18. Mari buat keajaiban

1850 Kata
Kilara dan kelima temannya tau kalau hidup memang selalu memiliki kejutannya sendiri dan dar der dornya dunia kerja mereka tidak kalah ramai dengan kehidupan pribadi mereka. Memiliki bos Tarendra membuat mereka belajar banyak hal dan juga memperbesar kapasistas mereka dengan segala pekerjaan yang Tarendra berikan. Menyebalkan tapi Tarendra membuat mereka sadar kalau mereka bisa mengerjakan hal-hal yang awalnya mereka pikir diluar kemampuan mereka. "Saya mengenal kemampuan kalian dan jika saya mendelegasikan sebuah proyek pada kalian artinya saya yakin kalau kalian mampu melakukannya." Tarendra mungkin terlihat sibuk dengan pekerjaannya namun pria itu diam-diam memperhatikan progres pekerjaan setiap anak buahnya dan menilai anak buahnya sesuai dengan hasil usaha mereka selama ini. Tarendra memberikan apresiasi yang memang pantas diterima oleh anak buahnya karena Tarendra percaya akan selalu ada timbal balik yang pantas untuk setiap transaksi. "Jadi saya ada satu proyek hotel yang perlu kita jadikan prioritas." Tarendra duduk di kursinya sambil menatap anak buahnya satu per satu yang kini sedang duduk di hadapannya dengan kursi yang mereka bawa dari luar ruangan. Here we go! Perasaan Kilara sudah tidak enak saat Tarendra mendadak menyuruh semua anak buahnya untuk berkumpul masuk ke dalam ruangan pria itu. Di banding memberi kabar cairnya bonus, Kilara lebih yakin kalau Tarendra akan memberikan kabar soal proyek baru dan benar saja feeling Kilara. "Saya tau kalian memiliki bagian kalian masing-masing tapi untuk proyek ini saya minta kalian kerja sama dengan baik agar semua bisa selesai." Tarendra menjeda kalimatnya beberpa saat menatap Kilara dan Putri, "Kalian berdua bisa bekerja sama mendesain kamar-kamar tamu sesuai tipe kamarnya." Tarendra menjeda kalimatnya menatap anak buahnya yang lain, "Sisanya kalian bagi tugas saja dan nanti tinggal digabungkan menjadi satu." Kan... Kan... Kan.... Kilara dan teman-temannya saling bertukar pandang satu sama lain mendengar ucapan bos mereka dan Bimo angkat suara, "Detailnya seperti apa, Pak?" Tarendra memutar laptopnya ke arah anak buahnya dan pria itu mulai menjelaskan semua hal yang bersangkutan dengan proyek yang menjadi prioritas mereka saat ini. Mulai dari waktu pengerjaan sampai dengan detail yang menjadi catatan si pemilik hotel. Tarendra menjelaskan satu per satu dan membiarkan anak buahnya mendengarkan dengan seksama. "Saya yakin dengan kemampuan kalian, kalian mampu mengerjakan dengan baik. Waktu yang kita miliki juga cukup ketat jadi pergunakan waktu dengan baik." Tarendra berucap dengan nada tegas yang pria itu gunakan saat sedang berbicara dengan anak buahnya, "Ini adalah proyek prioritas dan proyek lain bisa kalian kesampingkan sementara waktu. Gunakan kemampuan terbaik kalian untuk proyek ini." Keenam anak buah Tarendra kompak mengangguk. Tarendra pun membubarkan meeting singkat itu lalu pria itu pergi meninggalkan ruangannya disaat keenam anak buahnya sedang membereskan bangku-bangku yang mereka bawa ke dalam ruangan Tarendra. Keenam squad pembuat keajaiban pun duduk di kursi kerja mereka masing-masing dengan wajah serius. "Gue dan Bimo akan ke lokasi untuk cek kondisi lapangan dulu." Bagas berucap sambil memasang wajah serius. Putri dan Kilara yang sudah duduk di kubikel mereka masing-masing menatap Bagas dan keduanya kompak mengangguk setelah saling berpandangan dan Putri menimpali, "Gue dan Kilara akan mulai kerjain desain kamar sesuai dengan penjelasan Pak Taren tadi." Wilson yang biasanya lebih banyak diam kini angkat bicara, "Ingat, waktu kita ini ketat. Fokus dulu sama proyek ini karena sesuai ucapan Pak Taren tadi ini prio." Bimo mengangguk membenarkan ucapan Wilson lalu memasang wajah konyol khas pria itu, "Mari kita menggunakan kemampuan terpendam kita...." "Membuat keajaiban!" Kelima teman-teman Bimo yang lain kompak angkat suara lalu tawa mereka meledak. *** Di tempat lain Tarendra kini sedang melajukan mobilnya bertemu dengan Antonio Arsen. Juniornya yang menjadi partnernya dalam membangun Demonio Architeam. Tarendra semalam langsung menghubungi Antonio setelah pria itu selesai berbicara dengan Papa Harun. Tarendra tidak lagi bisa mengabaikan peringatan ultimatum yang ia terima. "Jadi apa yang mendesak sampe elo mengharuskan kita ketemu hari ini?" Antonio bertanya pada seniornya yang kini memasang wajah tegang. Tarendra dan Antonio kini sudah duduk berhadapan di sebuah cafe yang cukup ekslusif. Keduanya duduk berhadapan dengan secangkir kopi dan Antonio memesan sandwich dan dengan santai memakannya dihadapan Tarendra. "Gue enggak bisa fokus lagi sama Demonio." Tarendra berucap dengan nada serius. Antonio yang sedang memakan sandwichnya pun dengan santai mengangguk, "Lalu?" Tarendra memandang datar Antonio karena reaksi santai pria dihadapannya, "Elo yang harus fokus sama Demonio, Ton." Antonio mengangkat pandangannya ke arah Tarendra dan menatap seniornya itu dengan pandangan malas, "Emang menurut lo yang gue lakukan sekarang itu apa?" Antonio meletakkan sandwich yang ia pegang dan mengelap tangannya dengan tissue yang sudah disediakan, "Walau gue kerja di kantor Arsen tapi Demonio enggak pernah gue lepas, Bro." Tarendra menghela nafas pendek, "Gue tau." Antonio menyenderkan posisi duduknya lalu bersedekap menatap Tarendra, "Sedari awal kita sama-sama udah bahas ini. Elo dan gue sama-sama punya previlage yang perlu kita terusin. Elo dengan Bagaskara dan gue dengan Arsen. Kita sama-sama sadar kalau suatu hari nanti salah satu dari kita atau bahkan kita berdua akan kembali ke rumah kita masing-masing," Antonio menggerakan jari tangannya membentuk tanda kutip saat mengucapkan kata rumah pada Tarendra. "Jadi kalau elo yang duluan mesti fokus ke Bagaskara ya sudah mau gimana?" Antonio berucap dengan nada santai kemudian meminum kopi miliknya. Tarendra menghela nafas panjang. "Dari awal kita sudah bahas ini, Bro. Kalau pada akhirnya memang Demonio harus dipegang sama tenaga lain diluar kita berdua, kita mesti siap karena kondisi kita masing-masing. Bukan masalah besar, Bro." Antonio melanjutkan ucapannya dengan santai. Tarendra mengangguk pelan. Sedari awal keduanya memang sudah membahas semuanya namun Tarendra merasa memiliki antusiasme tersendiri dengan berdirinya Demonio. Pria itu kembali menghela nafas perlahan, "Ya, sudah kalau begitu." *** Di kantor, Kilara dan teman-temannya sudah mulai fokus dengan proyek hotel prioritas ini. Bagas dan Bimo sudah langsung pergi meluncur ke lokasi proyek sementara Kilara, Putri, Ivan dan Wilson stay di kantor dan langsung mengerjakan bagian mereka masing-masing yang sudah di sepakati bersama. "Gue mau makan ke kantin belakang, ada yang mau barengan makan siang ke sana?" Kilara angkat suara sambil berdiri. Wilson dan Ivan menatap Kilara sekilas dan kompak menggelengkan kepalanya. "Gue juga enggak. Gue ada janji makan keluar." Putri menjawab pertanyaan Kilara. Kilara mengangguk dan berjalan meninggalkan kubikelnya membawa selembar uang lima puluh ribu dan ponselnya. Kilara pamit meninggalkan ruang divisinya. Kilara berjalan santai sambil memandangi ponselnya. Wanita itu menunggu lift sambil menonton video berdurasi pendek yang muncul di media sosialnya. Kilara turun sambil terus fokus dengan ponselnya hingga wanita itu sampai di restoran yang ia ingin datangi. Kilara berdiri dengan tenang mengantri untuk memesan makanan yang sudah terbayang-bayang dikepalanya sejak tadi. Kilara ingin makan semangkok bakso lengkap super pedas untuk menghilangkan rasa sakit kepala yang melandanya saat ini. Rasanya air liurnya hampir menetes membayangkan semangkuk bakso panas dan pedas yang hendak ia santap sebentar lagi. "Satu bakso lengkap sama satu aqua botol dingin ya, Mas–" "Tambah satu nasi rames dan satu lagi aqua botol dingin, Mas." Kilara spontan menoleh kebelakang dan wanita itu membulatkan matanya menyadari ada Tarendra dibelakangnya, GIMANA BISA DIA DISINI! Kilara kaget bercampur panik tapi ia berusaha menjaga ekspresinya. "Bapak sejak kapan antri di belakang saya?" Tarendra memandang Kilara dengan pandangan malas sambil mengeluarkan dompetnya dan membayar pesanan mereka dengan segera. Kilara yang kaget melihat apa yang bosnya lakukan pun spontan menyodorkan uangnya pada sang kasir namun Tarendra dengan sigap menahan tangan Kilara dan pada akhirnya sang kasir melanjutkan transaksi dengan menggunakan uang yang Tarendra sodorkan dan transaksi selesai saat sang kasir memberikan nomer meja yang langsung diambil oleh Kilara. "Sepanjang saya kerja di Track rasanya ini baru kedua kalinya saya melihat bapak yang bos makan di warung karyawan jelata macem ini." Tarendra yang baru saja duduk di meja yang tersedia berhadapan dengan Kilara pun spontan menyentil kening karyawannya itu, "Mulut kamu itu! Saya bukan bos juga karyawan Track." Karyawan tapi statusnya pewaris perusahaan? Dia ini berusaha melucu apa bagaimana? Kilara berusaha menekan otaknya yang sangat-sangat ingin menyinyiri ucapan Tarendra. "Bapak itu bos di divisi desain dan bapak enggak pernah makan kesini sebelumnya." Tarendra duduk bersedekap menatap Kilara. "Tidak ada teman ke sini. Saya malas makan sendirian." Kilara mengerutkan alisnya mendengar ucapan Tarendra. Jawaban macam apa itu? Kilara memilih diam dan pesanan mereka berdua pun datang. Perhatian Kilara langsung beralih pada semangkok bakso yang masih mengeluarkan uap dan jelas menggugah seleranya itu. Kilara tanpa membuang waktu langsung mengambil tempat sambal dan menuangkan beberapa sendok sambal ke mangkok baksonya dengan wajah antusias. Tarendra yang melihat apa yang Kilara lakukan pun memasang wajah ngeri. "Kamu makan bakso pakai sambel atau sambel pakai bakso? Enggak kira-kira kamu sendok sambelnya." Kilara meringis, "Saya butuh asupan makanan pedas untuk membuat otak saya lancar, Pak." Tarendra mengerutkan alisnya, "Sejak kapan ada relasinya antara makanan pedas dan otak lancar?" Kilara terkekeh. "Semenjak saya tau kalau makanan pedas bisa bikin ide mengalir di kepala saya, Pak." Tarendra menggelengkan kepalanya. Karyawan badungnya yang satu ini memang akan selalu punya jawaban atas ucapannya. "Sepertinya makanan pedas relasinya bukan dengan otak tapi dengan perut kamu. Kamu bisa sakit perut kalau makan dengan cabai sebanyak itu." Kilara pun mendelik sengit. "Jangan doain saya begitu dong, Pak." Tarendra menghentikan kegiatan makannya dan menatap datar karyawan badung yang duduk dihadapannya saat ini. "Saya tidak doain kamu sakit perut, Kilara Daniella. Tapi memang ada korelasi antara makanan yang dimakan makan dengan pencernaan manusia. Makanan yang kamu makan kan akan diproses dalam pencernaan kamu jadi wajar ada korelasinya antara makanan dengan pencernaan bukan otak." Kilara memasang senyum kaku, orang ini enggak tau ungkapan ucapan adalah doa apa? Kilara akhirnya memilih diam tanpa menanggapi ucapan pria itu lagi. Bicara dengan bosnya ini memang akan selalu berujung serius dan kalau diteruskan Kilara bisa jadi belajar soal pencernaan manusia dan jelas itu akan menganggu makan siangnya sehingga Kilara memilih diam saja. Diam kadang emas bukankah begitu? Tarendra dan Kilara menikmati makanan mereka masing-masing dan begitu keduanya selesai dengan makan siang mereka, keduanya berjalan bersisian perlahan menuju ke arah kantor mereka tanpa percakapan apapun karena Kilara kini sedang memikirkan bagaimana cara mengganti uang Tarendra yang tadi ia pakai tanpa membuat pria itu tersinggung karena Kilara tidak ingin ada hutang piutang diantara keduanya. "Jangan terbiasa berjalan sambil melamun atau bermain ponsel, Kilara. Banyak hal bisa terjadi saat kamu melamun atau bermain ponsel." Kilara spontan menoleh ke arah Tarendra dan meringis, "Em... Pak, soal makan tadi, saya ganti–" "Kamu hutang satu kali makan. Kamu harus traktir balik saya." Tarendra memotong ucapan Kilara dengan nada santai. LHO KOK BEGINI?! Kilara mendadak panik. "Saya ganti uang bapak aja, deh." Kilara jelas tidak mau kembali berurusan dengan Tarendra mengingat bosnya itu suka random. Tarendra menggelengkan kepalanya dengan gerakan tegas. "Saya enggak mau. Saya mau traktir dibayar traktir." Kilara mendadak ingin membuat keajaiban dengan memiliki kekuatan memutar waktu. Kilara menyesal makan di kantin belakang kantornya. Atau memiliki keajaibat teleportasi boleh juga, Kilara ingin sekali mengirim bos sialnya ini ke belahan dunia lain. Biar dia berkumpul dengan para makhluk yang bisa hidup di temperatur minus. Kilara berpikir keras dan saat ia hendak angkat bicara lagi namun Tarendra sudah memotong ucapan Kilara, "Gak usah nego lagi. Kamu hutang traktir saya makan." Tarendra melakukan kebiasannya meloyor pergi begitu saja setelah mengucapkan kalimatnya. Kilara mendengus kesal memandangi punggung bosnya yang sudah menjauh. Wanita itu mengusao wajahnya dengan kedua tangannya sendiri dengan gerakan frustrasi. Dosa apa gue sebenernya sampe hari ini bisa ketiban sial begini?!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN