Di rumah Malaka Hutama, suasana mencekam. Sang pemilik rumah berjalan mondar-mandir, dengan wajah memerah menahan amarah. Sementara itu, dua orang pria dengan rambut yang sudah sebagian memutih, terlihat sibuk dengan ponsel masing-masing. Mereka sedang menghubungi keluarga mereka di Surabaya. Memberitahukan apa yang sedang terjadi. Kepulangan mereka terpaksa tertunda, karena mereka tidak bisa meninggalkan Janu begitu saja. Gea meremas kaitan tangannya berkali-kali. Keranjang buah sudah ia letakkan ke atas meja. Niatnya menjenguk sang nyonya rumah—urung. Kakinya masih lemas. Di sampingnya, seorang wanita yang lebih muda darinya, juga tampak tidak baik-baik saja. Raut panik terlihat jelas di wajahnya. “Bagaimana ini… bagaimana ini…” gumam Anik, yang masih panik. Memikirkan salah satu anak