina sudah siap berangkat ke kantor Satria untuk mengantarkan makan siang untuk majikannya. Dengan pakaian ala anak jaman sekarang, Wina keluar dari apartemen, dan masuk ke taksi.
Sampai di depan kantor Satria, Wina sejenak merapikan pakaiannya. Ia mengenakan t-shirt lengan panjang dan celana jins serta alas kaki sederhana, sandal jepit milik Satria.
Wina masuk ke kantor, menghampiri resepsionis disana dan bertanya, "Saya ingin bertemu dengan Bapak Satria." Katanya.
Resepsionis itu memandang penampilan Wina tak percaya. "Selamat Datang di perusahaan kami. Maaf, apakah sebelumnya sudah membuat janji dengannya?" Kata resepsionis.
Wina mengangguk, "Saya asisten rumahnya. Dia memerintahku untuk membawa makan siang."
Wanita cantik itu mengangguk, "Sebentar, saya hubungi dulu sekertaris Pak Satria." Lalu ia menelfon sekertaris Satria, sesuai ucapannya. "Pak Satria sedang di ruangannya. Silakan anda naik saja ke lantai tiga dan masuk ke ruangan direktur." Katanya setelah selesai menelfon.
Kepala Wina mengangguk, "Terimakasih." Ujar Wina dan berlalu.
Sekarang Wina sudah di ambang pintu ruangan Satria. Ia melirik sebelahnya, terdapat meja untuk sekertaris tetapi tidak ada seseorang disana. Beberapa kali Wina mengetuk pintu ruangan Satria tapi tidak ada sahutan dari dalam. Akhirnya ia membuka pintu itu begitu saja tanpa menunggu jawaban.
Mata Wina langsung tertuju pada seseorang yang sedang duduk di tempat kursi kebesarannya, memandang laptop tanpa memperdulikan kedatangan Wina. Kembali menutup pintu, dan Wina menghampiri Satria.
Saat Wina sudah sampai di depan meja kerja Satria, lelaki itu masih berkutat pada laptop.
Wina meletakan plastic yang berisi kotak makan di meja, "Ini makan siangnya. Aku pulang dulu." Ucap Wina dan berbalik badan hendak berlalu.
Saat itu Satria bersuara, "Letakan di meja sebelah dan siapkan, agar aku bisa langsung makan." Kata Satria.
Mau tak mau Wina kembali mengambil plastic itu dan beralih meletakannya di meja sebelah, yang biasanya untuk menerima tamu. Wina duduk di sofa dan mulai membuka isi yang di bawanya.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Satria beranjak menghampiri Wina, duduk di sebelah wanita itu yang sedang menata makanan.
Dahi Satria berkerut saat melihat menu makanan siang ini, "Tempe goreng?"
Mendengar itu, Wina berhenti menoleh dan mengangguk, "Kau suka kan? Tempe terbuat dari kedelai, dan kedelai itu banyak vitaminnya." Jelas Wina.
Sebelum Satria kembali menbalas jawaban Wina, pintu ruangannya terbuka. Disana ada Hendra--Papinya. Hendra menutup pintu ruangan anaknya kembali dan matanya tertuju pada dua seseorang yang sedang menatapnya pula.
"Satria, siapa dia?" Tanyanya sambil menghampiri Satria dan Wina.
Wina menundukkan kepalanya saat lelaki tua itu sudah duduk dihadapannya.
"Dia pembantuku, pi." Jawab Satria.
"Pembantu? Kau pikir papi percaya? Pembantu bisa secantik ini?" Mata Hendra melirik Wina yang masih menuduk.
"Dia memang pembantuku."
"Apa tidak ada pekerjaan lain yang layak di pekerjakaan untuk dia?" Kali ini Hendra menunjuk Wina dengan telunjuknya. " Kantor kita kan sedang mencari sekertaris untukmu. Karena beberapa minggu lagi, Santi akan resign." Lanjutnya.
Bahu Satria terangkat acuh, "Tanyakan saja pada orangnya langsung."
Baru kepala Wina terangkat, memandang Satria sengit. Belum sempat Wina mengucapkan kata-kata untuk Satria, suara Hendra terdengar kembali.
"Siapa namamu?"
"Wina, Pak."
"Apa kau tidak minat untuk melamar menjadi sekertaris di kantor ini?"
Kepala Wina tergeleng, "Saya belum lulus kuliah. Masih remaja. Saya permisi dulu, Pak." Sebelum pergi, Wina membungkukkan dirinya dan berlalu. Lari ngicir keluar dari ruangan Satria.
"Kalian tidur satu apartemen?" Tanya Hendra.
Satria mengangguk, "Dia tidur di kamar sebelahku."
Suara helaan napas dari diri Hendra terdengar lega, "Syukurlah." Lalu kepala lelaki itu menunduk dan mendapat pandangan aneh disana. "Apa itu?"
"Tempe goreng." Jawab Satria, polos. Benar-benar polos.
"Jangan bilang, kalau itu pembantumu yang buat?" Satria mengangguk.
"Dia kan sudah bilang, masih remaj, belum bisa memasak juga." Jelas Satria.
"Dan kenapa kau mempekerjakan dia sebagai pembantu?" Sungut Hendra, sangat tidak masuk akal dengan pemikiran anaknya.
"Aku hanya membantunya. Jadi, Wina sebenarnya sudah melamar kerja disini, dan aku tolak karena memang tidak ada pekerjaan yang pas untuknya. Tapi saat aku akan pulang, aku tak sengaja menabraknya di jalan, itu bukan salahku sebenarnya. Dia memintaku untuk bertanggung jawab dengan meminta padaku untuk memberinya tempat tinggal dan pekerjaan."
"Dan kau menyetujuinya?" Sergah Hendra.
Satria mengangguk lalu melanjutkan ceritanya, "Sepertinya aku sudah terhipnotis olehnya. Dia sangat keras kepala menurutku."
"Dan juga cerdik. Kau bahkan kalah." Kata Hendra, membuat Satria mendengus.