5. Monster Bigfoot

1205 Kata
“Kerjaan kamu disana lancar, Dek?” Kilara yang kini sedang duduk di kursi meja makan yang ada di dalam ruang pantry setelah mengisi botol air minumnya pun menghela nafas panjang mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh kakak kesayangannya itu melalui panggilan telepon. “Kerjaan aku ya begitu aja, Kak. Lancar gak lancar karena temen kakak itu udah kayak Iblis. Bukannya kasih masukan tapi malah ngilang. Giliran pas dateng malah marah-marah. Kadang aku mikir dia itu udah kayak balita yang terlambat bicaranya jadi diem aja tapi kalo lagi ngomel udah kayak ibu-ibu nawar harga. Dikejer terus sampe dapet baru puas.” Tawa Khavindra Agung, kakak semata wayang kesayangan Kilara pun menggema di seberang sana. “Jangan gitu, ah. Taren orangnya baik, kok. Dia memang pendiam tapi kalo kamu dekat sama dia, dia bawel juga kok orangnya. Kan dulu dia suka belajar barengan kakak di rumah.” “Heh? Deket sama dia? Ogah! Lagian kakak aneh banget dia baik darimananya? Udah badannya gede kayak monster Bigfoot, nyebelin juga.” Kilara menjawab dengan nada ngegas. Terdengar lagi ledakan tawa Khavindra dari seberang sana yang spontan malah membuat Kilara tersenyum. "Jangan gitu ah. Masa kamu bilang Taren kayak monster bigfoot. Kakak jadi inget film yang suka kita nonton dulu. Emang Taren sekarang tinggi gede sampe kamu kasih julukan begitu? Lagian kamu ini kasih berapa julukan sih buat si Taren? Awas, lho. Kalau orangnya tau nanti kamu bisa diamuk." "Badannya emang tinggi gede, Kak. Mukanya juga serem apa lagi pas marah. Emang pas banget sama monster bigfoot yang kita nonton dulu itu." "Kamu itu ada-ada aja. Jangan gitu, ah. Nanti kalo sampe Taren denger kamu kena marah, lho." Khavi memperingatkan Kilara dengan soft spokennya. “Ya, jangan sampe denger dong, Kak. Kerjaan Kak Khavi disana lancar?” “Alhamdulillah lancar, Dek. Nanti akhir bulan kakak pulang ya. Kangen sama rumah.” Kilara mencibir, “Dih, bukan kangen sama adeknya malah kangen sama rumahnya. Kakak macam apa itu.” Tawa kakak laki-laki kesayangan Kilara itu lagi-lagi terdengar. “Kangen kamu juga atuh, Dek. Adek kakak cuma kamu gimana enggak kangen sih.” Kilara dan Khavi kini hanya memiliki satu sama lain. Pasca meninggalnya Ibu dan Nenek mereka, Kilara dan Khavi berjuang hidup dengan saling menjaga satu sama lain dengan segala hal yang ditinggalkan oleh Ibu dan Nenek mereka. Kilara sangat menyayangi kakak laki-lakinya itu karena hanya Khavi yang ia miliki saat ini dan kini Khavi sedang ditugaskan sementara waktu di Surabaya karena proyek yang sedang pria itu kerjakan. Kilara bahkan menjadikan Khavi sebagai standar pria yang ingin mendekatinya karena sikap Khavi yang begitu lembut kepadanya. Kakaknya itu tidak pernah berbicara dengan nada tinggi. Pria itu selalu mencoba bicara baik-baik hingga mereka menemukan jalan tengah dari perbedaan yang ada di antara mereka. Menurut kakaknya nada tinggi tidak selalu menjadi tanda bahwa kita sedang marah atau kita tidak setuju dengan suatu hal dan Khavi masih bisa bersikap tegas walau pria itu tidak menggunakan nada tinggi. Cukup melihat perubahan wajah Khavi dengan mengetatnya otot rahang pria itu dan wajah bersahabat yang biasanya Kilara lihat itu mendadak lenyap, Kilara bisa langsung sadar kalau kakaknya itu marah. “Dih, bisaan banget. Udah dikomplen baru bilang begitu.” Kilara memasang mode ngambek, “Udahan ah teleponannya bete.” Jika Kilara kini sudah kesal berbeda dengan Khavindra di seberang sana yang kembali tertawa. Pasti pria itu gemas sendiri dengan kelakuan adik perempuan satu-satunya yang ia miliki itu. “Jangan marah. Kakak beneran kangen kamu, kok. Nanti pulang dari Surabaya kakak bawain sambel pedes kesukaan kamu deh. Jangan marah lagi ya…” Kilara mengulum senyum, gimana Kilara mau marah kalau kakaknya itu bersikap semanis ini. “Bawain sepuluh botol.” “Waduh, kamu mau jualan lagi apa gimana, Dek? Banyak banget. Sakit perut nanti kamu loh.” “Ih… Kak Khaviiiii!” Kilara kembali merajuk dan diseberang sana Khavindra tertawa lagi. “Nanti Kakak bawain pokoknya tapi enggak sepuluh. Kamu ini ada maag tapi sukanya makan pedes. Kalau kamu maagnya kambuh kan gawat, Dek. Kakak jauh loh.” “Iya, deh, iya… Pokoknya bawain ya.” “Iya. Kakak pasti bawain. Sekarang udahan dulu ya teleponnya. Kakak mau jalan balik ke kantor. Inget nanti jangan pulang terlalu malem.” “Siap, delapan enam, komandan!” “Kakak tutup ya, Dek. Semangat kerjanya.” “Iya, Kak. Hati-hati dijalan.” Kilara tersenyum hangat sambil memandangi layar ponselnya dimana terpampang fotonya bersama dengan Khavi dan almarhumah Mama mereka dan senyum Kilara semakin lebar melihat foto Khavi yang berada ditengah-tengahnya merangkul dirinya dan almarhumah Mamanya dalam foto itu. Khavi adalah segalanya bagi Kilara. Khavi adalah superheronya, Khavi adalah rumahnya, Khavi adalah dunianya. Kakak satu-satunya yang ia miliki. Kilara meredupkan layar ponselnya dan berdiri dari posisi duduknya hendak berjalan menuju pintu keluar sambil membawa botol minumnya yang sudah terisi penuh kembali dan langkahnya terhenti melihat Yang Mulia Tarendra, Sang Demon sedang berdiri bersandar di dinding dekat pintu pantry sambil bersedekap memandangnya membuat Kilara mengerutkan alisnya. "Sejak kapan bapak disitu?" Kenapa enggak ada suaranya? Udah kayak setan aja, lanjut Kilara dalam hatinya tentu. Tarendra bertahan dengan posisinya. Pria itu memandang Kilara dengan pandangan datar membuat Kilara mengerutkan alisnya. Sementara Tarendra sendiri mendengus, "Lain kali kalau mau pacaran itu liat tempat. Jangan pacaran di pantry kantor." Sementara Kilara membelalakan matanya mendengar ucapan Tarendra. "Yang pacaran siapa! Saya telepon Kak Khavi!" Tarendra tersenyum miring, "Kamu pikir saya percaya? Kalau mau bohong coba yang pinter sedikit. Kamu jelas-jelas kedengaran telepon pacar kamu. Khavi tau kamu pacaran?" Kalau ada termometer pengukur suhu di sisi Kilara yang bisa menunjukan tinggi suhu Kilara saat ini, percayalah suhu Kilara sudah melesat naik dan termometer itu sudah meledak karena suhu Kilara sedang berada di puncak tertinggi. Ubun-ubun Kilara pun berasap kalau bisa muncul asapnya. Kilara emosi. "Pak, ribut aja yuk! Bapak ini udah enggak tau malah asal ngucap! Ribut aja yuk, Pak!" Tarendra dengan entengnya melambaikan jari tangannya, "Lebay kamu. Tinggal ngaku pacaran aja kok susah. Ngapain malu-malu juga." Tarendra meloyor keluar dengan santai. Kilara jelas mencak-mencak. "Yang pacaran siapa, Bigfoot! Gue emang teleponan sama Kak Khavi! Si Bangkhe! Udah sok tau asal jeplak! Pen gue santet beneran itu orang, hah!" Tarendra yang sudah keluar dari ruangan pun tersenyum super tipis hampir tidak terlihat. Pria itu masuk ke dalam pantry dan mendengar Kilara berbicara dengan nada yang tidak pernah wanita itu tunjukkan saat berbicara dengannya. Hal itu mengundang rasa penasaran Tarendra mengenai dengan siapa wanita itu berbicara. Tarendra masih bisa mendengar umpatan Kilara dari pintu pantry yang belum tertutup sempurna. Wanita itu layaknya petasan yang saat disulut api langsung berbunyi nyaring. Entah ada berapa banyak julukan dirinya yang wanita itu miliki. Tarendra barusan mendengar kata Bigfoot tadi. Sebelumnya Tarendra pernah mendengar Kilara keceplosan memanggilnya Yang Mulia membuat Tarendra spontan membulatkan matanya saat mendengar ucapan wanita itu. Namun tidak bisa dipungkiri anak buahnya yang satu itu memiliki kemampuan yang tidak bisa diabaikan jika saja wanita itu bekerja dengan serius namun sering kali Kilara tidak fokus sehingga wanita itu mengabaikan beberapa hal penting namun pada akhirnya Tarendra akan selalu bisa mengandalkan kemampuan anak buahnya yang satu ini dan membuat Kilara marah-marah seperti sebuah hiburan karena respon Kilara tidak pernah delay. Ledakan emosi wanita itu langsung terlihat dan terkadang membuat Tarendra tidak habis pikir, apa wanita itu tidak lelah marah-marah terus?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN