Kilara mendadak merasakan firasat buruk karena Tarendra mengerutkan alisnya tidak lama setelah melihat laptopnya. Kilara berharap saat ini bumi yang ia pijak terbelah saat ini juga saat Tarendra kini dengan alis berkerut memandangi hasil pekerjaannya dan anggota timnya melalui laptop milik pria itu. Kilara sudah komat-kamit dalam hatinya mendoakan segala doa yang ia tau saat menunggu Tarendra menilai semua hasil desain yang sudah mati-matian dia kerjakan kemarin. Bahkan saking takut mendapatkan koreksi dari Sang Demon, Kilara bahkan sampai kembali memeriksa pekerjaannya dan anggota timnya tadi pagi.
Tarendra masih diam melihat hasil pekerjaan anak buahnya satu per satu dengan teliti. Pria itu masih belum mengeluarkan komentar apapun hingga tiba-tiba Tarendra menatap Kilara dan anak buahnya satu per satu dengan tatapan tajam. Jangan ditanya bagaimana jantung Kilara dan anak buahnya saat ini. Kelimanya seakan sedang dipaksa berlari kencang sehingga kinerja jantung mereka meningkat pesat.
"Kalian sudah yakin klien akan puas dengan desain kalian ini?"
Kilara adalah satu-satunya yang menganggukkan kepalanya. Kilara sudah memastikan seluruh aspek terpenuhi dan catatan yang kliennya inginkan sudah terpenuhi. Jelas klien akan puas dengan desain yang timnya buat.
Tarendra mendengus. Pria itu langsung menjabarkan hal-hal yang terlewatkan dalam desain yang diajukan oleh tim Kilara. Satu per satu secara detail dan Kilara mendengarkan sambil mengumpat sementara Esti dengan sigap mencatat seluruh koreksi yang bosnya itu paparkan. Kilara spontan menyadari ia masih belum benar-benar teliti dan wanita itu memasang wajah lesu disaat Tarendra tersenyum dengan seringai sinis.
"Revisi lagi dan kirim lagi hasil finalnya ke email saya sore ini." Putus Tarendra lalu berdiri dari kursinya sambil membawa laptopnya meninggalkan kelima anak buahnya begitu saja tanpa repot-repot menunggu jawaban mereka.
Kilara dan keempat anak buahnya menghela nafas panjang. Kilara menatap keempat anak buahnya, "Esti kamu sudah catat poin-poin yang tadi Pak Tarendra ucapkan, kan?"
Esti mengangguk.
"Aku tadi rekam juga, Mbak. Biar enggak lupa tinggal di replay aja." Zidan ikut angkat suara.
Kilara menatap Zidan, "Good. Kalian fokus revisi ya. Kirim ke saya kalau sudah selesai. Saya move ke next project."
Keempat anak buah Kilara mengangguk cepat dan berdiri dari kursi yang mereka tempati dan Kilara menyusul. Kilara kembali menuju meja kerjanya meletakkan barang-barangnya sejenak sebelum wanita itu mengajak Bagas turun untuk membeli kopi karena jam makan siang sudah tiba. Hari ini Kilara dikantor bersama dengan Bagas karena teman-temannya yang lain memiliki kegiatan mereka masing-masing dan hal ini bukan hal aneh bagi divisi Kilara. Terkadang Kilara dan teman-temannya perlu mendatangi lokasi secara langsung untuk melihat kondisi lapangan secara langsung sebelum membuat desain.
"Gimana hasilnya tadi?" Bagas bertanya sambil berjalan disisi Kilara memasuk lift.
Kilara menghela nafas panjang, "Ya, masih ada revisi, Mas."
"Gak banyak, kan?" Bagas bertanya dengan nada berhati-hati.
Kilara mengangguk, "Untungnya enggak banyak dan enggak krusial. Kalau krusial pasti Yang Mulia udah marah besar. Gue enggak mungkin lagi jalan disamping elo buat kopi, Mas."
Bagas tergelak, "Bener juga."
Kilara dan Bagas berbincang di lift. Keduanya berjalan meninggalkan area kantor menuju kedai kopi yang terletak tidak jauh dari kantor mereka. Keduanya mengantri dan memesan kopi mereka masing-masing. Kilara memesan caffe latte dan Bagas memesan americano. Kilara dan Bagas menunggu kopi pesanan mereka dan saat itu mata Kilara tidak sengaja menangkap sosok Karnaka Bagaskara yang tengah duduk bersama dengan anggota timnya dan pria itu melambaikan tangannya pada Kilara dan Bagas membuat keduanya tersenyum sopan segan pada Karnaka dan pria itu kembali bercengkrama dengan anggota timnya.
Karnaka Bagaskara adalah sosok yang tidak kalah berpengaruh di Track Construction. Pria itu memiliki nama Bagaskara yang sama dengan Tarendra, bosnya. Karnaka dan Tarendra lahir ditahun yang sama dan Karnaka digadang-gadang menjadi saingan Tarendra dalam menduduki kursi nomer satu di Track Construction. Karnaka memiliki kepribadian yang untungnya berbading terbalik dengan Tarendra. Karnaka sangat supel. Kilara mengenal Karnaka karena Kilara sering berkomunikasi dengan pria itu saat pria itu ingin memastikan mengenai gambar desain yang tim Kilara kerjakan.
Karnaka adalah Manager Proyek. Kalau Tarendra mengerjakan desain maka Karnaka yang mengeksekusi desain itu menjadi sebuah bangunan nyata. Mungkin karena sering berada di lapangan dan berinteraksi dengan banyak pihak membuat Karnaka menjadi pribadi yang supel dan mudah beradaptasi dengan berbagai orang yang memiliki kepribadian yang berbeda-beda.
Karnaka sendiri memiliki paras yang tidak kalah tampan dari Tarendra. Namun Karnaka memiliki kulit yang jauh lebih gelap dari Tarendra karena Karnaka lebih sering berada di lapangan berbeda dengan Tarendra yang lebih sering berada di dalam ruangan. Tarendra sesekali berada di lapangan namun durasi waktunya tidak sesering Karnaka yang memang bekerja di lapangan.
Kilara memandangi Karnaka dan timnya dengan rasa iri menyelusup dalam hatinya melihat bagaimana interaksi Karnaka dan anak buahnya yang nampaknya begitu santai berbeda dengan interaksi Tarendra dengan anak buahnya selama ini yang terasa mencekam layaknya latihan jantung setiap hari. Untungnya Kilara lahir dengan jantung yang sehat dan mental yang tertempa sekuat baja.
Kilara dan Bagas meninggalkan kedai kopi ketika keduanya mendapatkan kopi yang mereka beli. Karnaka kembali melambaikan tangannya membuat Kilara dan Bagas dengan sopan kembali membalas lambaian itu dengan sebuah senyuman. Keduanya berjalan kembali ke kantor dengan kopi mereka masing-masing.
"Gue beneran iri sama timnya Pak Karnaka. Keliatannya semua santai kayak enggak ada beban. Mukanya cerah beda sama tim kita yang mukanya mendung semua mana bosnya macem Pak Tarendra. Gelap banget kayaknya divisi kita, Mas."
Bagas tertawa mendengarkan ucapan Kilara. "Orang lapangan emang gitu, Ki. Elo kan tau sendiri orang lapangan kayak gimana. Pak Tarendra dan Pak Karnaka jelas beda karena ya Pak Karnaka lebih sering ketemu orang jadi pembawaannya pasti beda sama Pak Tarendra, Ki."
Kilara memasang wajah cemberut, "Elo kok kayak belain Pak Tarendra, sih. Dibayar berapa lo, Mas?"
Tawa Bagas kembali meledak, "Ngaco lo, ah."
Kilara masih memasang wajah cemberutnya mengingat anggota tim Karnaka tadi. "Muka anggota tim Pak Karnaka cerah semua kaga kayak kita berdua yang kusut semerawut gini. Gue kadang mikir apa gue salah jurusan dulu. Salah gue ikutin jurusan kakak gue. Kok gini amat pas kerja."
Bagas meringis kali ini. "Gimana ya... Dewasa itu emang sulit, Ki."
Bagas masuk ke dalam ruangan disaat Kilara melipir ke pantry untuk mengambil sendok miliknya yang sengaja ia tinggalkan untuk memakan makan siang yang tadi pagi ia beli di dekat rumahnya. Namun saat Kilara membalik tubuhnya Kilara mendapati Tarendra sudah berdiri tidak jauh darinya sambil memasukkan tangannya pada saku celananya.
"Astaghfirullah, Pak! Suka amat ngagetin orang sih! Jantung saya bisa terancam kalo bapak sering muncul kaga ada suara kayak–"
"Kayak apa?" Potong Tarendra dengan cepat dengan nada datar dan mata menyipit menatap Kilara.
KAYAK SETAN! jawab Kilara dalam hati. "Gak makan siang, Pak?" Kilara mengalihkan pembicaraan.
Tarendra kini merubah posisi tangannya. Pria itu bersedekap menatap Kilara. "Kamu tau nggak kalau apa yang dilihat mata kadang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi?"
Kilara diam. Otaknya sedang loading saat ini. Ini gue lagi diajak main tebak-tebakan sama ini Kulkas?
Melihat keterdiaman Kilara, Tarendra pun mendengus kesal. "Kamu tau kan ada pribahasa rumput tetangga lebih hijau dari pada rumput sendiri?"
"Bapak ini lagi ajak saya belajar soal pribahasa? Emang divisi desain perlu bahas pribahasa, Pak?" Kilara bertanya dengan nada lempeng sok polos. Meladeni orang abstrak maka kita perlu bersikap abstrak. Biar dia rasain tuh. Bukan begitu?
Tarendra mendadak memegang dahinya yang tiba-tiba terasa berdenyut karena ulah anak buahnya yang satu ini. Tarendra menatap jengkel Kilara, "Saya enggak suruh kamu belajar pribahasa tapi saya mau kasih tau kamu kalau kadang rumput tetangga itu belum tentu beneran hijau! Bisa saja saja hijaunya karena rumput sintetis!"
Kilara membuka mulutnya dan mengangguk paham, "Ah, saya paham. Bapak mau bilang kalau kita bisa aplikasiin rumput sintetis di desain. Baik, Pak. Akan saya ingat. Lagian bapak mau bilang gitu aja kenapa pake bahas pribahasa segala sih. Saya kan jadi bingung."
Tarendra pun meledak. Pria itu gemas sendiri. "Saya lagi enggak bahas soal desain, Kilara Daniella. Saya dengar ucapan kamu soal timnya Karnaka. Kamu bilang enak di tim Karnaka. Emang kamu tau gimana tim Karnaka di lapangan? Enak yang kamu liat cuma kulit luarnya aja."
Kilara pun menggaruk kepalanya mendengar ucapan Tarendra. 'Astatang, maksud dia pake bahas pribahasa gara-gara gue ngucap soal tim Pak Karnaka toh... Elah baper nih bos.'
"Jangan garuk-garuk kepala, kamu. Kamu paham gak maksud saya?" Tarendra sewot.
Kilara meringis, "Paham, Pak. Paham. Cuma rumput sintetis. Gitu kan?"
Tarendra mengangguk tegas. "Nah, itu pinter."
Tarendra meloyor pergi begitu saja seperti biasanya tanpa repot-repot menunggu respon lawan bicaranya membuat Kilara langsung memandang atasannya itu dengan pandangan datar.
Bos kok baper.